Kebebasan Beragama dan Simalakama Demokrasi
Penegakan hukum terhadap Pesantren Al-Zaytun menjadi salah satu indikator kunci dalam negara demokrasi. Di sisi lain kebebasan beragama juga menjadi indikator demokrasi yang harus dilindungi negara. Lalu apa solusinya ?
Kasus kontroversi Panji Gumilang, pengasuh Pesantren Al-Zaytun, yang telah dinaikkan statusnya oleh Kepolisian Negara RI, dari penyelidikan ke penyidikan, direspons secara beragam oleh masyarakat.
Di satu sisi, banyak pihak mengapresiasi ketegasan dan kecepatan Polri menindak Panji atas tuduhan penodaan atau penistaan agama. Di sisi lain, sejumlah aktivis prodemokrasi dan HAM berteriak agar Polri tak buru-buru menindak Panji atas argumentasi kebebasan beragama, HAM, dan demokrasi. Dalam lanskap negara demokrasi, dua sikap berbeda itu merepresentasikan dua standing position klasik yang terkesan oksimoron dan akan terus bertarung untuk saling mengalahkan.
Di satu sisi, ketegasan Polri mencerminkan kepastian penegakan hukum demi tegaknya stabilitas sosial politik. Penegakan hukum menjadi salah satu indikator kunci dalam negara demokrasi (Guilermo O’Donnell, 2004; Adam Przeworski, 2003). Di sisi yang lain, kebebasan beragama juga menjadi indikator lain demokrasi yang harus dilindungi oleh negara (Alfred Stepan, 2000; Robert J Barro, 1999). Artinya, keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama dalam konstruk negara demokrasi.
Baca juga : Ancaman Pesantren Kontrakultur
Algoritma demokrasi
Persoalannya, kedua indikator demokrasi di atas tak bisa diakomodasi secara keseluruhan dalam waktu bersamaan. Persis seperti hukum algoritma, pergeseran pendulum ke salah satu sisi berdampak pada pelemahan sisi lainnya.
Jika penegakan hukum lebih kuat ketimbang kebebasan beragama, konsekuensinya adalah pelemahan pada indeks demokrasi itu sendiri. Sebaliknya, jika kebebasan beragama lebih diperkuat ketimbang penegakan hukum, yang muncul adalah kekacauan publik dan instabilitas sosial politik yang pada ujungnya akan melemahkan demokrasi.
Persis simalakama: maju kena mundur kena. Terlebih di negara dengan tingkat heterogenitas yang sedemikian ekstrem seperti Indonesia, menyeimbangkan pendulum di antara dua sisi dimaksud bukan persoalan mudah.
Kondisi semacam inilah yang terjadi ketika sejumlah kasus penodaan agama diputus oleh pengadilan seperti kasus Lia Eden, Musadeq, Ahmadiyah, dan Ahok. Indeks demokrasi mendadak anjlok gegara kehebohan publik yang diakibatkan oleh putusan pengadilan itu.
Sejumlah lembaga survei demokrasi, seperti Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), The Economist Intelligence Unit (EIU), dan Freedom House, juga telah menetapkan kebebasan sipil (baca: kebebasan beragama dan berkeyakinan) sebagai salah satu indikator demokrasi.
Menurut survei EIU, pada 2022 demokrasi Indonesia menempati peringkat ke-54 dari 167 negara dengan skor 6,71. Indonesia berada di bawah Kolombia di peringkat ke-53, Filipina (52), dan Malaysia (40). Dengan nilai itu, Indonesia mendapatkan peringkat flawed democracy (demokrasi cacat). Sebuah predikat medioker untuk kualitas demokrasi.
Setali tiga uang dengan hasil survei EIU adalah survei Freedom House yang menempatkan Indonesia sebagai partly free (sebagian demokratis). Oleh lembaga yang berbasis di AS ini, kualitas demokrasi kita bahkan digambarkan bergerak involutif alias mengalami kemunduran dari skor 65 di 2013 menjadi 59 di 2022. Salah satu faktor penentu turunnya indeks demokrasi kita, menurut Freedom House, lagi-lagi, adalah terjadinya sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini yang salah satunya tecermin dari putusan pengadilan atas kasus Ahok (2017).
Belajar dari sejumlah kasus penodaan agama yang terjadi di negeri ini, sejumlah aktivis demokrasi dan HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (Setara Institute, YLBHI, Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan/Sobat KBB) menyayangkan pemidanaan kasus Panji oleh Polri atas tuduhan penodaan atau penistaan agama. Menurut mereka, pemidanaan Panji merupakan pola lama kriminalisasi terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dapat mereduksi HAM dan demokrasi.
Di sisi lain, tindakan penegakan hukum atas sejumlah kasus kontroversial dalam kebebasan beragama harus diakui menjadi satu-satunya legal inquisition yang dapat menyudahi kontroversi. Pembiaran atas serangkaian kasus kontroversial penodaan agama tentu saja dapat menyebabkan kekacauan, anarki, dan instabilitas sosial politik yang dapat menggerus indeks demokrasi.
Yang jadi soal, langkah penegakan hukum oleh sejumlah lembaga negara (Polri, kejaksaan, dan pengadilan) sering kali tunduk oleh tekanan massa dan lembaga keagamaan tertentu.
Salah satu faktor penentu turunnya indeks demokrasi kita, menurut Freedom House, lagi-lagi, adalah terjadinya sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini yang salah satunya tecermin dari putusan pengadilan atas kasus Ahok (2017).
Demokrasi komunikatif
Oleh karena itu, diperlukan perlakuan yang tepat, akurat, dan proporsional terhadap kebebasan beragama dan penegakan hukum dalam kasus penodaan agama agar kualitas demokrasi kita tetap terjaga dengan baik. Ini bisa dilakukan dengan cara meminimalkan penegakan hukum terhadap kasus-kasus penodaan agama melalui penguatan mekanisme extra-judicial untuk memediasi kontroversi pemikiran keagamaan tertentu.
Dalam konteks ini, kearifan lokal yang telah lama menjadi khazanah budaya kita, seperti tradisi rembuk desa, sesungguhnya menjadi pilihan realistis yang dapat diandalkan. Mediasi konflik tentu saja tak harus berakhir dengan kesamaan pandangan atas satu keyakinan keagamaan tertentu. Bisa saja mediasi konflik dapat berujung pada formula to agree in disagreement, terutama jika yang menjadi akar sengkarutnya adalah soal-soal khilafiyah atau furu’iyah (urusan cabang) belaka, bukan soal ushuliyah (urusan pokok) dalam beragama.
Dalam upaya mengidentifikasi apakah kontroversi Panji merupakan persoalan furu’iyah atau ushuliyah, pelibatan pakar mutlak dilakukan untuk memberikan second opinion otoritatif terhadap kontroversi dimaksud.
Meski demikian, sebelum penegakan hukum dilakukan, negara dapat mendorong sejumlah lembaga ”kuasi-negara”, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), untuk menyediakan ruang-ruang dialog guna mencari jalan tengah yang bermartabat. Artinya, penegakan hukum harus menjadi pilihan terakhir setelah serangkaian upaya dialog dan persuasi gagal menemukan titik temu. Dengan cara demikian, intervensi negara melalui penegakan hukum dapat menekan jatuhnya vonis ”sesat” (deviant) atau penistaan dan/atau penodaan agama.
Dalam derajat tertentu, kemunculan sejumlah kasus kontroversial dalam lanskap pemikiran keagamaan dilatarbelakangi bukan oleh perlawanan terhadap ortodoksi mapan, melainkan karena persoalan keterjarakan sosial (social dislocation) di kalangan masyarakat.
Contohnya, sejumlah kontroversi Gus Dur yang akhirnya dapat dicairkan melalui forum dialog atau tabayun dengan para kiai sepuh. Oleh karena itu, solusi ideal mengatasi kontroversi bukanlah melalui penegakan hukum, melainkan dialog. Jika dialog tetap gagal, penegakan hukum adalah pilihan terakhir.
Dalam kerangka teoretis Habermas (Between Facts and Norms, 1996), mekanisme extra-judicial semacam ini disebut sebagai demokrasi komunikatif yang bekerja di ruang publik nonformal.
Ruang publik semacam ini berfungsi memediasi arus komunikasi antara peranti kelembagaan formal dan peranti kelembagaan informal. Dengan merujuk pada Hannah Arendt, Habermas berpendapat bahwa seluruh kekuasaan politik berasal dari kekuatan komunikatif setiap warga negara. Menurut keduanya, kekuasaan tidak pernah menjadi properti individual, tetapi properti sosial yang dapat mengagregasi beragam pemikiran dan kepentingan bersama.
Dalam konteks ini, jangan sampai ketegasan pemerintah menindak kasus penodaan agama justru menjadi kontraindikasi bagi kebebasan beragama dan demokrasi di negeri ini.
Kesimpulannya, menindak kasus penodaan agama meniscayakan serangkaian langkah preventif melalui tindakan extra-judicial agar tidak menggerus kualitas demokrasi kita. Ibarat mengobati suatu penyakit, sebuah tindakan medis jangan sampai menimbulkan gejala kontraindikasi pada pasien.
Kontraindikasi adalah suatu kondisi atau faktor yang berfungsi sebagai alasan untuk mencegah tindakan medis tertentu karena potensi bahaya yang akan diderita pasien. Dalam konteks ini, jangan sampai ketegasan pemerintah menindak kasus penodaan agama justru menjadi kontraindikasi bagi kebebasan beragama dan demokrasi di negeri ini.
Masdar HilmyGuru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya