Wirid Butet Menyapa Tubuh, Jiwa, dan Pikiran...
Butet mempunyai pengalaman spiritual yang kemudian ia sebut sebagai mukjizat atau keajaiban semesta. Ia merasa diberi kesempatan hidup lagi setelah melewati saat-saat yang oleh dokter disebut sebagai kritis.
Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa. Nama lahir pemberian orangtua itu entah berapa ribu kali ditulis oleh tangan Butet. Nama itu digoreskan di kertas setiap hari tanpa henti selama 90 hari, lalu berlanjut hingga hari ini, dan entah sampai kapan.
Tangan Butet menorehkan nama itu secara repetitif, intensif, penuh penghayatan. Ia seperti litani, wirid, atau upaya-upaya sejenis doa yang dalam, hening, dan bening. Tulisan itu berjubelan mengisi berbagai bentuk rupa. Arsip doa itu lalu dihimpun Butet dalam buku berjudul Jejak Wirid Visual.
Butet mempunyai pengalaman spiritual yang kemudian ia sebut sebagai mukjizat atau keajaiban semesta. Ia merasa diberi kesempatan hidup lagi setelah melewati saat-saat yang oleh dokter disebut sebagai kritis.
Lolos melewati babak-babak drama di tapal batas itu ia syukuri sepenuh jiwa, dengan doa dan tekad merawat mukjizat, menyehatkan lahir batin.
Butet menyebutnya sebagai menit-menit bercanda dengan maut, atau detik-detik jelang ”game over”. Lolos melewati babak-babak drama di tapal batas itu ia syukuri sepenuh jiwa, dengan doa dan tekad merawat mukjizat, menyehatkan lahir batin.
”Saya bersyukur dengan cara sendiri yang saya enjoy. Ini caraku berdoa yang asyik...,” kata Butet. Cara personal itu ia sebut sebagai wirid. Gus Mus atau Haji Mustofa Bisri dalam pengantar buku Jejak Wirid Visual menyebut wirid sebagai bacaan atau laku berulang-ulang dalam waktu-waktu tertentu.
Dalam hal ini Butet berwirid dengan menulis nama lahirnya lengkap pemberian orangtua, yaitu Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa. Di atas kertas, menggunakan ejaan lama, Butet setiap hari menulis selama 90 hari tanpa putus. Usai paket 90 hari itu, ia melanjutkan wiridnya pada waktu-waktu tertentu. Ia melakukan dengan disiplin tinggi, dan intensitas penghayatan sungguh-sungguh.
Karena wiridnya berupa tulisan di atas kertas yang dapat dilihat mata (visible), maka Butet menyebutnya sebagai wirid visual. Karena kemudian wirid visual tersebut juga menyertakan aspek ornamental bahkan juga warna, maka oleh peneliti Hamid Basyaib, wirid ala Butet ini bisa disebut sebagai karya rupa. Hamid Basyaib menggolongkan wirid visual Butet itu dalam subgenre kaligrafi.
Doa intens dalam wujud visual ini semakin lama menumpuk layaknya karya rupa. Butet menyebutnya sebagai arsip doa. Dalam hitungan sederhana, jika setiap hari ia berwirid dengan tulisan, maka dalam setahun terkumpul setidaknya 360 arsip doa yang berupa artwork.
Sebagian dari artwork itulah yang kemudian dihimpun dalam buku Jejak Wirid Visual yang diterbitkan penerbit Red & White Publishing, dan resmi diluncurkan di arena ArtJog, Jogja Nasional Museum, pada 10 Juli 2023.
Kesadaran artistik
Ikhtiar doa dalam wujud penulisan nama secara repetitif dan intensif itu pada awalnya dilakukan Butet tanpa berpretensi untuk berseni-seni. Jika ia melakukan wirid visualnya dengan kesadaran seni, menurut Butet, ia tidak akan sampai pada karya seperti yang terlihat dalam buku Jejak Wirid Visual tersebut. ”Malah ora tekan...,” katanya, justru tidak akan sampai.
Hamid Basyaib yang secara langsung melihat Butet mengatakan bahwa Butet melakukannya dengan sangat serius. Kurator Suwarno Wisetrotomo, sahabat Butet sejak di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) mengatakan bahwa berwirid dengan goresan pena itu merupakan satu-satunya pekerjaan yang dilakukan Butet untuk mengurus diri sendiri.
Suwarno menggambarkannya sebagai gerakan sentripetal atau upaya intens ke dalam mendekati pusat diri. Aktivitas lain seperti mengurus Teater Gandrik dan Kua Etnika, sebuah kelompok musik yang dibentuk bersama Djaduk dan kawan-kawan, juga menangani program Indonesia Kita dan lainnya itu adalah gerakan untuk membagi energi bagi orang lain. Bisa dikatakan sebagai gerak sentrifugal atau menjauhi pusat diri.
Saat berwirid, kata Suwarno, Butet melakukan upaya menyapa jiwa, tubuh, dan pikirannya sendiri. Ia pasrah bungah atau berserah penuh suka cita pada semesta. Pada saat itu Butet berupaya meredam olah kata, hasrat artistik, dan estetiknya. Warno membahasakan upaya Butet itu sebagai tafakur kontemporer.
Akan tetapi, Butet mengakui bahwa dalam melakukan wirid visual-nya ada juga naluri artistik yang bicara, secara disadari atau di bawah sadar. Hamid Basyaib melihat sendiri bahwa dari gerakan tangannya, tampak sekali bahwa yang bergerak itu tangan pelukis.
Suwarno memberi penguatan, sebagai orang yang tumbuh di lingkaran kehidupan seniman Bagong Kussudiardjo, kesenian bagi Butet sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak ia lahir.
Butet dekat dengan seniman Sanggar Bambu. Goresan, tipologi huruf yang digunakan sangat kuat dipengaruhi seniman Sanggar Bambu. ”Seni sudah mengalir di nadinya,” kata Mas Warno.
Butet secara formal pernah sekolah di SMSR, dan kemudian di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ”ASRI”. Butet mengaku cukup lama tidak mendisiplinkan tangannya untuk menggores. Dengan aktif berwirid secara visual itu, Butet kembali melatih elastisitas jarinya sebagai pelukis.
Wiridnya sekaligus menjadi terapi elastisitas jari. Akan tetapi, di balik aktivitas fisik itu, Butet utamanya tetap melakukan apa yang ia sebut sebagai proses spiritual. Laku spiritual itu ia yakini telah dan akan membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
Kapitalisasi
Belakangan, naluri berkesenian Butet juga ikut ”cawe-cawe” dalam mengembangkan arsip doanya. Selain dicetak di atas kertas, arsip doa itu juga dibuat dalam bentuk karya bordir, bisa ditimpakan pada plat metal. Juga diwujudkan sebagai buku Jejak Wirid Visual. Butet bahkan sudah berencana memamerkan karya yang berangkat dari wirid itu di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada tahun depan.
Sebenarnya mata jeli penikmat dan kolektor seni rupa Oei Hong Djien sejak awal sudah mengendus aroma seni dalam karya Butet. Hong Djien jauh sebelum buku wirid visual Butet ini terbit, sudah menangkap karya Butet ini melibatkan spiritualitas senimannya.
Setidaknya dalam pameran seni rupa ”Mata Air bangsa” di OHD Museum, Magelang, 2022, Hong Djien telah menangkap kekuatan religiositas Butet dalam karya. ”Saya kaget, karena karya Butet sangat religius,” kata Oei Hong Djien, yang menghadiri peluncuran buku Butet.
Selain dicetak di atas kertas, arsip doa itu juga dibuat dalam bentuk karya bordir, bisa ditimpakan pada plat metal. Juga diwujudkan sebagai buku Jejak Wirid Visual.
Sebagai kolektor, Hong Djien mengaku terlatih mengendus kekuatan karya, dua atau empat langkah lebih cepat dari yang lain. Ia menilai wirid visual merupakan ”peak” atau puncak karya Butet. Bahkan, kata OHD, karya Butet itu akan menjadi boom di waktu mendatang.
Sebagai penikmat dan kolektor, dia berpegangan jika suatu karya itu enak dipandang dan nyaman di hati, maka karya itu wajib ia koleksi. ”Saya tidak mikir lagi apa (isi) tulisannya (dalam wirid), dan apa konsepnya. Pokoknya enak dan lain dari yang lain,” kata Hong Djien, yang kemudian membeli dan mengoleksi karya Butet.
Kejelian Hong Djien ini menjadi penanda kuat bahwa karya Butet sebagai benda seni memang ”adolable” atau bernilai jual. Dan mengacu pada penerawangan OHD, karya Butet, apa pun namanya, bisa dijual dan berpotensi payu alias laku.
Suwarno Wisetrotomo, sahabat dekat Butet, mengatakan bahwa pada Butet tidak ada yang tak dapat dikapitalisasi. Apa pun yang dilakukan Butet, kata Mas Warno, meski katanya tidak ada tendensi ini itu, tetap saja di ruang privatnya mengapitalisasi seni. ”Asu tenan nek iki ha-ha...,” kata Suwarno, yang disambut tawa hadirin di acara peluncuran buku, termasuk Butet.
Butet mengakui, sebagai ikhtiar bersyukur, wirid-nya itu ia lakukan dengan kesungguhan. Bahkan menjadi kewajiban, karena ia meyakini akan membawa kebaikan. Bahwa kemudian niat tulus itu mempunyai jejak visual, itu suatu hal yang tidak direncana sejak awal.
Bahwa kemudian arsip doa itu diapresiasi publik sebagai karya yang bernilai, hal itu mungkin merupakan bagian dari kebaikan yang kemudian datang. ”Kepepetnya bisa dijual ke Pak Hong Djien” kata Butet berseloroh serius.
Ya, serius karena Butet sebagai seniman sudah bertekad untuk tidak akan lari dari tanggung jawab sosial. Berkesenian baginya adalah semacam ibadah, akan tetapi kemandirian ekonomi juga wajib dibangun.
Butet dikenal oleh orang-orang di dalam lingkaran pertemanannya sebagai sosok yang mengayomi dan profesional. Itu dilakukan dalam koridor kemandirian ekonomi. ”Kesenimanan jangan disalahgunakan untuk kabur dari tanggung jawab sosial,” Kata Butet
Kini Butet juga berwirid untuk Nusantara. Semoga membawa kebaikan bagi negeri….