Faktor yang harus jadi pertimbangan adalah kenaikan biaya pendidikan lebih tinggi dibandingkan inflasi bahan pokok. Guna mengantisipasi risiko gagal dalam perencanaan, berikut langkah yang dapat ditempuh orangtua.
Oleh
PRITA HAPSARI GHOZIE
·4 menit baca
Pendidikan tinggi adalah puncak perjalanan edukasi seorang anak yang bisa jadi membutuhkan dana terbesar sepanjang hidup. Menurut data BPS, pada tahun 2022, tingkat penyelesaian pendidikan jenjang SMA/sederajat di DKI Jakarta adalah 87,71 persen, sementara di Jawa Tengah 58,75 persen. Dari lulusan itu, bisa jadi tidak semuanya melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi karena faktor biaya. Oleh sebab itu, bagi orangtua, yang menjadi sangat penting adalah menyiapkan dana pendidikan kuliah sedari dini.
Faktor utama yang harus menjadi pertimbangan adalah kenaikan biaya pendidikan bisa jadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan inflasi bahan kebutuhan pokok. Besaran kenaikan dalam biaya pendidikan tinggi memang sangat bervariasi, tergantung jenis sekolah yang dipilih.
Ambil contoh saja di almamater penulis yang mengenakan uang kuliah tunggal hampir Rp 500.000 per semester untuk angkatan 1998. Terbaru, untuk angkatan anak penulis pada tahun 2023, calon mahasiswa dikenai uang kuliah tunggal Rp 0 hingga Rp 17,5 juta per semester bergantung pada golongan/kelompok. Artinya, total kenaikan biaya mencapai 3.400 persen dalam 25 tahun terakhir.
Untuk mengantisipasi risiko kegagalan dalam perencanaan, berikut ini langkah yang dapat ditempuh oleh orangtua. Pertama, membuat prioritas perencanaan dana pendidikan anak. Saat anak mulai memasuki usia sekolah, orangtua akan berinvestasi untuk dana pendidikan berikutnya serta membayar biaya sekolah bulanan. Fokus utama orangtua sebaiknya memenuhi kebutuhan bimbingan belajar, biaya pendaftaran, tes, dan uang pangkal.
Sedikit berbagi fakta, anak penulis yang puji syukur jadi calon mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di Jawa Tengah ikut program bimbingan belajar 1 tahun untuk sukses memasuki PTN dengan biaya yang hampir setara dengan biaya per semester di fakultas acuannya. Artinya, jika orangtua tidak mempersiapkan biaya pendukungnya, bisa jadi anak perlu belajar mandiri agar bisa bersaing masuk ke fakultas dan universitas favorit.
Kedua, menghitung berapa dana pendidikan yang harus disiapkan sejak saat ini. Semakin dini orangtua mempersiapkan dana pendidikan anak, maka akan semakin kecil dana investasi yang dibutuhkan. Idealnya, besaran dana yang bisa dialokasikan untuk investasi dana pendidikan anak sebaiknya minimal 5 persen dari penghasilan bulanan orangtua.
Semakin dini orangtua mempersiapkan dana pendidikan anak, maka akan semakin kecil dana investasi yang dibutuhkan.
Hal penting yang perlu orangtua hitung adalah berapa target dana yang perlu dikumpulkan untuk bisa membiayai kuliah anak hingga lulus nanti. Ambil contoh, jika biaya kuliah mahasiswa angkatan 2023 secara rata-rata Rp 150 juta hingga lulus delapan semester, angka inilah yang perlu dikejar oleh setiap orangtua untuk kebutuhan anaknya.
Ketiga, memilih instrumen keuangan yang tepat untuk berinvestasi. Untuk setiap kebutuhan jenjang pendidikan dipersiapkan instrumen yang berbeda, yaitu tabungan dan investasi. Sebagai contoh, apabila saat ini anak berusia 1 tahun, maka untuk kebutuhan kuliah perlu dibedakan dengan kebutuhan dana sekolah dasar, misalnya.
Faktor berikutnya adalah menghindari kesalahan dalam memilih instrumen investasi untuk perencanaan dana pendidikan anak. Pahami bahwa instrumen investasi memiliki hasil imbal balik yang berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu. Kebutuhan untuk investasi jangka pendek tentu berbeda dengan jangka panjang. Pertimbangan antara potensi mendapatkan hasil yang maksimal, potensi risiko investasi, dan jumlah nilai investasi sesuai dengan kemampuan harus menjadi pertimbangan.
Kesalahan yang sering terjadi adalah instrumen investasi yang seharusnya diperuntukkan bagi investasi jangka pendek ternyata ditujukan untuk kebutuhan jangka panjang. Sebaliknya, karena merasa kepepet untuk tujuan jangka pendek, orangtua memilih investasi yang sangat agresif. Akibatnya, hasil yang didapatkan tidak maksimal, malah tidak mendekati target.
Kesalahan yang sering terjadi adalah instrumen investasi yang seharusnya diperuntukkan bagi investasi jangka pendek ternyata ditujukan untuk kebutuhan jangka panjang.
Dalam survei yang dilakukan oleh sebuah tabloid ekonomi dan bisnis pada tahun 2014, ternyata 90 persen dari orangtua di Indonesia telah mencoba untuk mempersiapkan dana pendidikan bagi anaknya. Urutan teratas yang dipilih oleh orangtua adalah asuransi pendidikan, lalu diikuti dengan tabungan, emas, properti, dan reksa dana. Namun, usaha keras ini mungkin tidak akan bisa mencapai tujuannya. Mengapa demikian?
Contoh kejadian di masyarakat adalah pemilihan instrumen keuangan untuk dana pendidikan universitas 16 tahun mendatang. Banyak orangtua menggunakan tabungan untuk mencapai hasil dalam jangka panjang. Padahal, dengan potensi imbal hasil hanya setara atau bahkan di bawah inflasi, kemungkinan target dana tercapai di masa depan akan semakin kecil.
Apakah harus selalu berinvestasi? Apabila kemampuan orangtua saat ini adalah menyisihkan Rp 500.000 per bulan, investasi dengan target hasil minimal 10 persen per tahun adalah sebuah keharusan. Sementara jika orangtua mampu menyisihkan Rp 2,5 juta per bulan, menabung di tabungan biasa saja selama 16 tahun bisa mencapai Rp 500 juta-an. Pertanyaannya, mampukah Anda?
Mempersiapkan dana pendidikan adalah kewajiban setiap orangtua. Semakin banyak tanggungannya, orangtua harus mampu berjibaku dengan anggaran bulanan rumah tangga. Mengutip kata pepatah, banyak anak banyak rezeki. Kalau kata saya, banyak anak perbanyak investasi dana pendidikan.