Membenahi dan Mengarusutamakan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
Pelaksanaan sistem pemerintahan berbasis elektronik masih menghadapi tantangan dari berbagai sisi. Untuk membenahinya, belajar dari negera lain, perlu koordinasi yang kuat dan ”champion” di bidang pemerintah digital.
Oleh
ABDULLAH AZWAR ANAS
·4 menit baca
Sementara dunia mulai bergerak ke arah supersmart society dan masuk dalam era Governance 5.0 yang mengutamakan kolaborasi citizen centric, Indonesia saat ini juga tengah mengalami pesatnya perkembangan teknologi melalui pertumbuhan aplikasi digital untuk menjawab kebutuhan sehari-hari.
Manfaat dari tren ini bukan saja dialami oleh masyarakat perkotaan, melainkan juga oleh berbagai masyarakat di daerah pelosok. Misalnya, sebagai negara maritim dengan jumlah kepulauan yang besar, para nelayan di daerah pesisir kini sudah akrab dengan pemanfaatan teknologi untuk pencarian ikan. Dengan bermodalkan perangkat telepon genggam, mereka bisa mengakses berbagai macam informasi, seperti lokasi-lokasi kumpulan ikan, serta cuaca saat melaut untuk keselamatan pelayaran.
Di sektor pemerintahan juga tengah terjadi transformasi layanan tatap muka (tradisional) menjadi layanan digital. Menurut data pemerintah, terdapat lebih dari 27.000 aplikasi digital di seluruh kementerian, lembaga pada instansi pusat dan pemerintah daerah.
Sayangnya mayoritas aplikasi digital tersebut tidak terintegrasi alias bekerja sendiri-sendiri, bahkan banyak yang tumpang tindih dan duplikasi. Masyarakat harus mengunduh belasan aplikasi yang berbeda di gawai mereka untuk mengakses layanan dan berhubungan dengan birokrasi pemerintah. Masyarakat juga harus menavigasi sendiri ribuan aplikasi tersebut, untuk menemukan akses layanan publik.
Sejak 2018, Indonesia telah meluncurkan kebijakan mengenai sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang bertujuan untuk mendorong keterpaduan dan efisiensi penyampaian pelayanan berbasis digital. Namun, implementasi SPBE masih menghadapi tantangan di berbagai sisi, terutama salah kaprah penyamaan upaya digitalisasi pemerintah dengan pembuatan aplikasi.
Akibatnya, publik ataupun ASN masih dihadapkan dengan proses birokrasi yang gemuk (excessive bureaucracy). Misalnya, petugas puskesmas sebelumnya harus mengisi puluhan aplikasi yang berbeda untuk melengkapi berbagai laporan dan menjalankan tugasnya. Kini, dengan integrasi bertahap menjadi satu aplikasi sederhana yang dilakukan Kementerian Kesehatan, waktu dan biaya dalam pengerjaan tugas tersebut dapat dihemat.
Belajar dari negara lain
Inilah mengapa seruan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu untuk menghentikan pembangunan aplikasi baru di lingkungan pemerintah dengan mengutamakan interoperabilitas antaraplikasi existing sudah tepat. Karena itu, kami belajar dari negara-negara dengan praktik pemerintah digital terbaik untuk menjadi panduan bagi arah layanan digital Pemerintah Indonesia ke depan.
Di Inggris Raya, kami belajar bahwa dibutuhkan fokus dan komitmen dari pemerintah pusat untuk dapat merampingkan ribuan layanan publik. Alhasil, masyarakat Inggris kini hanya perlu membuka laman Gov.UK untuk mengakses semua layanan digital pemerintahan. Seluruh laman situs pemerintah pusat dan daerah juga distandardisasi antarmuka sehingga masyarakat dapat dengan mudah berinteraksi dengan birokrasi pemerintah.
Di Estonia, kami belajar bahwa digitalisasi pelayanan publik menjadi tulang punggung digitalisasi ekonomi, di mana identitas digital memiliki peran penting. Sebanyak 99 persen layanan pemerintah di Estonia dilakukan secara digital dengan kartu identitas sebagai pengenal. Layanan swasta untuk publik seperti keuangan, transportasi juga terhubung kepada sistem pemerintahan. Ini menjadi langkah efisien karena masyarakat tidak perlu lagi mengisi begitu banyak formulir dengan informasi yang sama.
Seluruh pemangku kepentingan harus memahami, mengamini, serta mengimplementasikan visi SPBE secara utuh, yang didasari atas prinsip integrasi, efisiensi, dan berbagi pakai.
Apakah ini bisa diterapkan di Indonesia? Tentu Indonesia tidak boleh ketinggalan. Memang, karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, dapat menghadirkan tantangan tersendiri. Namun terlepas dari itu, ada beberapa pembelajaran penting yang saya petik dari keberhasilan Inggris Raya dan Estonia.
Satu, seluruh pemangku kepentingan harus memahami, mengamini, serta mengimplementasikan visi SPBE secara utuh, yang didasari prinsip integrasi, efisiensi, dan berbagi pakai. Saat ini di G20, pendekatan ini juga didiskusikan dan didukung dengan sebutan digital public infrastructure (DPI).
Artinya, setiap lembaga tidak perlu membuat ulang sesuatu yang sudah ada, seperti komponen aplikasi untuk masuk ke dalam sistem (single sign-on), untuk bertukar data (data exchange platform), dan untuk membayar (digital payment). Keberadaan komponen berbagi pakai yang konsisten di seluruh sistem pemerintah akan meningkatkan efisiensi dan juga menutup celah kejahatan siber, tentu hal di atas tidak dapat tercapai dan harus didasari dengan tata kelola yang kuat.
Oleh karena itu, poin kedua, Indonesia perlu memiliki koordinasi yang kuat dan champion di bidang pemerintah digital. Tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah pada pembagian peran yang rigid antar pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas tata kelola, dan juga terbatasnya kapasitas untuk implementasi di setiap instansi.
Sementara, negara yang pemerintahan digitalnya maju biasanya memiliki mekanisme koordinasi yang kuat serta champion yang jelas. Kemudian, struktur tata kelola pemerintahan digital yang bekerja dengan baik biasanya terdiri dari dua tingkat yang terpisah, yakni penanggung jawab untuk tata kelola dan penanggung jawab untuk implementasi.
Di Inggris Raya, terdapat instansi Central Digital and Data Office (CDDO) yang bertanggung jawab untuk tata kelola pemerintahan digital dan instansi Government Digital Service (GDS) untuk implementasi. Sementara di Singapura terdapat Smart Nation and Digital Government Office (SNDGO) dan GovTech.
Untuk Indonesia, saat ini kami telah membentuk Tim Koordinasi SPBE yang bertanggung jawab di sisi tata kelola, dan tim ini akan terus kami perkuat. Di sisi implementasi, kami mengusulkan layanan digital utama didelegasikan kepada BUMN, selaku lembaga pengembang teknologi pemerintahan (govtech) di Indonesia. Penugasan kepada BUMN akan membantu membangun kapabilitas pemerintah di bidang pemerintahan digital di luar praktik pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang saat ini belum terstandardisasi dan sering kali dilayani oleh vendor yang kurang berkualitas.
Ketiga, untuk memberi dampak langsung kepada masyarakat, Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan pelayanan publik digital utamanya terlebih dahulu dan membagi peran yang jelas antara instansi govtech dan unit-unit TIK yang sudah ada, seperti Pusat Data Informasi (Pusdatin) atau Pusat Sistem Informasi dan Teknologi Keuangan (Pusintek). Layanan utama tersebut termasuk identitas digital dan wadah pertukaran data antarinstansi. Dengan demikian, tersedia layanan dasar verifikasi individu untuk mengakses layanan publik digital dan juga antarlembaga dapat menghubungkan berbagai layanan dan bertukar data dengan aman dan tepercaya dalam waktu sebenarnya (real time).
Mantan Presiden Estonia Toomas Hendrik Ilves pernah mengatakan bahwa digitalisasi pemerintahanlah yang menjadi faktor utama Estonia dapat mengatasi ketertinggalan pembangunan ekonomi dari tetangganya Finlandia dalam kurun waktu dua dekade saja.
MPP Digital merupakan transformasi digital pelayanan publik agar dapat memberikan layanan yang efektif ke masyarakat, serta meningkatkan investasi.
Upaya perbaikan pelayanan pemerintah juga telah dilakukan dengan membangun Mal Pelayanan Publik (MPP) Digital Nasional yang secara langsung diluncurkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu. MPP Digital merupakan transformasi digital pelayanan publik agar dapat memberikan layanan yang efektif ke masyarakat, serta meningkatkan investasi.
MPP Digital menggunakan skema single sign-on yang diterapkan pada semua lini pelayanan publik di lingkup pemerintah daerah, di mana masyarakat dapat mengakses semua layanan dengan menggunakan satu akun saja dan cukup sekali mengunggah dokumen persyaratan layanan. Dengan demikian, melalui penyederhanaan proses bisnis, pelayanan akan menjadi lebih efisien.
Proses pengisian data juga tidak berulang karena telah terintegrasi dengan data kependudukan di Kementerian Dalam Negeri. Untuk tenaga kesehatan, telah terintegrasi dengan sistem informasi sumber daya manusia kesehatan (SISDMK) Kementerian Kesehatan. MPP Digital juga menggunakan teknologi face recognition (FR) untuk verifikasi user yang terintegrasi dengan identitas kependudukan digital (IKD).
MPP Digital sudah soft launching di 21 kabupaten dan kota, memberikan layanan administrasi kependudukan dan perizinan tenaga kesehatan, sebagai langkah awal dari serangkaian layanan lainnya ke depan.
Indonesia saat ini sudah berhasil mengambil langkah tepat menuju pemulihan ekonomi. Bahkan, Bank Dunia telah menempatkan Indonesia kembali sebagai negara berpenghasilan menengah atas yang potensial terus maju ke depan.
Namun, untuk mencapai mencapai tujuan Indonesia Emas sebagai negara maju, kita harus memacu perekonomian jauh lebih kencang dan memeratakannya dengan lebih baik, terutama melalui digitalisasi untuk menuju Revolusi 5.0 dan menjadikan world class government untuk Pemerintah Indonesia.
Abdullah Azwar Anas, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi