Saya tertegun di muka TIM, menyaksikan adegan itu, merasa cemas. Si bocah belum paham tindakannya amat berbahaya, tetapi di antara penonton ada yang senang menyaksikan pasukan bersenjata tak berkutik menghadapi bocah.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Penduduk kampung berkerumun di muka lorong-lorong kawasan Cikini Raya, Jakarta, sore itu. Ibu menggendong bayi. Anak-anak kecil. Para remaja. Pemuda-pemudi. Kaum bapak. Manula … Mereka bersiap menonton teater kekuasaan.
Jalanan lengang, karena kawasan Cikini dan sekitarnya telah disterilisasi dari lalu lintas kendaraan. Helikopter berputar-putar di langit, memantau situasi.
Satu peleton pasukan berseragam loreng dan bersenjata laras panjang berjajar membelah jalan, tepat di muka Taman Ismail Marzuki (TIM), pusat kesenian dan budaya yang diresmikan Gubernur Ali Sadikin pada 1968.
Tiba-tiba seorang bocah laki-laki berjalan ke muka pasukan. Suasana mulai hening. Bocah itu kemudian memunggungi pasukan loreng dan memeloroti celananya sendiri disertai ucapan tak senonoh. Pasukan bergeming. Suasana makin hening. Merasa misinya tercapai, bocah nakal melenggang pergi. Suara tawa dan tepuk tangan terdengar.
Saya tertegun di muka TIM, menyaksikan adegan itu, merasa cemas. Si bocah belum paham tindakannya amat berbahaya, tetapi di antara penonton ada yang senang menyaksikan pasukan bersenjata tak berkutik menghadapi bocah.
Pada pagi hari yang sama, 27 Juli 1996, aparat mengambil alih kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta, dengan cara-cara kekerasan demi menegakkan kekuasaan dan memanjangkan umur rezim militeristik Orde Baru.
Pengambilalihan kantor adalah bagian dari operasi terencana rezim yang menolak Megawati Soekarnoputri sebagai ketua Partai Demokrasi Indonesia dan mendukung Soerjadi. Tidak hanya menjadi tempat berkumpul para pendukung dan anggota Partai Demokrasi Indonesia pro Megawati, kantor itu juga berfungsi sebagai posko perjuangan rakyat Indonesia menentang rezim Orde Baru. Mimbar bebas diselenggarakan di sana setiap hari.
Komnas HAM mengungkap 147 orang terluka, 5 orang meninggal, dan 23 orang hilang akibat operasi aparat pada 27 Juli 1996. Jumlah korban tak terdata lebih banyak lagi, tetapi sulit memperoleh data utuh selama sisa-sisa nukleus Orde Baru masih bercokol di bidang sipil dan militer dalam pemerintahan pasca-Orde Baru. Dua jenderal yang terlibat dalam operasi itu masih eksis setelah rezim Orde Baru berakhir.
Kegagalan mengungkap kebenaran di balik peristiwa 27 Juli 1996 akan berlanjut jika presiden yang terpilih pada 2024 adalah sosok yang juga terlibat dalam operasi tersebut.
Rezim Orde Baru menuduh Partai Rakyat Demokratik menunggangi mimbar bebas demokrasi di muka kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia. Tuduhan ini dilancarkan rezim berdasarkan penemuan dokumen yang mengindikasikan bahwa partai tersebut adalah binaan Jenderal Benny Moerdani dan dikait-kaitkan dengan CSIS, sebuah lembaga think tank di Jakarta.
Padahal, dokumen sengaja dibuat dan diletakkan di TKP oleh oknum intelijen agar ditemukan dengan tujuan memprovokasi kebijakan rezim untuk keuntungan pihak tertentu. Aktivis Partai Rakyat Demokratik yang ikut menjadi panitia mimbar bebas, Petrus Bima Anugrah, menjadi salah seorang korban penghilangan paksa di masa Orde Baru.
Operasi 27 Juli 1996 juga melibatkan korporasi oligarki, jika menilik lokasi perencanaan yang berlangsung di sebuah hotel dekat Lapangan Banteng, Jakarta, dan hal ini telah terungkap dalam berbagai tulisan pasca-Orde Baru.
Peristiwa 27 Juli 1996 sering dianggap puncak serangan terhadap perlawanan rakyat Indonesia dan kaum cendekia yang telah berlangsung sejak rezim Orde Baru berkuasa. Berdasarkan dokumen-dokumen negara Amerika Serikat yang sudah dibuka untuk publik, rezim ini didukung kekuatan asing untuk merebut kekuasaan dari rezim sebelumnya.
Perlawanan-perlawanan di masa Orde Baru menyebabkan perubahan kekuasaan pada 21 Mei 1998: Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Perjuangan dan pengorbanan rakyat Indonesia untuk menggapai keadilan dan penegakan hukum terus berlanjut setelah 27 Juli 1996. Para pelanggar HAM dan pendukung pelanggaran HAM juga mengalami regenerasi. Ferdy Sambo adalah salah satu contoh regenerasi pelanggar HAM dalam tubuh institusi kepolisian kita. Ditambah lagi sejumlah eksponen pejuang demokrasi malah balik gagang atau membelot.
Pengungkapan kebenaran dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur penegakan hukum di pengadilan adalah satu-satunya cara terbaik dan terhormat untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan di negara Indonesia. Namun, keputusan majelis hakim pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas pelaku pelanggaran HAM yang berat dalam Peristiwa Paniai di Papua dan pengangkatan kembali sejumlah pelaku kejahatan HAM yang berat di institusi militer, menunjukkan bahwa pertarungan kejahatan dan kebaikan masih berlangsung.
Pelanggaran HAM di Indonesia bukan masalah negara Indonesia saja, tetapi merupakan masalah dan tanggung jawab internasional, karena sifat dan status kejahatan ini adalah kejahatan universal dan berlaku surut, tidak mengenal kedaluwarsa. Individu, organisasi atau lembaga, dan negara mana pun di dunia dapat menggunakan hak dan kewajibannya untuk menyeret para pelaku pelanggaran HAM di mana pun ke muka pengadilan di negara yang menyatakan kewenangannya untuk mengadili.
Mudah-mudahan suatu hari penegakan hukum dan keadilan dapat terwujud bagi korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia.