Renungan Proklamasi
Gagasan para bakal capres dan wakilnya, juga para calon legislatif, perlu segera dimunculkan. Rakyat perlu tahu apa saja pemikiran mereka terhadap persoalan bangsa. Jangan sampai kita bak membeli kucing dalam karung.
Tanggal 14 Februari 2024, negeri kita akan menyelenggarakan pemilihan umum. Selain memilih presiden dan wakil presiden, rakyat serentak juga memilih wakil-wakil mereka di DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Jumlah total calon legislatif 20.000 lebih, dari 18 partai politik nasional dan 6 parpol lokal Aceh.
Para elite politik pilihan rakyat itulah yang akan memegang kekuasaan lima tahun ke depan. Tentu tidak mudah memilih di antara ribuan calon wakil rakyat itu. Ini mengingat implikasi pilihan tersebut, idealnya keputusan kita didasari pengetahuan memadai soal calon yang kita pilih.
Tajuk Rencana ”Saatnya Munculkan Gagasan” (Kompas, 12 Juli 2023), melihat bahwa di tengah maraknya koalisi partai politik (parpol)—walau kampanye Pemilu 2024 belum dimulai—gagasan para bakal capres dan bakal wakil mereka sudah perlu dimunculkan.
Di sisi calon legislatif, hendaknya nanti juga demikian. Rakyat perlu mengetahui apa saja jawaban mereka terhadap berbagai persoalan bangsa yang kompleks multidimensional. Ini menjadi bekal kita memilih sehingga tidak seperti ”membeli kucing dalam karung”.
Menyambut ulang tahun ke-78 kemerdekaan RI, ada baiknya kita simak amanat Presiden Soekarno pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1955, sesaat sebelum pemilu anggota DPR dan Konstituante.
Presiden Soekarno mengingatkan bahwa pemilu akan menyempurnakan demokrasi. Namun, demokrasi dan pemilu hanyalah alat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Maka, janganlah alat ini memecah belah bangsa, menimbulkan saling dengki dan benci, karena nafsu ”dia mau kursi” semata (Ir Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid Kedua. Cetakan Kedua, 1965, hal. 221-247).
Bung Karno berpesan: ”Di dalam pemilu engkau menjadi hakim! Ambil kesempatan itu! Tangkap kesempatan itu! Pilih orang yang benar-benar pemimpin! Pilihlah orang yang benar-benar mengabdi kepada rakyat dan tanah air Indonesia, bukan kepada kepentingan asing, diri sendiri, atau golongan sendiri.”
Kendati sudah 68 tahun lampau, amanat salah seorang Proklamator itu terasa relevan dan penting sebagai tuntunan menjelang Pemilu 2024. Semoga menjadi renungan kita semua dalam suasana memperingati Hari Ulang Tahun Ke-78 Proklamasi.
Dirgahayu Republik Indonesia.
Eduard LukmanJl Warga, RT 014 RW 003 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Dirgahayu Ke-78 RI
Melewati rentang waktu 78 tahun, seharusnya bangsa Indonesia telah memiliki landasan bernegara yang kuat, baik berpikir maupun bertindak. Sayang—seiring berjalannya waktu—justru kedisiplinan, kejujuran, kepatuhan pada hukum dan budaya bersih kian memudar.
Impitan ekonomi yang semakin dirasakan berat dan pesatnya perkembangan teknologi informasi membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya, kelompok berpendidikan dan yang tidak semakin melebar.
Pembiaran perilaku yang tidak patuh pada peraturan (hukum) mengakibatkan pudarnya batas-batas moral antara baik dan buruk, benar dan salah.
Membangun suatu bangsa yang kuat dan berdaulat tidak akan mungkin berhasil jika sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki bangsa Indonesia seperti sekarang. Watak (DNA) yang koruptif, tidak jujur, tidak disiplin, ceroboh, etos kerja rendah, dan bekerja asal-asalan atau tanpa kajian yang matang.
Untuk mencegah semakin menipisnya jati diri bangsa, terkait merosotnya nilai-nilai keimanan, nasionalisme, sosial budaya dan moralitas individu, jadikan HUT yang ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia ini sebagai titik tolak membangun sistem pendidikan yang dapat melahirkan generasi yang jujur, berbela rasa, dan cinta Tanah Air. Dengan demikian, bangsa Indonesia dapat memiliki jati diri sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Dirgahayu yang ke-78 Republik Indonesia.
FX WibisonoJl Kumudasmoro Utara, Semarang 50148
Lapangan Merdeka
Warga beraktivitas di pusat jajanan Merdeka Walk di Lapangan Merdeka, Medan, Sumatera Utara, Senin (17/8/2020). Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut menolak keberadaan kawasan komersial itu di Lapangan Merdeka.
Lapangan Merdeka Medan dibangun pada 1870-1880 oleh kongsi dagang VOC Belanda, semula diberi nama The Esplanade. Ketika Jepang masuk— Maret 1942-Agustus 1945—namanya diganti jadi Fukuraido.
Setelah Indonesia merdeka, Wali Kota pertama Kota Medan, Mr Luat Siregar, mengganti namanya menjadi Lapangan Merdeka, pada 6 Oktober 1945.
Nama resminya terbit lima tahun setelah merdeka, yaitu Tanah Lapangan Merdeka. Ini berdasarkan Maklumat nomor 17 pada April 1951, yang dikeluarkan Wali Kota Medan Djaidin Purba.
Sejak 2014, Koalisi memperjuangkan agar Lapangan Merdeka Medan ditetapkan menjadi cagar budaya. Hasilnya, pada 28 Oktober 2022 terbit SK Wali Kota Medan Nomor 433/28.K/X/2021.
Harapannya hal ini bisa menjadi pemicu agar semua lapangan tempat pertama kali Merah Putih dikibarkan di pelbagai kota di seluruh Indonesia juga menjadi cagar budaya (CB) kategori Situs Proklamasi.
Kalau belum ditetapkan sebagai CB, saya mengimbau para wali kota atau bupati supaya segera menetapkan. Lalu mengusulkan bersama gubernur ke pemerintah cq Menteri Pendidikan & Kebudayaan cq Dirjen Kebudayaan agar ditetapkan menjadi Situs Proklamasi!
Signifikansinya jelas, berdasarkan nilai sejarah, budaya, estetika (desain-arsitektur), sosial dan ilmu pengetahuan.
Lapangan Merdeka dan kawasan sekitarnya memiliki nilai penting yang signifikan, sebagai penanda fisik kota-kota di Indonesia; sebelum dan setelah kemerdekaan. Kita membutuhkan ruang seperti itu.
Sayangnya, upaya revitalisasi Lapangan Merdeka Medan juga akan membangun kawasan bisnis, tempat parkir, bioskop, dan sebagainya. Kami Koalisi khawatir akan terjadi kemacetan sekaligus mendegradasi statusnya sebagai cagar budaya.
Miduk HutabaratKoordinator Koalisi Peduli Revitalisasi Lapangan Merdeka Medan
Kesantunan Lisan
Ucapan seorang akademisi dalam sebuah forum konsolidasi aksi aliansi buruh, 29 Juli 2023, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan.
Ucapan yang bersangkutan dinilai kurang pantas dan tidak etis, apalagi disampaikan oleh seseorang, yang konon, menyebut serta menempatkan dirinya sebagai pakar filsafat. Orang itu saat ini hidup di sebuah negara yang memiliki budaya dan adat ketimuran, bukan negara dengan budaya Barat yang identik dengan perilaku liberal.
Saya tidak tertarik membahas atau mengulas konten ucapan yang disampaikan, tetapi ingin menggarisbawahi konteks keadaban bagi seorang warga negara Indonesia yang baik, apalagi merupakan sosok yang terpandang.
Ucapan atau pernyataan yang berisi kritikan, sekeras apa pun, selayaknya diucapkan dengan penuh kesantunan, tidak mengumbar kebencian dan rasa dengki, sehingga bisa mengundang permusuhan dan berpotensi menjadi fitnah.
Mengartikulasikan hak berdemokrasi dalam bentuk pidato, orasi, atau pernyataan lisan sudah selayaknya dilakukan dengan menjaga marwah keadaban dalam bertutur kata.
Rasanya, agama apa pun, senantiasa mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga lidah dan ucapan.
Lisan adalah manifestasi martabat diri kita. Dalam filsafat moral pun, selalu diajarkan tentang hal yang baik dan tidak baik, atau, hal yang pantas dan tidak pantas.
Budi Sartono Soetiardjo Graha Bukit Raya, Cilame, Kabupaten Bandung Barat
”Nikuba”
Nikuba ialah akronim dalam bahasa Jawa. Kepanjangannya ialah ”niku banyu” (itu air).
Di artikel opininya, ”Negeri Penemu” (Kompas, 18/7/2023), Fahmi Amhar menerangkan bahwa air dapat diurai dengan elektrolisis menjadi hidrogen dan oksigen. Hidrogennya dapat dipakai sebagai bahan bakar, tetapi proses itu endoergik.
Kita yang pernah belajar Fisika di SMP atau SMA tentu tahu tentang hal itu, dan pernah melakukan elektrolisis di lab, atau setidaknya melihat peragaan guru.
Saya tidak tahu, tetapi menduga bahwa Fahmi menulis hal tersebut karena nikuba beberapa kali dipanggungkan di televisi, antara lain oleh Aiman. Fahmi juga membuat kita teringat pada ”kecelik”-nya sebuah PTS di Yogyakarta, yang mengeluarkan dana lebih dari 1 miliar untuk proyek ”nikuba”. Saat itu disebut ”energi biru”.
Bersama dengan ”padi ajaib” (supertoy), ”energi biru” (blue energy) itu dulu sempat memantik sensasi. Dalam peristiwa itu ada petinggi yang pantas diacungi jempol untuk kejujuran dan kerendahan hatinya. Petinggi itu berani berkata: ”I am not a scientist myself”.
L WilardjoKlaseman, Salatiga
Pemerataan Pendidikan
Sila kelima Pancasila menegaskan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Konsep ini berlaku dalam segala aspek termasuk pendidikan.
Amanat konstitusi menegaskan, negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara jelas bertanggung jawab atas pendidikan bangsa, tetapi apakah semata kewajiban negara? Hadirnya lembaga pendidikan swasta berkualitas menjadi bukti partisipasi masyarakat.
Kenapa tiap tahun berulang masalah pendidikan? Satryo Soemantri Brodjonegoro menyebutnya ibarat memadamkan api tanpa menghilangkan penyebab kebakaran (”Investasi Pendidikan”, Kompas, 26 Juli 2023), salah satunya tidak ada pemerataan kualitas pendidikan. Bila kualitas merata, pendidikan bermartabat.
Ada yang terlewat pada analisis tersebut, pemerataan kualitas pendidikan terkait biaya, terkait penghasilan orangtua. Dari sini persoalan bermula, tidak semua orangtua mempunyai penghasilan tetap dan cukup, sementara biaya pendidikan terus berjalan.
Menurut BPS, per kapita Indonesia 2022 Rp 5,9 juta per bulan. Pendapatan ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bahkan ada yang berpendapatan di bawah itu.
Semua paham pendidikan merupakan investasi, bukan beban. Namun, dengan pendapatan minim, sulit untuk berinvestasi. Bila penyebab ini tidak selesai, persoalan pendidikan muncul sepanjang hayat.
Selain itu tidak ada keberlanjutan program pendidikan tiap ganti pimpinan. Kebijakan pendidikan pemerintah sebelumnya tidak dilanjutkan pemerintahan baru, dan pemerintahan berikutnya mungkin juga akan membuat kebijakan baru. Tiap ganti menteri ganti aturan, ganti kurikulum.
Kemendikbud tidak memiliki cetak biru pendidikan jangka panjang. Kesannya tiap Mendikbud ingin meninggalkan jejak kenangan meski tidak bermakna. Dengan sikap ini, siswa menjadi korban. Ujungnya lulusan dituding tidak kompeten dan tidak siap masuk kerja.
Solusinya, sekolah gratis di semua tingkatan, baik negeri maupun swasta. Dengan demikian semua mendapat pendidikan berkualitas merata, jalur zonasi efektif, perguruan tinggi tidak ada UKT. Dana dari pajak dan perampasan aset koruptor.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut, bila korupsi di bidang tambang, celahnya bisa ditutup, penduduk Indonesia bisa mendapat uang Rp 30 juta per keluarga per bulan.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi Cilengkrang Bandung 40616