Anak Muda, Politik, dan Kesenjangan Demokrasi
Menjelang pemilu, alih-alih mengembangkan partisipasi politik kritis, disinyalir sebagian besar anak muda cenderung apatis terhadap isu sosial dan politik. Ada kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda.
Apa yang menyebabkan anak muda urban di Tanah Air cenderung apolitis dan rendah partisipasi politiknya?
Kajian tentang dampak jejaring sosial daring terhadap kehidupan anak muda digital natives telah banyak dilakukan. Kajian-kajian itu umumnya menyoroti pengaruh perilaku pemanfaatan berbagai jenis media sosial ataupun situs-situs jejaring sosial terhadap konstruksi identitas, kreativitas, perilaku konsumsi, literasi media, budaya global, budaya virtual, dan subkultur anak muda lainnya (Buckingham, Bragg, dan Kehily, 2014).
Namun, di sini belum banyak studi yang memfokuskan dampaknya terhadap partisipasi politik daring anak muda dalam kehidupan berdemokrasi sebagai bagian dari masyarakat madani (civil society).
Partisipasi politik?
Menjelang tahun politik 2024, alih-alih mengembangkan partisipasi politik kritis yang radikal, disinyalir sebagian besar anak muda justru lebih banyak terlibat dalam aktivitas pleasure dan memerankan diri sebagai konsumen aktif berbagai produk industri budaya. Memang, internet dan bentuk media baru, termasuk Web 2.0, memiliki karakter bebas kontrol, nondiskriminatif, dan mengatasi kendala ruang.
Namun, justru karena karakter itulah anak muda terbawa hasrat kesenangan semata. Di kalangan anak muda digital natives, aktivitas yang penuh dengan playful surfing pada gilirannya justru memicu rasa ingin tahu yang malas (Supeli dalam Hardiman, 2010: 343), bahkan bukan tak mungkin melahirkan sikap yang apatis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan demokrasi.
Menjelang tahun politik 2024, alih-alih mengembangkan partisipasi politik kritis yang radikal, disinyalir sebagian besar anak muda justru lebih banyak terlibat dalam aktivitas pleasure dan memerankan diri sebagai konsumen aktif berbagai produk industri budaya.
Dimulai sejak adanya kajian tentang subkultur anak muda dari perspektif cultural studies, sudah tergambarkan bahwa di kalangan mereka telah berkembang perilaku konsumsi yang terlihat dari gaya hidup berorientasi pada produk komersial yang ditawarkan industri budaya kapitalisme.
Studi yang dilakukan Sugihartati (2018) di Surabaya dan Malang menemukan anak-anak muda yang disebut-sebut sebagai generasi milenial, alih-alih berkomitmen dan terlibat aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat marjinal dan reformasi politik, justru lebih sering menjadi bagian dari leisure class yang menampilkan gaya hidup santai, hedonistik, acuh tak acuh. Mereka lebih banyak memosisikan diri sebagai bagian dari masyarakat konsumen daripada menjadi bagian dari masyarakat madani.
Seperti dikatakan Robert Hassan (2004) dalam bukunya, Media, Politics and Network Society, bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan globalisasi kapitalisme telah menyebabkan kelompok masyarakat madani menjadi terhegemoni.
Mereka tak ubahnya seperti masyarakat konsumen yang digambarkan Baudrillard (2006) sebagai masyarakat yang selalu menjadi target pasar bagi kekuatan industri budaya.
Keterlibatan anak muda dalam memanfaatkan media sosial untuk berpartisipasi politik secara umum belum banyak berkembang. Dari 150 anak muda yang diteliti, sebagian besar cenderung hanya memanfaatkan media sosial untuk membaca informasi politik atau hanya sebagai pembaca pasif.
Kebanyakan anak muda cenderung apatis atau acuh tak acuh terhadap berita atau informasi politik. Studi yang dilakukan penulis menemukan hanya 11,3 persen responden yang membagi konten informasi politik atau melakukan sirkulasi konten politik kepada orang lain melalui media sosial.
Bahkan, hanya 4,7 persen responden yang mengaku sangat sering. Dari 150 anak muda yang diteliti, hampir semua (90,7 persen) mengaku tidak pernah mengubah dan kemudian meresirkulasi informasi politik yang mereka buat.
Hanya 0,7 persen responden yang mengaku sangat sering menjadi prosumer, yakni orang yang mengonsumsi sekaligus memproduksi informasi politik. Sebanyak 4 persen responden mengaku sering menjadi prosumer informasi politik.
Kesenjangan digital
Apa penyebab partisipasi politik anak muda cenderung rendah? Kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda ditengarai salah satu hal yang dipengaruhi dan memengaruhi partisipasi politik daring kelompok digital natives.
John Shirley (1992) menyatakan, anak muda yang bersikap apatis cenderung jadi cybernetic person, yaitu orang yang tak tertarik ide-ide demokrasi atau masyarakat madani, yang mengandung pemahaman tentang aturan main serta konsensus yang memegang peranan.
Cybernetic person dalam banyak hal justru bersikap antidemokrasi. Mereka individu-individu yang terampil dan cerdas, serta memiliki kemampuan serta akses untuk mengendalikan teknologi untuk tujuan pribadi, seperti kesenangan, keuntungan, prinsip, atau perkembangan diri sendiri.
Kesenjangan digital yang terjadi di kalangan anak muda ditengarai salah satu hal yang dipengaruhi dan memengaruhi partisipasi politik daring kelompok digital natives.
Padahal, di era digital saat ini, tidaklah cukup memiliki keterampilan digital semata dalam mengoperasikan teknologi digital tanpa benar-benar mengembangkan manfaatnya untuk kepentingan yang lebih berorientasi pada bidang kehidupan dalam masyarakat (Van Dijk dan Van Deursen, 2014).
Kultur partisipatif
Sebagai generasi yang lahir dan hidup di era internet, digital natives atau net generation sudah pasti tak akan asing lagi dengan ponsel pintar dan gawai lain yang memberikan kesempatan kepada mereka melakukan berbagai jenis aktivitas daring.
Perkembangan aplikasi web telah memberikan kemudahan bagi siapa saja, termasuk kelompok digital natives, untuk berpartisipasi dalam menggunakan internet.
Kecenderungan ini ditandai dengan kemampuan pengguna internet untuk secara aktif membuat konten sehingga dapat mengambil peran dalam memproduksi dan membagi informasi. Henry Jenkins (2006) mengonseptualisasikan meningkatnya produktivitas pengguna internet ini sebagai bagian dari budaya partisipatif (participatory culture).
Dengan menggunakan konsep budaya partisipatif, akan bisa dikaji sejauh mana kelompok digital natives terlibat berbagai kegiatan daringnya. Lebih dari sekadar konsumer pasif, kehadiran Web 2.0 idealnya akan mendorong munculnya kelompok user yang makin kritis dan aktif berpartisipasi dalam kehidupan berdemokrasi.
Dalam perkembangan studi kebudayaan, konsep budaya partisipatif biasanya digunakan untuk menunjuk pada pergeseran peran pengguna internet yang lebih aktif dan partisipatif membuat konten untuk dikonsumsi dan disirkulasikan.
Jenkins (2006) mendefinisikan budaya partisipatif sebagai budaya dengan hambatan yang relatif kecil untuk mengekspresikan bentuk-bentuk konten dan terdapat keterlibatan masyarakat, serta dukungan yang kuat untuk menciptakan dan berbagai kreasi konten. Dengan keterlibatan sosial dan interaktivitas, konten-konten yang tercipta akan dibagikan dalam suatu ikatan sosial dan berbagai komunitas daring.
Jenkins membagi budaya partisipatif ke dalam empat kelompok, yaitu afiliasi, ekspresi, pemecahan masalah kolaboratif, dan sirkulasi. Keempat kategori ini cenderung terjalin dan saling tergantung serta menyatu dalam membentuk fondasi perkembangan budaya partisipatif. Banyak contoh yang bisa dikenali tentang keempat kategori budaya partisipatif.
Pertama, menurut Jenkins (2006), afiliasi merupakan keanggotaan formal dan informal dalam komunitas daring. Contoh umum dari jenis budaya partisipatif termasuk situs seperti Facebook, MySpace, dan Friendster, yang anggota-anggotanya terhubung satu sama lain melalui jaringan sosial.
Dalam komunitas ini, anggota dapat saling berbagi foto, selera musik, dan lainnya. Berjejaring sosial memainkan peran penting dalam budaya partisipatif dan merupakan suatu kemampuan sosial yang perlu dikembangkan oleh pengguna (Jenkins et al, 2006).
Kedua, bentuk budaya partisipatif yang dikemukakan Jenkins adalah ekspresi, yaitu bentuk produksi konten hasil dari pembuatan kreativitas baru, misalnya fanfiction yang merupakan platform untuk menampilkan ekspresi inovasi penggemar fiksi populer.
Ketiga, pemecahan masalah kolaboratif merupakan bentuk kerja sama daring untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan baru. Wikipedia adalah contohnya.
Keempat adalah sirkulasi, yaitu jenis budaya partisipatif yang melibatkan aliran informasi melalui aktivitas seperti blogging, video blogging, dan podcasting. Blog digunakan sebagai ruang bagi individu atau kelompok untuk menulis dalam semacam buku harian yang diperbarui secara daring dan kontinu (Beer dan Burrows, 2007).
Dalam praktik sehari-hari, bisa saja seorang pengguna internet mengembangkan budaya ekspresi saja, tidak melakukan budaya partisipatif yang lain. Atau bisa pula, seseorang aktif mengembangkan budaya afiliasi sekaligus budaya sirkulasi, atau bahkan menggabungkan semua bentuk budaya partisipatif sebagai cara mereka menyalurkan partisipasi politiknya. Cuma masalahnya, dalam kenyataan tidak selalu tumbuhnya kultur partisipatif kemudian terepresentasi dalam aktivitas dan partisipasi politik.
Kesenjangan demokrasi
Menurut Noris (2001), salah satu isu yang perlu dicermati akibat dari kesenjangan digital adalah persoalan kesenjangan demokrasi (democratic divide), yaitu berkaitan dengan penggunaan internet untuk tujuan partisipasi politik.
Selama terdapat persoalan kesenjangan demokrasi, maka masih akan terjadi masalah karena kelompok-kelompok sosial yang termarjinalkan secara politis masih menonjol, dan mereka cenderung menarik diri dari aktivitas politik.
Jika internet sebagai teknologi digital diyakini menjadi media yang mempromosikan demokrasi, tentunya kelompok-kelompok dalam masyarakat sebagai bagian dari masyarakat madani dapat menggunakan potensi demokratis ini sebagai sarana untuk menyalurkan apa yang menjadi aspirasi sosial-politik mereka. Namun, lain soal jika kehadiran internet tak lagi steril dari kepentingan politik.
Di masyarakat postmodern sering muncul tuduhan tentang sikap anak muda digital natives yang secara politis cenderung apatis sehingga jarang sekali dari mereka ikut berpartisipasi dalam berbagai proses dan isu-isu politik serta demokrasi (Loader, Vromen, dan Xenos, 2014). Hubungan anak muda dengan politik kontemporer memang sangat problematik.
Mereka sering distigma sebagai kelompok apolitis dari ”krisis demokrasi”. Sementara itu, mereka juga dianggap sebagai kelompok yang aktif menghasilkan konten-konten media sehingga partisipasi politik mereka sering kali diposisikan biner terhadap aktivitas daring lainnya.
Sudah barang tentu faktor apa yang memengaruhi pilihan budaya partisipatif yang dikembangkan sangat kompleks dan tidak dapat disimplifikasi hanya pada soal apatisme atau karena dipengaruhi latar belakang pendidikan mereka ataupun variabel demografis lainnya.
Untuk memunculkan dan meningkatkan partisipasi politik anak muda, banyak agenda yang harus diselesaikan.
Menumbuhkan kepekaan anak muda agar bersikap kritis terhadap kekuasaan niscaya membutuhkan upaya yang serius dari banyak pihak, mulai dari peran partai politik, peran media massa, pendidikan politik dari kampus, hingga komitmen pemerintah.
Rahma Sugihartati, Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga