Pemerintah perlu juri untuk mencari jalan tengah antara dua indeks hasil pembangunan desa, IDM dan ID. Sebab, evaluasi RPJMN 2020-2024 akan terkendala dualisme ukuran dengan target yang sama.
Oleh
UDIN SUCHAINI
·3 menit baca
Menjelang 10 tahun implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), perlu evaluasi atas ratusan triliun rupiah dana desa yang sudah digelontorkan. Tambah lagi seiring dengan dorongan revisi UU Desa, perlu upaya penyelarasan evaluasi output dan outcome pembangunan desa. Sebab, keduanya masih menyisakan persoalan, mulai dari dualisme ukuran output evaluasi pembangunan desa dan outcome kemiskinan perdesaan yang bukan cerminan kemiskinan wilayah administrasi desa.
Mengulang masalah
Dua kali Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditetapkan, tetap saja ada dua ukuran pembangunan desa. Pada periode 2015-2019, penulis pernah mengulas harmonisasi data pembangunan desa (Kompas, 3/9/2019), dalam rangka harmonisasi Indeks Pembangunan Desa (IPD) dan Indeks Desa Membangun (IDM). Sayangnya, periode 2020-2024 masalah sama terjadi, yaitu adanya IDM dan Indeks Desa (ID), seakan menegaskan betapa sulit pemerintah berkolaborasi.
Persoalan evaluasi pembangunan desa pada RPJMN 2015-2019 sebenarnya sudah diselesaikan dengan meleburkan IPD dan IDM menjadi ID. Kolaborasi bersama telah dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas); Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri); Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK); Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT); Kementerian Keuangan (Kemenkeu); dan Badan Pusat Statistik (BPS) dan menghasilkan ID yang ditetapkan jadi patokan dalam RPJMN 2020-2024.
Meski demikian, hingga kini IDM dipertahankan dengan alasan menjadi salah satu ukuran pengalokasian dana desa terkait alokasi afirmasi dan kinerja. Padahal, Kemenkeu dapat mengadopsi ID selama indeks tersebut diatur dalam peraturan menteri. Dampaknya, meski sudah menjadi patokan dalam RPJMN, ID belum bisa menggantikan IDM untuk alokasi afirmasi dan kinerja dana desa. Sayangnya, IDM-lah yang tetap diatur melalui Keputusan Menteri Desa PDTT Nomor 80/2022 sehingga seakan-akan bertambah satu ukuran evaluasi pembangunan desa baru, yaitu ID.
Persoalan semakin pelik saat ID tidak dihitung oleh BPS pada 2022 dan 2023 karena pemangkasan anggaran. BPS tidak melaksanakan kegiatan pemutakhiran data perkembangan desa sebagai sumber data penghitungan ID akibat Automatic Adjustment (AA). Padahal, masalah-masalah ini tak akan terjadi jika ada forum reguler Eselon 1 antarkementerian/lembaga yang menaungi kebijakan wilayah administrasi desa sebagai tindak lanjut hasil kolaborasi tahun 2019. Kepentingannya, pemerintah perlu menjaga kesinambungan keputusan bersama dalam rangka evaluasi pembangunan desa yang terukur secara output dan outcome sesuai amanah UU Desa.
”Output” pembangunan desa
Output pembangunan desa sesuai UU Desa tecermin dalam pemenuhan infrastruktur dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Karena itu, target evaluasi pembangunan desa dalam RPJMN perlu mencerminkan hasil pembangunan yang dibangun oleh pemerintah desa dan supra desa.
Sementara itu, pemerintah perlu juri untuk mencari jalan tengah antara dua indeks hasil pembangunan desa, IDM dan ID, karena evaluasi RPJMN 2020-2024 akan terkendala dualisme ukuran dengan target yang sama. Target Pembangunan desa tertuang pada Perpres Nomor 18/2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024 menargetkan adanya 10.559 desa mandiri, 59.879 desa berkembang, dan 3.232 desa tertinggal.
Perlu jalan tengah supaya pemilihan indikator evaluasi pembangunan desa tidak berpijak kepada pilihan yang menguntungkan bagi pemerintah saja.
Jika dilihat capaian perkembangan desa tahun 2021, status perkembangan desa antara IDM dan ID memiliki perbedaan. Saat berpijak kepada IDM 2021, pemerintah masih perlu mengentaskan 2.417 desa sangat tertinggal, meningkatkan 6.476 desa menjadi berkembang, serta 7.290 desa menjadi mandiri. Sementara itu, jika berpijak pada ID 2021, pemerintah hanya tinggal mengentaskan 1.829 desa sangat tertinggal, serta meningkatkan 1.084 desa menjadi berkembang dan 7.653 menjadi mandiri. Tentu saja perlu jalan tengah supaya pemilihan indikator evaluasi pembangunan desa tidak berpijak kepada pilihan yang menguntungkan bagi pemerintah saja.
”Outcome” pembangunan desa
Sementara itu, outcome pembangunan desa sesuai UU Desa tecermin dari peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan di desa. Sayangnya, ukuran makro tingkat kemiskinan perdesaan yang dirilis BPS bukanlah representasi dari kinerja outcome pembangunan desa. Sebab, wilayah perdesaan yang digunakan BPS untuk mengukur berbagai ukuran makro bukan cerminan wilayah administrasi desa.
Jika diurai dari Peraturan Kepala BPS Nomor 37/2010 dan Nomor 120/2020 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan, status perdesaan turun 11,48 persen dari 61.340 perdesaan pada 2010 menjadi 54.297 pada 2020. Sebaliknya, jika dilihat dari data potensi desa (podes), jumlah wilayah administrasi desa justru meningkat 8,38 persen dari 69.742 desa pada 2011 menjadi 75.584 desa pada 2021.
Dampaknya, jika tingkat kemiskinan makro yang dirilis BPS tetap digunakan sebagai alat evaluasi kemiskinan desa, tingkat kemiskinan perdesaan 12,22 persen atau 14,16 juta jiwa pada Maret 2023 hanya memotret sekitar 60 persen wilayah desa. Tindak lanjutnya, perlu penyesuaian estimasi wilayah administrasi desa agar menggambarkan perkembangan kemiskinan desa yang sebenarnya.
Sekarang belum terlambat mencari jalan tengah dalam menyelaraskan indikator output dan menyesuaikan indikator outcome pembangunan desa. Karena penyesuaian kebijakan sering terjadi, seperti yang disampaikan Charles Lindblom (1959), salah satu tokoh ilmuwan politik Amerika, yang menekankan bahwa setiap kebijakan akan melewati proses penyesuaian, adaptasi yang bertahap, dan mengakui kompleksitas. Jika tidak, menjelang 10 tahun UU Desa, apakah kesuksesan pembangunan desa hanya menjadi bunga-bunga di tahun politik 2024, dengan tutup mata pada realitas yang sebenarnya?
Udin Suchaini, Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa