Catatan Politik dan Hukum Kompas, Sabtu (5/8/2023), ”Jalan Sepi Menggagas RI”, dibuka dengan pernyataan Dino Pati Djalal: ”Bangsa ini bukan lagi mendayung di antara dua karang seperti yang dikatakan Moh Hatta. Di abad ke-21 bangsa ini kini tengah mengarungi samudra yang penuh ombak dan badai.”
Gagasan Bung Hatta, ”Mendayung di Antara Dua Karang”, adalah tentang apakah kita harus memilih di antara dua kekuatan ideologi besar dunia, yaitu antara prokapitalisme (Blok Barat) dan prokomunisme (Blok Timur).
Bung Hatta menyatakan dalam bagian pidatonya di depan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, 2 September 1948: ”Tetapi mestikah bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika? Apakah tak ada pendirian yang lain harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?”
Inilah yang kemudian menjadi pijakan kita dalam menentukan haluan politik luar negeri RI Bebas-Aktif.
Secara empiris gagasan Bung Hatta yang disampaikan pada abad ke-20 itu ternyata sampai dengan abad ke-21, bahkan hingga entah beberapa abad ke depan, masih akan tetap relevan selama belum ada ideologi lain yang besar dan kuat yang didukung oleh adidaya baru yang dapat menyaingi dua blok yang ada sekarang ini.
Baca juga : Jalan Sepi Menggagas RI
Saya belum melihat ada tanda-tanda munculnya superpower baru itu. Perang di Ukraina, di mana kemudian Blok Barat mengembargo Rusia, chip war antara Barat dan China, ”Duel China-Rusia Lawan Barat” (Kompas, 6/8/2023) adalah beberapa contoh fakta keras tentang dominasi dua blok tersebut yang tetap mewarnai dinamika kehidupan global yang harus disikapi secara bijaksana oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Jadi, gagasan Bung Hatta ada pada tataran ideologis dalam penentuan pijakan kebijakan negara dalam percaturan dunia. Adapun yang disampaikan Dino tentang tantangan abad ke-21 ada di tataran implementasi kebijakan negara dalam menghadapi ombak/badai dinamika global.
Ishak Latuconsina
Jl Pulau Raya, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara