Presiden Jokowi tak perlu main dua kaki, satu di PDI-P dan satu lagi di kelompok seberangnya. Suatu keniscayaan, pada setiap pergantian presiden, dari partai mana pun, akan terjadi kesinambungan dan perubahan kebijakan.
Oleh
IKRAR NUSA BHAKTI
·5 menit baca
Minggu, 13 Agustus 2023, bagaikan petir di siang bolong, Ketua Umum Partai GolkarAirlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan mendeklarasikan partai mereka bergabung dengan Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.
Padahal, kurun waktu sebulan sebelumnya, dua tokoh partai itu secara terpisah melakukan komunikasi intens dengan petinggi PDI Perjuangan (PDI-P), khususnya Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, serta dengan bakal calon presiden dari PDI-P, Ganjar Pranowo.
Alasan Airlangga, Partai Golkar lebih nyaman bergabung dengan Partai Gerindra karena Prabowo dulu juga menjadi bagian dari Golkar era Orde Baru. Bagi Zulkifli, PAN dalam Pilpres 2014 dan 2019 tidak pernah bergabung dengan PDI-P, karena itu wajar jika pada 2024 PAN juga tidak bergabung dengan PDI-P.
Langkah politik kedua partai tersebut adalah hal yang biasa dalam kebiasaan politik di Indonesia. Ini juga menjadi catatan penting bagi PDI-P bahwa dari sisi political belief, Golkar dan PAN memang berbeda dari PDI-P.
Jika kita selisik sejarahnya, Partai Golkar lahir dari gagasan tiga tokoh pendiri bangsa, yakni Prof Soepomo, Ir Soekarno, dan Ki Hajar Dewantara, yang memiliki paham integralistik-kolektivis sejak tahun 1940. Mereka melahirkan gagasan pendirian Golongan Fungsional, yang oleh Ki Hajar diubah ke dalam bahasa Sanskerta menjadi Golongan Karya sebagai kekuatan politik masa depan.
Alasan Airlangga, Partai Golkar lebih nyaman bergabung dengan Partai Gerindra karena Prabowo dulu juga menjadi bagian dari Golkar era Orde Baru.
Golkar masuk ke dalam politik di Indonesia saat Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada 1957 dan menggantinya dengan Kabinet Ahli (Zaken Kabinet) di bawah Ir Djuanda. Soekarno juga memasukkan Golongan Fungsional ABRI dan Golongan Fungsional non-ABRI ke dalam Dewan Nasional. Golkar resmi menjadi kelompok politik pada 1959.
Kejatuhan Soekarno dan munculnya Jenderal Soeharto sebagai presiden yang menggantikannya pada 1968 tidak menghilangkan keberadaan Golkar dalam politik Indonesia. Soeharto malah menggunakan Golkar sebagai bagian dari kekuatan politik penguasa dan melanggengkan kekuasaannya.
Awalnya dibentuk Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dengan kelompok Islam modernis dan kader-kader Muhammadiyah juga bagian dari Sekber Golkar. Golkar ikut pemilu pertama pada 1971 dan tidak mau disebut partai politik untuk mencitrakan bahwa partai politik buruk dan Golkar tidak. Jika dilihat dari alur sejarah ini, tidaklah mengherankan jika PAN lebih dekat secara politik dengan Partai Golkar ketimbang dengan PDI-P.
Dari sisi sejarah pula, kelompok Islam tradisionalis, Nahdlatul Ulama (NU), baik saat menjadi partai maupun organisasi kemasyarakatan, lebih dekat secara politik dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada era Soekarno dan dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) era Soeharto. Sebab, pada era Orde Baru, NU yang menjadi kekuatan terbesar di dalam fusi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak 1973, bersama PDI adalah pelengkap penyerta (kalau tidak bisa disebut pelengkap penderita) dalam sistem politik Demokrasi Pancasila.
Tidaklah mengherankan jika di era akhir Orde Baru pernah digagas kekuatan Mega-Bintang pada Pemilu 1997, pemilu terakhir di era Soeharto. Ini terjadi karena penguasa Orde Baru berupaya menghancurkan kekuatan Megawati melalui peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Walau koalisi tersebut akhirnya tak terbentuk, kedekatan politik di antara keduanya tetap terjalin.
Megawati tidak pernah dendam kepada keluarga Soeharto dan juga Golkar. Prabowo pernah menjadi cawapres Megawati pada Pilpres 2009. Golkar juga masuk dalam kabinet Joko Widodo (Jokowi), baik pada 2014 maupun 2019.
Prabowo juga diangkat Jokowi menjadi Menteri Pertahanan pada 2019, demikian juga Sandiaga Uno menggantikan Wishnutama sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2020. Padahal, mereka berdua adalah capres dan cawapres yang berkompetisi dengan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Praktik politik Jokowi dan PDI-P ini hanya terjadi di Indonesia.
Motif akrobatik politik
Berpindahnya arah pendekatan politik Golkar dari PDI-P ke Gerindra mendapatkan kritik justru dari kalangan internal Golkar sendiri. Mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menyebut Airlangga sedang melakukan ”akrobatik politik”. Idrus menduga Airlangga mencari ”suaka” kepada Prabowo atas kasus dugaan korupsi terkait kebijakan ”minyak kelapa sawit” yang sedang disidik Kejaksaan Agung.
Karena PDI-P dan Presiden Jokowi tidak mau melindungi siapa pun menterinya yang terkena kasus korupsi, Airlangga berusaha mendapatkan suaka politik kepada Prabowo. Istilah suaka sebenarnya kurang tepat karena ini digunakan oleh mereka yang melarikan diri ke negara lain untuk mendapatkan perlindungan politik dari negara itu.
Dalam kaitannya dengan PAN, desakan PAN agar Erick Thohir dipilih menjadi cawapres Ganjar Pranowo juga belum dikabulkan Megawati. Mega tampaknya menilai Erick merupakan tokoh muda yang cepat berubah political belief-nya, yang tadinya dekat dengan kalangan NU menjadi dekat dengan PAN. Padahal, Erick memegang posisi penting saat milad ke-100 tahun NU.
Pada intinya, baik Golkar maupun PAN gagal mendapatkan apa yang dinegosiasikan dengan PDI-P. Gagalnya politik dagang sapi (terminologi Barat disebut politik dagang kuda atau horse trading politics) menyebabkan mereka pindah ke lain hati.
Dalam terminologi politik pula, mereka yang suka ganti haluan politik dikenal pula sebagai politikus yang suka berganti paham politiknya (freelancing belief) dan suka bebas berpindah arah politiknya (freewheeling style).
Faktor Jokowi
Presiden Jokowi selalu disebut-sebut sebagai pendorong gerakan atau akrobatik politik di kalangan sukarelawan Jokowi atau juga partai-partai politik yang berseberangan dan/atau berkompetisi dengan PDI-P.
Mereka selalu menggunakan istilah ”didorong/disetujui Pak Lurah”. Berkali-kali pula Presiden Jokowi menepis tuduhan tersebut, terakhir pada Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus 2023. Dengan tegas Jokowi menyatakan, ”Saya bukan ketua partai, saya presiden,” dan ”Saya bukan lurah, saya presiden.” Masalah pengelompokan politik adalah urusan partai-partai itu sendiri.
Bahkan ada juga rayuan dari Prabowo dan juga Airlangga untuk menjadikan anak sulung Jokowi yang kini masih menjadi Wali Kota Surakarta dan berusia di bawah 40 tahun, Gibran Rakabuming Raka, untuk dijadikan calon wakil presiden (cawapres)-nya Prabowo.
Sesuatu yang pastinya jika Gibran dan Jokowi setuju, sama saja Gibran menggali lubang kubur politiknya sendiri. Gibran jadi Wali Kota Solo melalui PDI-P, tak mungkin ia menjadi cawapres dari partai lain. Jokowi yang dibesarkan oleh dan ikut membesarkan PDI-P akan dinilai sebagai pengkhianat partai, sesuatu yang tentunya ia tidak inginkan.
Presiden Jokowi tidak perlu bermain dua kaki, satu di PDI-P dan satu lagi di kelompok seberangnya, karena adalah suatu keniscayaan, pada setiap pergantian presiden, dari partai mana pun, akan terjadi kesinambungan dan perubahan kebijakan. Biarlah rakyat menilai apakah seorang tokoh politik hanya ”meminta izin kepada rakyat untuk menjadi penguasa”, ataukah ia bersedia menjadi ”petugas partai” yang siap menjadi ”pelayan rakyat”.
Ikrar Nusa BhaktiTenaga Profesional (Taprof) Bidang Politik Lemhannas RI