Gagasan Angkatan Siber: Seberapa Perlukah Dibentuk?
Indonesia masih rentan terhadap serangan siber pada dimensi keamanan. Jadi, usulan pembentukan Angkatan Siber bisa diterima nalar. Namun, usulan ini harus ditinjau secara komprehensif.
Oleh
RAHADIAN DIFFAUL BARRAQ SUWARTONO
·4 menit baca
Komisi I DPR mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat Tentara Nasional Indonesia pada 14 Agustus 2023. Pembentukan Angkatan Siber diproyeksikan untuk memperkuat pertahanan nasional dan mendukung tiga matra yang sudah ada sebelumnya, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurut DPR, keberadaan Angkatan Siber sudah lazim di negara-negara tetangga, seperti Singapura.
Usulan DPR ini berawal dari gagasan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto. Menurut Andi, diperlukan evolusi di ranah pertahanan siber. Saat ini, ancaman serangan siber semakin tinggi, dibuktikan dengan beberapa kali serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah belakangan.
Namun, pegiat demokrasi sontak menolak usulan ini. Pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan dimanfaatkan untuk membungkam publik. Mengingat, para pegiat demokrasi juga sudah dibatasi oleh penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apalagi, tahun politik dan pemilu presiden sedang di depan mata.
Usulan Lemhannas dan DPR ini perlu ditinjau secara komprehensif. Indonesia selama ini telah memiliki komponen pertahanan di bidang siber. Bahkan, komponen ini lebih dari satu. Pertahanan siber di Indonesia selama ini menjadi tanggung jawab beberapa lembaga, antara lain Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), serta beberapa komponen lain di bawah TNI. Pertanyaannya publik kemudian, bagaimana komponen-komponen ini bekerja?
Kenyataannya masih banyak serangan siber terjadi. Belum lama ini, kita kembali mendengar data pribadi masyarakat di paspor dan penduduk di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bocor. Belum lagi kita pernah dibuat geger oleh serangan peretas Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Serangan-serangan ini ditengarai berasal dari luar Indonesia.
Sementara di dalam negeri, kasus-kasus ujaran kebencian di media sosial gencar digarap oleh satuan siber Polri. Tak perlu waktu lama, patroli siber Polri telah menunjukkan tajinya dalam menegakkan keamanan siber. Pun taji inilah yang justru ditakuti oleh pegiat demokrasi.
Pemisahan fungsi
Bisa jadi, kekhawatiran para pegiat demokrasi diakibatkan adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan keamanan di Indonesia. Zona abu-abu ini sudah sejak lama muncul akibat tidak tegasnya praktik keterlibatan penugasan TNI dan Polri di tengah masyarakat. Selain itu, trauma masa lalu dari pemanfaatan TNI oleh aktor-aktor politik selama Orde Baru pun menjadi kata kunci.
Fakta memang menunjukkan Indonesia masih rentan terhadap serangan siber pada dimensi pertahanan sehingga usulan pembentukan Angkatan Siber oleh Lemhannas dan DPR bisa diterima nalar. Meskipun demikian, tidak serta-merta diartikan bahwa Angkatan Siber ini akan menjadi komponen yang ”benar-benar baru”.
Angkatan Siber baru ini harus meleburkan komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Dengan kata lain, diperlukan ”kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika peleburan ini tidak dilakukan, tumpang tindih kewenangan dan tugas tak ayal akan terjadi.
Angkatan Siber juga harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah Reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini meskipun masih akan diperdebatkan bagaimana jika Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Sebab, kita telah telanjur menerima jargon ”Sinergitas TNI-Polri” yang merupakan implementasi tugas perbantuan TNI menurut Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus tetap diprioritaskan. Jangan sampai, matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer. Mengingat, Indonesia belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil. Jangan sampai, operasi keamanan yang diembankan kepada Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.
Fokus untuk pertahanan
Jika memang Singapura yang digaungkan menjadi role model, pembentukan Angkatan Siber mutlak harus difokuskan pada upaya pertahanan nasional dan kepentingan militer. Digital and Intelligence Service (DIS) yang merupakan Angkatan Siber Singapura sebenarnya juga masih belia. Angkatan ini dibentuk pada 2 Maret 2022. Namun, yang perlu digarisbawahi, DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.
Hal ini mengingat doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, bak invasi naik pesawat dan kapal, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Sebab, sebuah serangan pada jadwal kereta cepat, misalnya, dapat membunuh ratusan penumpangnya.
Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern. Operasi siber telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil. Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan. Hal ini harus dipertimbangkan jika kelak matra baru ini benar-benar dibentuk.