Pengembalian Artefak: Dalam Bayangan Optimisme dan Skeptisisme
Artefak-artefak yang dipulangkan dari Belanda tak cukup hanya diperlakukan dengan penuh hormat, tetapi juga harus diberi ruang untuk ”berbicara” tentang teror, diskriminasi, dan eksploitasi pada masa kolonial.
Tulisan mengenai pengembalian artefak dari Belanda yang dimuat Kompas.id pada 27 Juli 2023 mendapat respons yang beragam dari pembaca. Secara garis besar, respons tersebut dapat dikategorikan menjadi dua: optimisme dan skeptisisme. Sementara sebagian publik menanggapi bahwa benda-benda yang dipulangkan ke Indonesia tersebut akan dapat membawa dampak kesadaran historis kita, sebagian lain justru skeptis dan meragukan bahwa Indonesia mampu menjaga dan merawat benda-benda tersebut.
Tulisan ini menguraikan fenomena skeptisisme tersebut, dan sebenarnya apa makna dari optimisme bahwa benda-benda tersebut dapat memberi sumbangan epistemik bagi kesadaran sejarah kita sebagai bangsa.
Isu keamanan
Keraguan bahwa bangsa Indonesia dapat menjaga dan merawat artefak berusia ratusan tahun tersebut sesungguhnya bukan hal yang baru. Sikap ini juga direfleksikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Tayeb pada 1974. Di masa jabatannya, diskusi tentang restitusi artefak sempat terhenti karena dia tidak yakin dengan kesiapan museum di Indonesia. Dengan kata lain, Tayeb lebih memercayai bahwa benda-benda tersebut dapat lebih aman dan terawat apabila berada di Belanda dibandingkan dengan di Indonesia.
Baca juga: Pengembalian Artefak: Solusi atau Tantangan Dekolonisasi?
Namun, apakah keraguan tersebut masih relevan saat ini? Kita harus mengakui bahwa museum kita masih menghadapi serangkaian masalah terkait isu keamanan dan infrastruktur konservasi. Akan tetapi, tidak adil pula menganggap bahwa museum Indonesia tidak bebenah sejak 50 tahun yang lalu. Secara signifikan, perbaikan-perbaikan dari sisi infrastruktur telah dilakukan pemerintah dalam program besar ”revitalisasi museum” sejak 2010.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dicapai museum di Indonesia. Memberikan kepercayaan kepada museum kita sendiri sebagai ”rumah” bagi pusaka-pusaka bangsa Indonesia tersebut adalah salah satu langkah untuk mengeliminasi krisis kepercayaan tersebut. Lantas siapa lagi kalau bukan kita yang percaya terhadap kapasitas bangsa kita sendiri?
Gejolak politik
Skeptisisme pada isu pemulangan artefak tidak hanya berkutat pada keraguan terhadap kapasitas bangsa Indonesia sendiri dalam menjaga dan mengamankan artefak tersebut. Skeptisisme yang lain juga mewujud dalam anggapan bahwa bangsa Indonesia hanyalah pihak yang pasif dalam isu ini.
Sebagian masyarakat kita, bahkan di lingkungan akademik, memercayai bahwa pemulangan artefak-artefak ini disebabkan karena Belanda, terutama di sektor permuseumannya, bangkrut sehingga tidak mampu lagi mengongkosi kehidupan artefak-artefak ini di sana. Oleh karena itu, mereka melakukan ”cuci gudang” dengan memulangkan artefak-artefak ke negara bekas koloni mereka.
Faktanya, isu krisis yang menimpa museum-museum di Belanda tersebut, meskipun benar adanya, sama sekali bukan menjadi pemicu dan latar belakang mengapa kegiatan repatriasi ini intensif dilakukan pada akhir-akhir ini. Belanda sebenarnya bukan pemain tunggal di Eropa. Perancis dan Inggris telah lebih dahulu membuka pintu dialog tentang restitusi ini dan bahkan secara serius mengembangkan kebijakan strategis untuk secara bertahap berdasarkan studi akademik provenance research, mengembalikan artefak-artefak yang dicuri dari negara bekas jajahan mereka terutama di Afrika.
Para aktivis anti rasisme tersebut secara vokal mendesak agar institusi museum, khususnya museum etnografi, melakukan dekolonisasi.
Kita perlu memahami bahwa dalam satu dasawarsa terakhir negara Barat (Amerika Serikat dan Eropa Barat) mengalami gejolak politik dan budaya, terutama sejak terjadinya peristiwa kematian pemuda kulit hitam George Floyd pada 2020, yang kemudian secara global menguatkan gerakan Black Lives Matter yang telah muncul di Amerika Serikat sejak 2013. Gelombang gerakan tersebut tidak terkecuali juga bergema di Eropa yang termanifestasikan dalam berbagai aksi untuk meruntuhkan simbol-simbol kultural rasisme dan hegemoni kulit putih.
Hal yang sama menimpa museum yang dipandang sebagai pilar ideologis kolonialisme. Para aktivis anti rasisme tersebut secara vokal mendesak institusi museum, khususnya museum etnografi, melakukan dekolonisasi. Dampak gerakan ini begitu besar dan berangsur menjadi perhatian utama tidak hanya masyarakat, tetapi juga elite politik.
Para pemimpin negara Eropa mengungkapkan penyesalan dan permohonan maaf atas kejahatan yang bangsa mereka lakukan di masa lalu. Serangkaian proyek dengan dana yang besar diadakan untuk mendorong kegiatan dekolonisasi tersebut. Isu dekolonisasi pun meluas tidak hanya di museum, tetapi juga di seluruh institusi yang dianggap berkontribusi dalam kejahatan kolonialisme di masa lalu termasuk dunia perbankan.
Baca juga: 78: Akhirnya Diakui Mantan Penjajah
Pengembalian artefak ke negara-negara bekas koloni mestinya kita letakkan juga dalam konteks pergolakan politik tersebut. Jos van Beurden (2020), sejarawan dari Universiteit van Amsterdam, melabeli obyek-obyek yang dirampas dari negara koloni yang kini berada di museum-museum Eropa sebagai ongemakkelijk erfgoed’, warisan yang membuat museum dan institusi-institusi akademik tidak nyaman, terusik.
Pemulangan obyek-obyek ke asalnya (resource community), dalam kacamata ini, dianggap sebagai langkah konkret untuk mendekolonisasi museum-museum di Eropa. Alih-alih sebagai ”cuci gudang”, pemulangan obyek ke negara bekas jajahan adalah upaya ”detoksifikasi” museum di Eropa dari racun ide-ide kolonial.
Merebut narasi?
Tanggung jawab selanjutnya terhadap masa depan obyek-obyek ini ada di tangan bangsa Indonesia sendiri. Virdika Rizky Utama (Kompas.com, 9/7/2023) menyerukan pesan untuk merebut narasi terhadap obyek-obyek tersebut. Sayangnya, Utama tidak menjelaskan lebih lanjut narasi apa yang direbut dan bagaimana kita bisa mengganti narasi tersebut?
Kita tentu memahami bahwa sebagian besar dari obyek-obyek ini dirampas oleh kolonial Belanda dengan cara ilegal, kejam, dan tidak manusiawi. Di Belanda, obyek-obyek ini diletakkan di etalase-etalase museum, tempat di mana orang-orang Eropa memuaskan rasa ingin tahunya terhadap budaya-budaya (primitif) bangsa lain. Dengan narasi budaya primitif bangsa asing ini, museum memberi legitimasi bagi bangsa Eropa untuk mengukuhkan hegemoni ras kulit putih.
Di Belanda, obyek-obyek ini diletakkan di etalase-etalase museum, tempat di mana orang-orang Eropa memuaskan rasa ingin tahunya terhadap budaya-budaya (primitif) bangsa lain.
Bagi masyarakat Indonesia, adalah sebuah pelecehan menempatkan pusaka-pusaka ini sebagai sebuah bukti budaya primitif tersebut. Benda-benda ini selain memiliki signifikansi simbolik, juga dipercaya oleh sebagian masyarakat memiliki kekuatan spiritual.
Pertanyaannya, sejauh apakah museum kita, sebagai warisan dari masa kolonial, telah melepaskan diri dari narasi-narasi kolonial? Apakah museum kita telah berhasil membongkar narasi tentang proses evolusi budaya, dari budaya primitif hingga budaya yang maju?
Pertanyaan kedua, bagaimanakah museum kita melihat masa kolonial? Sependek pengamatan penulis, masa kolonial di Indonesia justru sering dipersepsikan sebagai masa di mana kemajuan-kemajuan dan penemuan-penemuan tercipta. Di Museum Nasional di Jakarta, kita disuguhkan secara detail bukti-bukti kemajuan tersebut dalam aspek transportasi, teknologi persenjataan, sistem aksara, dan lain-lain.
Baca juga: Tiga Abad di Belanda, Empat Arca Dikembalikan ke Indonesia
Di sisi lain, dalam hal pengelolaan cagar budaya, masa kolonial juga dikomodifikasi dalam kesan-kesan yang estetik dan romantis. Bekas kantor pemerintah kolonial hingga pabrik gula masa kolonial disulap menjadi ruang publik dengan sangat indah, tetapi pada saat yang sama mengaburkan narasi-narasi kekejaman dan penindasan yang dialami bangsa Indonesia di masa lalu.
Jawaban dari narasi yang harus direbut tersebut tidak lain adalah dengan melihat kembali masa kolonial dengan lebih kritis. Benda-benda yang dipulangkan dari Belanda tersebut tidak cukup hanya diperlakukan dengan penuh rasa hormat, tetapi pada saat yang sama juga harus diberi ruang untuk ”berbicara” tentang teror, diskriminasi, dan eksploitasi pada masa kolonial. Benda-benda ini tidak saja merupakan karya adiluhung nenek moyang, tetapi juga saksi di mana proses pemulihan luka di masa lalu ketika martabat bangsa diinjak, berusaha dipulihkan saat ini.
Adieyatna Fajri, Dosen Departemen Arkeologi Universitas Gadjah Mada