Putusan MK Membuka Medan Perang Politik di Sekolah
Pendidikan politik yang seimbang dan obyektif dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum tanpa membuka ruang bagi kampanye politik di sekolah.
Oleh
SUWIDIYANTI
·2 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanye politik pada fasilitas pendidikan berpotensi membuka peluang penyalahgunaan tujuan pendidikan demi keuntungan politik. Oleh karena itu, penting untuk merenungkan implikasi jangka panjang dari keputusan ini.
Seperti diberitakan Kompas.id (22/8/23), Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuka pintu bagi kampanye politik untuk memasuki pintu gerbang pendidikan. Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 membolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye.
Apakah kita menyambut keputusan ini dengan tangan terbuka ataukah dengan ketidakpastian? Dalam dunia yang semakin kompleks dan terkadang terpolarisasi, pertanyaan ini mengandung implikasi yang mendalam terhadap integritas pendidikan di negara kita.
Melibatkan pelajar dalam dunia politik tentu saja adalah cara yang efektif untuk mengajarkan mereka tentang pentingnya partisipasi dan demokrasi. Namun, apakah lingkungan sekolah seharusnya menjadi medan perang politik, ataukah tetap menjadi tempat netral di mana pemikiran kritis dan obyektivitas diajarkan?
Netralitas pendidikan
Lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat siswa dapat belajar dan berkembang tanpa adanya pengaruh politik yang meresahkan. Keputusan MK yang mengizinkan kampanye politik di sekolah membuka pintu bagi terganggunya suasana belajar yang seharusnya bebas dari polarisasi politik.
Sekolah seharusnya menjadi wilayah netral, siswa dapat mengeksplorasi berbagai gagasan dan pandangan tanpa tekanan dari kampanye politik. Dengan membawa politik langsung dalam lingkungan sekolah, berisiko mengabaikan ruang berharga ini untuk pengembangan pemikiran mandiri dan pemaparan pada keragaman pandangan. Pendidikan yang berkualitas memerlukan ruang yang aman bagi siswa untuk belajar, berdiskusi, dan mengembangkan pemikiran independen.
Sekolah seharusnya menjadi wilayah netral, siswa dapat mengeksplorasi berbagai gagasan dan pandangan tanpa tekanan dari kampanye politik.
Risiko siswa yang memiliki pandangan berbeda, merasa terpinggirkan, atau bahkan diintimidasi dapat meningkat. Kemungkinan terbesar yang muncul dari keputusan ini adalah perpecahan. Ketika siswa dihadapkan kepada pandangan politik yang beragam, tanpa arahan yang baik tentang bagaimana berdiskusi dengan baik dan hormat, lingkungan sekolah berisiko berubah menjadi medan perang tempat pandangan saling bentrok dan konflik muncul.
Kampanye politik di sekolah berpotensi mengganggu proses belajar-mengajar. Kehadiran materi politik yang intens dapat mengalihkan perhatian siswa dari pelajaran inti dan kurikulum yang seharusnya menjadi fokus utama. Seharusnya tidak ada ruang bagi distraksi politik di dalam kelas karena ini bisa merugikan pendidikan dan pengembangan akademik siswa. Pendekatan pendidikan politik yang seharusnya diambil adalah menyajikan berbagai pandangan secara obyektif, tanpa memberikan preferensi tertentu.
Risiko penyalahgunaan politik
Dengan mengizinkan kampanye politik di sekolah, terbuka peluang besar bagi penyalahgunaan tujuan pendidikan demi keuntungan politik. Partai atau kelompok tertentu dapat mencoba memanfaatkan situasi ini untuk memengaruhi opini dan pandangan siswa sesuai dengan kepentingan mereka dengan memberi rangsangan atau stimulus yang kurang sesuai.
Anak-anak dan remaja cenderung lebih mudah terpengaruh atau indoktrinasi dan kurang mampu melihat manipulasi di balik argumen politik. Hal ini sesuai dengan teori belajar behavioristik yang dikemukakan Edward Thorndike. Menurut dia, belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulan) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif atau respons (Uno, 2008).
Putusan ini membuka pintu bagi penyusupan agenda politik ke dalam kurikulum, mengancam integritas pendidikan dan mengorbankan pembentukan karakter siswa. Penting bagi sekolah untuk tetap menjaga independensi dan integritas pendidikan, serta mencegah campur tangan politik yang tidak sehat.
Apabila kampanye politik diperbolehkan tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat, sekolah bisa menjadi tempat yang terancam oleh propaganda politik. Ini merusak tujuan pendidikan yang seharusnya mempromosikan pemikiran independen dan kritis.
Putusan MK yang membolehkan kampanye politik di lingkungan sekolah bukanlah langkah yang bijak. Sebagai alternatif, pendidikan politik yang seimbang dan obyektif dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum tanpa membuka ruang bagi kampanye politik di sekolah. Selain itu, mendorong pemahaman demokrasi, hak asasi manusia, dan keterampilan berpikir kritis lebih relevan daripada membawa arena politik ke dalam ruang pendidikan. Putusan ini sebaiknya dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap tujuan utama pendidikan dan perkembangan karakter siswa.
Akhirnya, putusan MK ini meninggalkan pertanyaan penting tentang tujuan utama pendidikan. Apakah kita ingin menghasilkan generasi yang terdidik secara holistik, mampu berpikir kritis, dan memiliki pandangan yang independen? Ataukah kita ingin mengarahkan mereka menjadi pion dalam permainan politik? Penting bagi kita untuk merenungkan implikasi jangka panjang dari keputusan ini.