Mendewasakan Demokrasi Kita
Mencermati betapa jauhnya kesenjangan antara demokrasi elektoral dan dimensi teleologis demokrasi itu sendiri, kita tak punya pilihan kecuali menguatkan politik nilai yang diterangi hati nurani dan akal budi yang sehat.
Memasuki babak-babak akhir pencapresan, panggung politik nasional diwarnai oleh sejumlah aksi akrobatik dan teatrikal elite politik yang penuh dengan kejutan, tetapi terkadang ”tak masuk akal”.
Ketidakmasukakalan dan kejutan itu tak ayal menampilkan wajah paradoksal demokrasi kita. Di satu sisi (terutama di kalangan elite), aksi-aksi ini menahbiskan superioritas mereka sebagai aktor the art of possibility. Namun, di kalangan akar rumput, aksi itu justru meneguhkan realitas sebaliknya: the art of impossibility.
Artinya, politik menjadi panggung terbatas bagi kaum elite untuk melakukan aksi-aksi akrobatik mereka. Meski demikian, aksi-aksi tersebut sejatinya menjadi ”barang mewah” yang tak tersentuh oleh warga kebanyakan.
Akibatnya, politik menjadi urusan kaum elite yang terceraikan dari urusan warga kebanyakan. Apa yang diidealkan dalam konteks perbaikan kualitas hidup masyarakat melalui demokrasi elektoral menjadi jauh panggang dari api.
Interaksi kaum elite dengan warga pemilih hanya terjadi ketika mereka diperlakukan sebagai ceruk elektoral di setiap hajatan demokrasi (pemilu). Selebihnya, warga kembali bergulat dengan berbagai bentuk problematika kehidupan.
Dua dekade lebih kita menikmati masa reformasi, tampaknya kita perlu mengevaluasi sejauh mana demokrasi yang kita praktikkan telah membawa keberkahan dan kemuliaan bagi bangsa.
Segudang persoalan
Dua dekade lebih kita menikmati masa reformasi, tampaknya kita perlu mengevaluasi sejauh mana demokrasi yang kita praktikkan telah membawa keberkahan dan kemuliaan bagi bangsa.
Sejatinya warga kebanyakan tak berkeberatan, bahkan akan menikmati, sajian akrobatik dan teatrikal kaum elite sepanjang dilakukan dalam konteks pemenuhan ”hajat hidup orang banyak”. Kenyataannya, aksi-aksi akrobatik dan teatrikal kaum elite benar-benar menjadi tontonan ”elite” yang tidak ada korelasinya dengan perbaikan kondisi bangsa ini secara umum.
Bahwa pergerakan dan seluruh mobilitas kaum elite didasari oleh satu motivasi, yakni memenangi kontestasi elektoral, tentu kita maklum belaka.
Kemenangan menjadi semacam insentif atau bonus bagi siapa pun yang hendak menduduki posisi-posisi kelembagaan di negeri ini. Meski demikian, kemenangan mereka bukanlah terminal akhir dari seluruh kiprah dan sepak terjang mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masih banyak urusan pascakontestasi elektoral, terutama dalam konteks menerjemahkan visi besar demokrasi (yaitu mewujudkan kepentingan publik) ke dalam praksis kehidupan sehari-hari.
Refleksi atas dua dekade perjalanan demokrasi menjadi penting karena kita harus ”naik kelas” dalam berdemokrasi. Terlebih jika membaca perjalanan demokrasi beberapa dekade terakhir, kualitas demokrasi kita cenderung mengalami stagnasi, bahkan regresi (Aspinal dan Mietzner, 2019; Diprose et al, 2019).
Sebuah bunga rampai yang diedit oleh Thomas Power dan Eve Warburton, Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression? (2020), mendeskripsikan dengan detail bagaimana demokrasi kita mengalami penurunan kualitas di berbagai sisi: elite, akar rumput, negara.
Suasana saat Presiden Joko Widodo memberikan pidato kenegaraan saat Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Di tingkat elite, demokrasi kita belum mampu menciptakan agensi yang otonom bagi proses transformasi sosial-politik yang memberdayakan semuanya, terutama warga masyarakat. Menurut sejumlah analisis, hal ini karena demokrasi kita masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan oligarki (Hadiz dan Robison, 2013; Winters, 2013).
Kondisi semacam ini berpengaruh terhadap pola relasi di kalangan elite politik kita yang masih sangat patrimonialistik. Akibatnya, sangat bisa dipahami jika seluruh perhelatan demokrasi kita masih belum bermuara pada kepentingan rakyat banyak sebagai pemegang kekuasaan terbesar demokrasi kita.
Pola relasi yang timpang ini, salah satunya, berakar dari distribusi ekonomi yang timpang alias belum merata. Betapa tidak! Lebih dari separuh aset nasional kita dikuasai oleh hanya satu persen orang terkaya di negeri ini.
Bahkan empat orang terkaya di Indonesia dilaporkan mempunyai kekayaan yang setara dengan 100 juta orang termiskin! Membandingkan kondisi paradoksal ini, lantas pertanyaannya adalah: quo vadis demokrasi kita? Apa relevansi dan signifikansi demokrasi kita bagi perbaikan kualitas hidup warga?
Sementara, di level akar rumput, kondisinya setali tiga uang. Sekalipun agak mereda, mobilisasi massa berbasis politik identitas dan populisme sempat mewarnai wajah demokrasi elektoral kita. Belum lagi munculnya gejala intoleransi dan sektarianisme dalam kehidupan beragama, rendahnya indeks kebebasan sipil, dan intervensi negatif atas kritisisme di kalangan masyarakat tertentu.
Kesemuanya itu memberi warna terhadap perjalanan kualitas demokrasi kita yang masih medioker. Ke depan, kondisi semacam inilah yang harus mendapatkan atensi khusus dari semua elemen bangsa agar wajah demokrasi kita di akar rumput tidak bopeng.
Pola relasi yang timpang ini, salah satunya, berakar dari distribusi ekonomi yang timpang alias belum merata.
Secara struktural, demokrasi kita menghadapi berbagai persoalan yang tak kalah rumitnya. Problem korupsi yang tak kunjung tuntas, praktik politik uang yang masih marak pada saat pemilu, dan penegakan hukum yang belum ideal adalah sederet persoalan yang membuat gambar demokrasi kita kian muram.
Jika ukurannya adalah potret minimalis, demokrasi kita memang masih ada. Meminjam istilah Dirk Tomsa (2010: 309), kualitas demokrasi dalam kondisi demikian digambarkan sebagai reasonably stable yet low-quality democracy. Demokrasi kita memang stabil, tetapi rendah kualitasnya.
Politik nilai
Mencermati betapa jauhnya kesenjangan antara demokrasi elektoral dan dimensi teleologis demokrasi itu sendiri, kita tak punya pilihan lain kecuali menguatkan politik nilai (politics of value) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan politik nilai, kita hendak mengembalikan realitas politik keseharian ke khitahnya yang hakiki: hati nurani dan akal budi yang sehat.
Implikasinya, seluruh perhelatan politik semestinya tidak keluar dari koridor politik nilai tersebut. Politik harian bertugas memperkecil kesenjangan antara realitas empiris politik harian dan normativitas teleologis demokrasi.
Bahwa terjadi diskrepansi antara normativitas teleologis demokrasi dan hiruk-pikuk politik harian, harus dimaknai sebagai dinamika yang tidak akan menggerus politik nilai sebagai kompas besar demokrasi kita.
Tanpa panduan politik nilai, tak bisa dibayangkan betapa semakin pragmatis dan banalnya kualitas demokrasi kita. Jika politik nilai dapat melahirkan sosok negarawan, politik harian hanya melahirkan politikus biasa yang selalu berburu kemenangan dan kekuasaan. Politik nilai melampaui banalitas itu semua.
Sosok negarawan adalah mereka yang senantiasa mengartikulasikan politik nilai dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum (public goods).
Menerjemahkan politik nilai dalam konteks realitas politik keseharian hanya membutuhkan integritas moral yang kukuh, terutama ketika seorang elite menghadapi gempuran berbagai kenyamanan materialisme banal. Hanya ketika seorang elite mampu mengatasi cangkang pragmatisme dan patrimonialisme politik yang mengerangkengnya, dia bisa ”naik pangkat” jadi seorang negarawan.
Jangan dibayangkan profil seorang negarawan hanya berhenti pada sosok Moh Natsir, Soekarno, atau Bung Hatta. Memang mereka sosok negarawan yang telah teruji oleh semangat zamannya (zeitgeist). Mereka sosok pemimpin bangsa yang telah berhasil menjalani zuhud politik yang altruis dan sederhana.
Namun, kita hidup dalam konteks zaman yang berbeda, dengan kompleksitas tantangan yang berbeda pula. Dengan demikian, sosok negarawan dewasa ini tidak harus sama persis seperti para pendahulu kita.
Dalam konteks pendewasaan demokrasi, keberadaan politik nilai akan menetralisasi kecenderungan pragmatisme politik yang mencengkeram kesadaran parpol dan elite politik kita. Perubahan peta koalisi yang diwarnai keluar-masuknya anggota koalisi sama sekali tidak berpengaruh terhadap agenda jangka panjang pendewasaan demokrasi kita.
Perubahan peta koalisi yang diwarnai keluar-masuknya anggota koalisi sama sekali tidak berpengaruh terhadap agenda jangka panjang pendewasaan demokrasi kita.
Konkretnya, dengan panduan politik nilai, perubahan dan lanskap konfigurasi politik menjelang Pilpres 2024 mestinya tidak akan mereduksi keteguhan para elite parpol dalam memperjuangkan dimensi teleologis demokrasi.
Justru yang perlu digarisbawahi adalah aspirasi arus bawah dalam spektrum masyarakat pemilih, bukan negosiasi dan kalkulasi politik di tingkat elite. Dalam konteks ini, siapa pun yang memiliki elektabilitas tinggi bisa merepresentasikan aspirasi warga pemilih, terlepas baju parpol yang dipakai.
Tokoh semacam inilah yang berpotensi mampu menjembatani antara normativitas teleologis demokrasi dan realitas politik keseharian. Dengan cara ini pula, penyediaan akses bagi warga pemilih dalam mewarnai kebijakan publik dapat disalurkan melalui mekanisme politik yang akuntabel dan demokratis.
Baca juga ; Pragmatisme Bernegara
Masdar HilmyGuru Besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya