Azimat dan Perempuan Iban
Orang Iban meyakini suatu negeri di alam gaib itu nyata dan menjadi sumber kekuatan bangsa Iban di masa perang dan damai.
Dalam wacana dan interaksi sosial di masyarakat modern Indonesia, azimat dianggap sesuatu yang tabu dan primitif. Siapa pun yang menggunakan azimat dituduh terbelakang atau dianggap menjalankan kepercayaan sesat, yang melanggar doktrin agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam), tetapi sebagian besar orang Indonesia tetap menggunakan berbagai jenis azimat untuk bermacam keperluan.
Masyarakat dan budaya Iban memercayai azimat memiliki kekuatan nyata dan berfungsi menyelamatkan bangsanya.
Temenggung Koh, seorang pemimpin Iban, mengisahkan pengalamannya dengan azimat kepada Radio Sawarak pada 27 April 1952. Kisah itu dikutip jurnalis James Ritchie dalam tulisannya yang dimuat surat kabar New Sarawak Tribune tahun lalu.
Saat berusia 25 tahun, Temenggung Koh mimpi bertemu Tugau, Raja Melanau. Sang raja menjanjikan hadiah untuknya dan memintanya datang ke Nanga Pasai, yang berada di tepi Batang Igan, sungai di Sarawak, Kalimantan Utara. Mengikuti petunjuk dalam mimpinya, Temenggung Koh menyiapkan pasukannya untuk berlayar ke Nanga Pasai. Saat bandong (perahu) Temenggung Koh mencapai Batang Igan, nabau atau seekor naga sepanjang hampir 70 meter muncul dari dalam sungai. Naga mendekati perahu Temenggung Koh, lalu membuka lebar mulutnya dan tampaklah sebutir batu yang disebut Gemala Guliga. Temenggung Koh terjun ke sungai dan berenang menghampiri naga, lalu mengambil batu di mulutnya dan menukar batu tersebut dengan pinang dan rokok daun pisang berisi irisan tembakau.
Batu tersebut memiliki kekuatan yang mengubah hidup Temenggung Koh selamanya. Dia menjadi sangat terkenal dan beruntung.
Dalam budaya Iban, azimat disebut pengaroh, yang didapatkan dari alam, melalui petunjuk gaib dari mimpi atau saat nampok (bertapa). Pengaroh terhubung dengan Panggau Libau, suatu negeri di alam gaib. Orang Iban meyakini negeri ini nyata dan menjadi sumber kekuatan bangsa Iban di masa perang dan damai. Para bujang barani (pendekar) Iban selalu didampingi satu atau dua penghuni Panggau Libau dalam peperangan. Sosok-sosok perempuan Panggau Libau yang turut berperang adalah Indai Abang, Lulong, dan Kumang. Mereka dikenal sebagai dewi-dewi Iban.
Para perempuan Iban masa lalu berperan penting dalam melindungi bangsa dan para ksatria Iban. Perempuan Iban melaksanakan perangnya sendiri ketika menenun pua kumbu, tenun khas Iban. Pua kumbu hanya boleh ditenun setelah penenun memperoleh perintah dari alam gaib melalui mimpi yang sama sebanyak tujuh kali berturut-turut. Jenis motif tenun ditentukan perintah itu. Contoh motif pua kumbu antara lain gergasi belang pinggang (dewa yang turun ke bumi dan menikahi manusia), gergasi papa (raja hantu), atau nabau, dewa berbentuk naga.
Kekuatan dewa atau makhluk mistis yang dikalahkan dan menjadi motif tenun itu dikunci dalam sehelai pua kumbu. Kain tenun berkuatan mistis ini disimpan dan dikeluarkan saat genting.
Penenun wajib melaporkan mimpinya kepada lemambang (peramal dan pujangga), tuai rumah (kepala rumah panjai/panjang), manang (tabib), dan penghulu (kepala kampung) agar mendapat izin untuk mulai menenun dan memperoleh bantuan energi dan doa selama menenun. Jika terlambat menyelesaikan tenunan atau gagal, penenun akan menghadapi kematian. Keluarganya, kampungnya, segala tumbuhan dan ternaknya ikut menanggung akibat berupa kematian ataupun bencana.
Baca juga: Hukum Kolonial dan Baki Koi
Penenun pua kumbu bertarung hidup-mati dengan motif tenunannya sampai motif itu tunduk dan tenunan selesai. Kekuatan dewa atau makhluk mistis yang dikalahkan dan menjadi motif tenun itu dikunci dalam sehelai pua kumbu. Kain tenun berkuatan mistis ini disimpan dan dikeluarkan saat genting. Penenun pua kumbu pemberani dan sakti.
Di masa lalu, pua kumbu berfungsi sebagai azimat, dikenakan saat berperang, mengayau, dan menyambut kepala musuh. Kain tenun jenis ini tidak digunakan untuk upacara kelahiran, pernikahan, atau kematian.
Namun, di masa modern, pua kumbu berubah fungsi dan makna. Nilai-nilai sakralnya tergerus zaman. Kain tenun ini dikenakan di berbagai acara dan untuk menenunnya tidak menunggu perintah dari mimpi. Seluruh tenun Iban bahkan disebut pua kumbu. Kini pua kumbu dikenakan laki-laki dan perempuan di berbagai acara.
Kehidupan orang Iban memang erat dengan para dewa dan dewi.
Pada Perang Kedang di tahun 1886 dan rangkaian ekspedisi militer kolonial Inggris ke hulu Batang Lupar, Sir Charles Brooke memimpin pengerahan pasukan gabungan berjumlah lebih dari 12.000 personel yang terdiri dari orang Inggris, Melayu, dan Dayak di Sarawak menyerbu orang-orang Dayak Iban antikolonial yang dipimpin oleh Bantin Ijau Lelayang dan Ngumbang Brauh Langit. Tujuan penyerbuan Brooke adalah untuk menangkap dan membunuh dua pemimpin Iban antikolonial.
Pasukan Brooke membakar 41 rumah panjang di wilayah Hindia Belanda dan 80 rumah panjang di wilayah Sarawak-Inggris. Ekspedisi militer Brooke dikenal sebagai Ekspedisi Serang Rata.
Baca juga: Kekuasaan dan Perjuangan
Di tengah penyerbuan tersebut, Ngumbang Brauh Langit meminta istrinya menyiapkan sirih-pinang, lalu mereka berdua naik ke loteng rumah dengan membawa sirih-pinang. Ngumbang melaksanakan upacara ngajat, tarian ritual untuk memanggil tiga dewi Iban, yaitu Indai Abang, Lulong, dan Kumang, untuk membantunya menghadapi musuh. Apa yang terjadi kemudian? Dari celah loteng rumah, Ngumbang dan istrinya melihat ada tiga ular besar jatuh dari langit dan masuk dalam sungai yang dilalui pasukan penyerbu. Ribuan anggota pasukan gabungan kolonial Inggris dalam Ekspedisi Serang Rata mati terbunuh akibat kolera.
Pengalaman orang Iban menunjukkan bahwa bangsa Iban bisa selamat berkat perjuangan dan persatuan kaum laki-laki, kaum perempuan, dan para dewa-dewi dengan diperkuat azimat yang ampuh.
Linda Christanty, Sastrawan dan Pegiat Budaya