Sebagai buntut dari jeritan para pedagang di Pasar Tanah Abang yang mengalami penurunan omzet penjualan akibat kehadiran social commerce seperti Tiktok Shop, pemerintah akhirnya melarang platform social commerce melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020, Senin (25/9/2023).
Artikel Tb Fiki C Satari, ”Social Commerce”, Siapa Diuntungkan? (Kompas, 18/9/2023) menyebut alasan kebijakan tersebut karena dugaan adanya praktik predatory pricing dari produsen yang menjual barang impor.
Selain itu, ditakutkan Tiktok Shop akan memonopoli perdagangan elektronik karena penguasaan big data pengguna yang dapat dikonversi menjadi algoritma untuk diarahkan dan menguntungkan produk tertentu.
Melarang platform social commerce tentu kebijakan yang dilematis karena terdapat trade-off.
Di satu sisi, berapa jumlah pelaku UMKM yang sudah memanfaatkan dan berkembang di Tiktok Shop harus dirugikan dari kebijakan ini? Begitu pun bagi para kreator, mereka akan kehilangan cuan dari kegiatan mempromosikan produk melalui program Tiktok affiliate. Di sisi lain, pemerintah berupaya melindungi produsen dan produk UMKM dalam negeri di tengah maraknya gempuran produk impor yang diperjualbelikan di social commerce.
Ancaman Tiktok berpotensi memonopoli perdagangan elektronik ini memang harus diwaspadai dengan serius.
Namun, yang menjadi pertanyaan kepada pemerintah, apa tidak cukup hanya mempertegas regulasi perihal produk impor dalam e-dagang saja tanpa melarang platform social commerce yang terbukti memiliki efek berganda (multiplier effect) positif, khususnya membuat UMKM semakin adaptif dalam merespons laju perkembangan digital?
Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, jumlah UMKM yang masuk dalam ekosistem digital tak kurang dari 20,76 juta pada 2022 (Kompas, 29/3/2023).
Ancaman Tiktok berpotensi memonopoli perdagangan elektronik ini memang harus diwaspadai dengan serius agar tidak merugikan platform lain dan UMKM, serta menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.
Hal yang mungkin perlu dilakukan pemerintah, misalnya, mengaudit algoritma social commerce secara berkala dan menindak tegas jika mereka menyalahgunakan data pengguna dan algoritma. Jumlah perusahaan penyedia platform social commerce di Indonesia terbatas, karena bentuk struktur pasarnya oligopoli, sehingga seharusnya pemerintah mudah mengawasi aktivitas usaha mereka.
M Nadzirummubin, Ciputat Timur, Tangerang Selatan