Rencana penghapusan KASN dan meleburkan fungsi pengawasan ke dalam pembuat kebijakan atau pelaksana kebijakan ASN menimbulkan banyak pertanyaan. Terlebih lagi, langkah itu dilakukan di tengah hiruk-pikuk pemilu.
Oleh
MUHAMAD IMAN ALFIE SYARIEN
·4 menit baca
Transformasi pengelolaan negara tidak akan pernah terjadi jika sekadar berorientasi pada kebijakan-kebijakan populis. Umumnya, kebijakan populis ini difasilitasi oleh pejabat birokrasi demi kepentingan mengamankan jabatan.
Belum lama ini, negeri jiran Singapura memperingati 100 tahun kelahiran sang bapak pendiri, Lee Kuan Yew. Perdana Menteri pertama Singapura yang masih keturunan Semarang dari kakek dan neneknya itu merupakan sosok yang sangat dikagumi, bukan hanya oleh warga Singapura, melainkan juga banyak orang di berbagai belahan dunia.
Keberhasilan Lee Kuan Yew mentransformasikan Singapura yang minim sumber daya alam menjadi negara maju membuat namanya dielu-elukan banyak kalangan. Terkait dengan ini, mantan pemimpin Republik Rakyat China Deng Xiaoping pernah menyebutkan bahwa Lee Kuan Yew beroleh sukses karena menggunakan formula MPH, yaitu meritocracy, pragmatism, dan honesty (integritas).
Meskipun relatif serumpun dan bertetangga, membandingkan Indonesia dengan Singapura secara langsung tentu bukan perkara sederhana. Kedua negara ini memiliki ukuran, kompleksitas, dan kapasitas terpasang yang terlampau berbeda.
Akan tetapi, Indonesia tampaknya berupaya meniru formula Singapura, terutama dalam hal pragmatisme pembangunan ekonomi dan integritas.
Akan tetapi, Indonesia tampaknya berupaya meniru formula Singapura, terutama dalam hal pragmatisme pembangunan ekonomi dan integritas. Tentu saja unsur kedua sangat layak diperdebatkan. Namun, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan serangkaian kerangka hukum untuk pemberantasan korupsi yang dilahirkan pasca-Orde Baru menunjukkan upaya itu.
Di antara ketiga unsur formula tersebut, tampaknya meritokrasi menjadi unsur yang paling tertinggal di Indonesia.
Situasi itu semakin terlihat jelas belakangan ini seiring dengan perubahan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan tingkat I di Komisi II pada 26 September lalu.
Salah satu poin mengemuka dari perubahan tersebut adalah penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Fungsi pengawasan yang sebelumnya diperankan KASN kabarnya akan dikembalikan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kepegawaian negara secara alamiah memiliki karakteristik pengelolaan yang berbeda dibandingkan dengan kepegawaian di perusahaan.
Adanya pertimbangan politik dan demokrasi menjadikan kepegawaian negara mengakomodasi pola rekrutmen yang mengafirmasi identitas (putra daerah), nasionalisme (peraih medali kompetisi olahraga), hingga kemanusiaan (tenaga honorer).
Pertimbangan tambahan ini sangat mungkin inkompatibel dengan kebutuhan kompetensi instansi penerima. Terlebih lagi jika proses rekrutmen tersebut diwarnai kepentingan politik sempit dari pejabat pembina kepegawaian (PPK).
PPK notabene adalah pejabat politik, mulai dari menteri hingga kepala daerah. Oleh karena itu, besar kemungkinan kinerja yang dihasilkan para rekrutan ini juga kurang memuaskan.
Politisasi birokrasi
Dalam konteks masa pemilihan umum, politisasi birokrasi oleh para PPK menjadi semakin rentan terjadi. Bukan hanya dalam hal rekrutmen, melainkan juga berkaitan dengan pengangkatan dan penempatan pejabat.
Pengangkatan pejabat yang akomodatif terhadap preferensi politik PPK dan penyingkiran pejabat yang bertentangan dengan preferensi politik PPK mungkin terjadi. Hal itu juga berpotensi diiringi dengan penyalahgunaan anggaran dan fasilitas publik untuk kepentingan politik praktis pada masa pemilu.
Para pegawai ASN yang menjaga netralitas dan bekerja profesional sangat mungkin mendapatkan perlakuan tidak adil oleh PPK atas nama ”kepentingan organisasi”.
Rekrutmen yang serampangan akan membawa dampak tidak hanya untuk lima tahun masa jabatan pejabat politik. Hal itu juga bakal berdampak selama masa karier pegawai yang direkrut, hingga 25 tahun, bahkan 35 tahun selanjutnya.
Rekrutmen yang serampangan akan membawa dampak tidak hanya untuk lima tahun masa jabatan pejabat politik.
Penempatan pejabat yang hanya mempertimbangkan loyalitas kepada atasan, tetapi tidak sesuai kompetensi akan membawa dampak myopia pembangunan.
Oleh karena itu, transformasi tidak pernah terjadi karena hanya mengejar kebijakan-kebijakan yang bersifat populis. Kebijakan populis tersebut difasilitasi oleh pejabat birokrasi untuk kepentingan PPK dan kepentingan mengamankan jabatan.
Keberadaan unsur pengawas yang independen menjadi kritikal dalam merawat meritokrasi di lembaga eksekutif. Lembaga yang memainkan peran ini hadir di negara-negara maju, antara lain Merit Systems Protection Board di Amerika Serikat, Appeals Commission di Korea Selatan, atau Merit Protection Commissioner di Australia.
Lembaga-lembaga ini menghadirkan unsur pengendalian atas praktik tidak adil, termasuk politisasi birokrasi, di negara-negara tersebut.
Rencana penghapusan KASN dan meleburkan fungsi pengawasan ke dalam pembuat kebijakan atau pelaksana kebijakan ASN menjadi pilihan yang menimbulkan banyak pertanyaan. Terlebih lagi, langkah itu dilakukan di tengah hiruk-pikuk pemilu.
Tentu saja KASN bukan satu-satunya opsi pengawasan independen untuk menjamin meritokrasi dalam manajemen ASN. Bisa saja, misalnya, dilakukan penguatan atas Ombudsman RI untuk memainkan peran tersebut. Akan tetapi, opsi ini juga tidak tersedia di meja saat ini.
Perlu disiapkan solusi yang tepat untuk memastikan birokrasi pemerintah diisi dan dijalankan oleh orang-orang yang tepat. Jangan sampai alih-alih merawat, kita justru akan ”melayat” meritokrasi.
Muhamad Imam Alfie SyarienPengajar dan Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia