Gentingkah Urusan Senjata Nuklir?
Dewasa ini perlucutan senjata nuklir sedang meredup. Negara-negara nuklir terus mengembangkan kemampuan arsenal nuklirnya. Modernisasi senjata, sikap politikus yang mengeras, mengecilkan peluang pengurangan senjata.
Di New York, Amerika Serikat, 26 September 2023, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyerukan kembali slogan semangat dunia bebas senjata nuklir.
Berpidato pada peringatan Hari Internasional Pemusnahan Total Senjata Nuklir, Menlu Retno yang juga mewakili ASEAN menyampaikan bahwa ”satu-satunya jalan mencegah penyalahgunaan dan menghilangkan secara total ancaman senjata nuklir adalah dengan memusnahkannya secara total dan menyeluruh” (Kompas, 29/9/2023).
”Dulu ada ’tabo nuklir’, tapi norma dan institusi pembatasan nuklir berantakan. Kesepakatan Pengawasan Senjata sedang robek. Kooperasi digantikan oleh unilateralisme…. Kini, lebih dari waktu sebelumnya, umat manusia menghadapi risiko masa depan, di mana ’tabo nuklir’, norma yang membuat dunia lebih aman, mengalami kemunduran,” demikian diungkapkan Nina Tannenwald (Foreign Affairs, November/Desember 2018).
Perlucutan total senjata nuklir menjadi salah satu fokus politik luar negeri RI selama beberapa tahun terakhir. Selain aktif di Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), terakhir Indonesia juga terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Gubernur IAEA. RI juga telah menandatangani dan meratifikasi Traktat Non-Proliferasi (NPT), Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Nuklir (CTBT), dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW).
Perlucutan total senjata nuklir menjadi salah satu fokus politik luar negeri RI selama beberapa tahun terakhir.
Dalam perjalanan sejarah, mantan Presiden AS Barack Obama, saat baru 2,5 bulan jadi presiden, pada 5 April 2009 di Lapangan Hradcany, Praha, menyampaikan keinginannya yang sangat mendalam untuk melihat dunia tanpa senjata nuklir. Dinilai sebagai suatu visi besar, dan disampaikan oleh orang nomor satu AS, panitia Nobel pun menganugerahinya Nobel Perdamaian.
Dalam kenyataan selanjutnya, AS dan Rusia justru mengembangkan kemampuan nuklir baru, sementara kesepakatan nuklir strategis (antarbenua) habis massa berlakunya tahun 2021.
Sebagai hasilnya, seperti disampaikan Broookings (Steven Pifer, 4/4/2019), dunia menjadi kurang stabil, kurang aman, dan kurang bisa diprediksi.
Memang Obama menandaskan bahwa dalam proses yang perlu waktu ini, dan sepanjang senjata nuklir ada di dunia, AS akan menjaga arsenal nuklirnya dengan ”saksama, aman, dan efektif”. Efektif di sini menyiratkan: ini senjata sangat ampuh, jangan main-main.
Namun, seperti terjadi sebelumnya, penyuara penghapusan senjata nuklir diolok-olok, dianggap naif, sedikitnya idealistis. Kita perlu paham bahwa untuk mencapai dunia bebas nuklir, minimum semua, khususnya negara yang semula memiliki senjata nuklir, harus yakin bahwa mereka bisa melindungi kepentingan pokok tanpa senjata nuklir.
Lalu, ada mekanisme verifikasi baru yang bisa sangat intrusif. Jika perlu, dengan mengobok-obok negara yang dicurigai menyeleweng (cheating), dan penegakan aturan terhadap negara yang menyeleweng dilakukan dengan keras.
Para pemikir nuklir juga terus mencari cara yang mungkin bisa dijalankan untuk penghapusan senjata nuklir. Dalam Towards Nuclear Zero, David Cortright dan Raimo Vayrynen (2010) sudah menyampaikan banyak gagasan tentang ikhtiar untuk itu.
Ancaman nyata?
Ancaman bahwa semenjak manusia bisa melepas energi atom dan dengan itu akan mengarah pada bencana (katastrofe) tak ada bandingannya sudah disuarakan Albert Einstein tahun 1946. Namun, pahlawan Perang Dunia II dan sosok terkemuka Inggris, Winston Churchill, pada tahun 1955 mengatakan bahwa deterens (penggentar) nuklir akan menghasilkan stabilitas.
Tampak bahwa pandangan Einstein menjadi pegangan gerakan perdamaian modern, sementara pandangan Churchill bergerak menjadi strategi dan doktrin nuklir utama Barat. Keduanya berpendapat revolusi nuklir telah secara fundamental mentransformasi politik internasional. Namun, menurut John Mueller, keduanya keliru (Foreign Affairs, November/Desember, 2018).
Dengan segala kehebohan di bidang politik dan anggaran pertahanan, ada fakta baru yang diketengahkan, antara lain senjata nuklir tidak dibutuhkan untuk diancamkan pada satu Perang Dunia Ketiga. Sejauh ini, senjata nuklir terbukti sia-sia secara militer. Sebaliknya, kegunaan utamanya adalah untuk ”mengompori” ego nasional atau untuk bersikap hebat terhadap ancaman, riil ataupun khayali (imagined).
Tampak bahwa pandangan Einstein menjadi pegangan gerakan perdamaian modern, sementara pandangan Churchill bergerak menjadi strategi dan doktrin nuklir utama Barat.
Obsesi terhadap senjata nuklir di AS saat Perang Dingin, misalnya, menurut Mueller, telah menguras 5 triliun dollar AS hingga 10 triliun dollar AS. Sumber daya yang semestinya bisa digunakan untuk tujuan lebih produktif di bidang lain. Dan saking khawatirnya terhadap proliferasi, AS telah menjatuhkan sanksi berat, bahkan melancarkan perang terhadap negara yang ia curigai.
Pendukung senjata nuklir khawatir bahwa ada kejadian tak disangka-sangka (bolts from the blue), perang aksidental, kalah dalam lomba senjata, proliferasi beruntun, dan terorisme nuklir. Namun, sejauh ini kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan. Mueller menyebut, mungkin saja kita adalah orang yang paling beruntung dalam sejarah, atau di pihak lain, risiko itu dilebih-lebihkan.
Di tengah berkecamuknya perang Ukraina, ada kekhawatiran bahwa jika kepepet, Rusia akan meluncurkan senjata nuklir. Di luar perang Ukraina, kita juga mengetahui bahwa traktat nuklir yang ada mulai ditinggalkan. AS mundur dari Traktat Nuklir Jarak Menengah (INF) pada 2 Agustus 2019.
Sementara, Traktat New START (untuk rudal antarbenua) sudah habis tahun 2021, dan upaya untuk mendapatkan penggantinya sulit. AS juga sempat ”membujuk” China, tetapi tentu saja diacuhkan. Jurnal Survival (IISS) Juni-Juli 2016 membahas panjang lebar soal ancaman nuklir.
Majalah Air Forces Monthly (Juni, 2022) menurunkan laporan utama bertajuk ”Putin’s Nuke Madness—Would He Dare?” Sejauh kewarasan masih ada pada pemimpin dunia, pandangan tentang perang nuklir tentu akan terus dianut, yaitu bahwa perang nuklir tak bisa dimenangi (unwinable), dan karena itu tak bisa dipertimbangkan (unthinkable).
Semua pemimpin menyadari payung doktrin nuklir adalah mutually assured destruction (MAD), bahwa yang terlibat dalam perang nuklir akan sama-sama hancur karena lawan punya kemampuan ”serang balik” (second strike). Ini meniscayakan, negara penyerang tidak punya privilese impunitas.
Semua pemimpin menyadari payung doktrin nuklir adalah mutually assured destruction (MAD), bahwa yang terlibat dalam perang nuklir akan sama-sama hancur karena lawan punya kemampuan ”serang balik” ( second strike).
Jalan tak mudah
Mewujudkan seruan Menlu Retno Marsudi, juga Barack Obama, ideal, tetapi sungguh jalan yang tidak mudah.
Keseimbangan antara keuntungan dan kerugian dunia bebas senjata nuklir berbeda antara yang dibayangkan AS dan negara-negara lain. Hal yang sama bisa dilihat juga untuk Israel, yang merasa dikepung oleh negara-negara Timur Tengah yang memusuhinya. Dari sisi sebaliknya, kita juga bisa melihat mengapa Iran begitu gencar memacu program nuklirnya.
Dari sisi pertimbangan keamanan, memang satu hal ideal bahwa dunia dibebaskan dari senjata nuklir. Namun, untuk ini, kondisi yang ada sejauh ini amat pelik. Secara akademis, maupun praktis, kajian sudah melimpah tentang politik nuklir.
Ketika menulis buku Nuclear Politics (2005), Satyabrata Rai Chowduri memberi anak judul ” Towards a Safer World”, dan memang itu tujuan bersama kita, umat manusia.
Pada sisi lain, dari kubu realis, yang melihat senjata nuklir sulit dimusnahkan, mencoba mencari jalan untuk menetralisasi senjata pemusnah massal ini. Membuat senjata nuklir ”tidak ampuh” lagi adalah dengan membuatnya bisa ditangkis oleh sistem pertahanan rudal.
Argumen inilah yang dulu digunakan mendiang Presiden AS Ronald Reagan saat meluncurkan program Strategic Defense Initiative (SDI) (1983), atau yang juga dikenal sebagai Perang Bintang.
Literasi tentang bahaya senjata nuklir perlu juga diluaskan. Ward Wilson sudah menulis buku Five Mythhs About Nuclear Weapons (2013), di mana mitos ketiga menyebut ”Deterens Nuklir Berfungsi di Saat Krisis”, mitos keempat menyebut ”Senjata Nuklir Menjaga Keselamatan Kita”, dan mitos kelima ”Tidak Ada Alternatif”.
Untuk mitos keempat, orang bisa berargumen, karena senjata nuklirlah, semenjak Perang Dunia II tidak ada lagi perang dunia lagi, karena semua percaya pada MAD dan pandangan ”perang nuklir tak bisa dimenangi”.
Namun, satu hal yang dikhawatirkan adalah juga bahwa dewasa ini perlucutan senjata nuklir sedang meredup. Negara-negara nuklir—meski jumlahnya tidak 20 atau 25 seperti diramalkan mendiang Presiden John F Kennedy tahun 1963—justru terus mengembangkan kemampuan arsenal nuklirnya.
Ketegangan geopolitik, seperti dibuktikan dengan meletusnya perang Ukraina 24 Februari 2022, meluas. Modernisasi senjata, sikap politikus yang mengeras, semua mengecilkan peluang pengurangan senjata.
Sikap AS yang bisa dikatakan menerapkan standar ganda—lunak terhadap Israel, tetapi sangat keras terhadap Korea Utara dan Iran—menambah lagi ketidakpercayaan internasional.
Dalam konteks inilah, seruan Presiden Obama, dalam bahasa Nina Tannenwald, tersapu oleh gelombang pasang oposisi.
Imbauan Bu Retno pun terdengar sayup-sayup, lebih-lebih di tengah hiruk-pikuk agenda Pemilihan Presiden 2024. Sebagian memang khawatir dengan senjata nuklir, tapi laporan Foreign Affairs yang kita kutip di atas berupa kalimat tanya: ”Do Nuclear Weapons Matter”—Jadi soalkah senjata nuklir?
Baca juga : Mengenal Traktat Pengendali Senjata Nuklir
Ninok Leksono Rektor UMN, Alumnus Department of Wars Studies, King’s College, Inggris