Di struktur pemerintahan, Ombudsman jadi kekuatan keempat di rumpun pengawasan. Ini mensyaratkan independensi organisasi.
Oleh
ROBERT NA ENDI JAWENG
·4 menit baca
Rapat Paripurna DPR pada 3 Oktober 2023 menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI sebagai usul inisiatif DPR. Arah perubahannya adalah memperkuat kewenangan, kelembagaan, dan kedudukan maupun sejumlah fitur pendukung lain dari lembaga negara pengawasan pelayanan publik tersebut.
Lebih jauh, menyitir Ketua Baleg DPR Supratman Agtas, elemen kewenangan perlu diperkuat pada daya eksekusi produk rekomendasi. Keberlakuan yang mengikat dari rekomendasi dilihat sebagai cara meningkatkan mutu pelayanan publik. Sementara pada elemen kelembagaan, para asisten yang saat ini menjadi supporting-system mesti diperkuat lagi oleh sekretariat jenderal yang berisi deputi hingga perwakilan di daerah. Berbagai penguatan itu pada gilirannya mengukuhkan kedudukan Ombudsman dalam sistem pemerintahan, termasuk relasi antara hasil temuannya dengan aspek pengawasan internal birokrasi (Kompas, 15/9/2023).
Artikel ini bermaksud menebalkan politik kebijakan (legal-policy) dari parlemen tersebut. Harapannya, pemerintah juga berada pada nada dasar serupa. Kehadiran lembaga pengawas adalah bagian inheren dalam negara demokrasi—suatu ikhtiar demokratisasi pelayanan publik. Rakyat tidak saja dilekati oleh konstitusi seperangkat hak atas segala layanan berkategori public goods, tetapi juga berhak mengawasi proses dan produk layanan dimaksud. Pelembagaan formal dari kepemilikan hak prosedural tersebut, antara lain dan terutama, melalui Ombudsman.
Dengan paradigma kerja demikian, kedudukan Ombudsman jelas tak lepas dari suatu mandat legal mewakili rakyat mengontrol birokrasi. Dalam struktur pemerintahan yang dibagi atas tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Ombudsman sejatinya menjadi kekuatan keempat (fourth-estate) dalam rumpun pengawas. Posisi demikian mensyaratkan independensi organisasi dan integritas personal yang kuat. Keduanya adalah mahkota bagi setiap pengawas guna menjamin obyektivitas kerja dan memulihkan keadilan yang tercederai (malaadministrasi) dalam penyelenggaraan layanan publik.
Namun, posisi yang cenderung isolatif tersebut, termasuk mispersepsi atas makna pengawasan eksternal, membuat relasi Ombudsman dengan kementerian, lembaga, dan daerah masih terasa belum sepenuhnya ”duduk”. Relasi messo-fungsional yang tak terajut jelas tersebut merupakan resonansi dari problem makro-struktural terkait kedudukan Ombudsman dalam konstruksi ketatanegaraan dan sistem pemerintahan. Hal ini, berbeda dari tengara sejumlah pihak, tak mesti bermuara pada diskursus lama soal perlunya Ombudsman diatur pada level konstitusi.
Implikasinya, pada aras mikro-operasional, hubungan bermasalah tadi terlihat pada pengawasan yang masih dianggap bukan titik penting dalam semesta tata laksana berpemerintahan. Bahkan, kehadiran institusi pengawas (termasuk pengawas internal seperti inspektorat) cenderung dihindari, ditakuti, atau kalau perlu disuap. Alih-alih merasa terbantukan, seperti terekspresi dalam ungkapan ”untung ada Ombudsman” atau ”untung ada inspektorat”, justru upaya menjaga jarak, menghindar atau melawan masih terbaca sebagai gelagat jamak.
Lebih digenapi lagi, pengaturan relasi Ombudsman dengan para pihak yang diawasi masih berjalan satu arah. Dalam budaya ketaatan hukum yang masih rapuh, idealnya pengawasan Ombudsman tidak hanya diatur dalam UU Ombudsman, tetapi juga dalam regulasi sektoral terkait. Berbagai produk hukum memang mengatur pengawasan, tetapi tidak terdapat konstruksi hubungan dengan Ombudsman. Padahal, jika tak tercantum dalam regulasi tersebut, kementerian/lembaga yang berorientasi kepada rezim sektoral lalu tidak merasa terikat kepada Ombudsman.
Dalam budaya ketaatan hukum yang masih rapuh, idealnya pengawasan Ombudsman tidak hanya diatur dalam UU Ombudsman, tetapi juga dalam regulasi sektoral terkait.
Kedua, perihal kewenangan, arah penguatannya terkait dengan daya eksekusi atas produk Ombudsman. Selama ini, baik dalam tugas pencegahan maupun penindakan/pemeriksaan malaadministrasi, memang terasa padat kewenangan proses: pemanggilan (bahkan pemanggilan paksa) para pihak dan imunitas yang melekat dalam jabatan. Ombudsman memanfaatkan modalitas ini guna menuntaskan ribuan aduan/laporan masyarakat pada tahapan proses melalui komunikasi/konsultasi ataupun investigasi, mediasi dan konsiliasi. Tanpa harus sampai ujung, penyelesaian atas aduan tersebut dilakukan (tutup laporan) saat sedang diperiksa, bahkan tak jarang pada pra-pemeriksaan.
Namun, selalu saja tersisa sejumlah aduan yang menggelinding hingga ujung dari pemeriksaan (terbit laporan hasil pemeriksaan/LHP), bahkan menjangkau pemuncak berupa penerbitan rekomendasi. Aduan jenis ini biasanya tinggi muatan politisnya, melibatkan tokoh penting, substansi masalahnya sistemik dan kompleks, dan sebagainya. Selain memakai hak prosedural untuk sanggah/keberatan atas produk antara (LHP), terlapor bahkan tetap tak mengakui bersalah (malaadministrasi) yang dibunyikan dalam produk akhir rekomendasi. Atas kondisi demikian, Ombudsman lalu menaikkan level penyelesaian kasus hingga ke atasan terlapor bahkan Presiden, suatu langkah yang tak selalu mudah dan berujung pasti.
Ke depan, situasi mengambang, yakni kasus yang ”menggantung” alias tak jelas ujung penyelesaiannya, tak bisa terus dibiarkan. Kewenangan eksekutorial pada pintu akhir perlu diperkuat. Modelnya bisa merujuk strong Ombudsman di sejumlah negara: penetapan kesalahan, perintah tindakan korektif dan penegakan sanksi dirangkap sekaligus pelaksanaannya oleh Ombudsman.
Opsi lain, agak moderat, Ombudsman memangku otoritas quasi-judisial atau otoritas ajudikasi sebagaimana yang diatur UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di sini, sinergi dan kaitan kerja dengan pranata pengawasan administrasi ataupun penegakan pidana menjadi krusial.
Ketiga, fitur kelembagaan, menjadi pilar pelapis yang tak kalah determinan. Unsur kesekjenan, keasistenan, dan perwakilan adalah alat bantu yang belum bergerak dalam kekuatan penuh. Dari sisi personel, status kepegawaian para asisten sebagai ASN dalam skema tata kelola mandiri oleh Ombudsman (ASN khusus) seperti di Kejaksaan menjadi opsi yang patut disimulasi. Dari sisi organisasional, predikat perwakilan sebagai satuan kerja (satker), seperti KPU atau Bawaslu, akan membuat organisasi bergerak lincah menangani ribuan aduan pelayanan publik yang seiring desentralisasi/otonomi mendominasi ruang daerah.
Meski berskala terbatas, bobot revisi atas UU ini berkelas berat. Hal ini bisa dibaca sebagai dukungan DPR atas Ombudsman, tetapi terutama pula mencerminkan komitmen politik agar birokrasi makin terawasi. Arena reform sektor publik jelas berlapis-lapis, memperkuat pengawasan adalah kiat jitu mencari totok nadi perubahan.
Pergumulan di lapangan menunjukkan bahwa mutu layanan publik kita masih menjadi pekerjaan rumah serius. Reformasi layanan administratif bisa terfasilitasi melalui digitalisasi, tetapi layanan substantif terkait jasa/barang publik harus melibatkan kerja-kerja teknokratik dan politik dalam mengadministrasikan keadilan bagi masyarakat.
Sebagai tanda hadirnya negara dan sekaligus menjadi inti dari seluruh proses berpemerintahan, pelayanan publik menjadi jalan utama dalam narasi transformasi Indonesia menuju 2045. Tidak saja memperkuat kapabilitas tata kelola, tetapi juga efektivitas pengawasan. Kiranya revisi UU ini menjadi salah satu momen pembuktian.