Pinjaman ”Online” Memicu Perangkap Utang
Mereka beroperasi tanpa menerapkan teknik keuangan yang tepat. Pada akhirnya, mereka harus menanggung risiko yang mereka sendiri tidak mengetahui cara mengelolanya.
Sejumlah negara mulai mewaspadai fenomena pinjaman daring (online) dan fasilitas penundaan pembayaran atau paylater. Mereka melihat keduanya mulai membahayakan nasabah. Keinginan sejumlah kalangan agar akses keuangan makin inklusif dengan teknologi digital masih berhadapan dengan perilaku penyelenggara yang sangat agresif, tetapi melupakan literasi keuangan masyarakat. Situasi yang mirip juga terjadi di Indonesia.
Beberapa peneliti di China membuat riset yang dimuat di Finance Research Letters Volume 47 pada Juni 2022 dengan judul ”The rise of digital finance: Financial inclusion or debt trap?”. Di dalam ringkasannya, mereka menulis, studi ini berfokus pada dampak keuangan digital terhadap rumah tangga. Meskipun keuangan digital telah membawa inklusi keuangan, hal ini juga meningkatkan risiko rumah tangga terjerumus ke dalam perangkap utang.
Mereka memberikan bukti yang mendukung gagasan ini dan menjelaskan saluran yang digunakan keuangan digital untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa meluasnya penggunaan keuangan digital meningkatkan partisipasi pasar kredit. Akses yang lebih luas terhadap pasar kredit meningkatkan konsumsi rumah tangga dengan mengubah kecenderungan konsumsi kaum marjinal. Namun, semakin mudahnya akses terhadap pasar kredit juga meningkatkan risiko rumah tangga terjerumus ke dalam perangkap utang.
Lucunya, sebagian besar platform pinjaman daring di China menggebu-gebu memprioritaskan perluasan bisnis mereka dengan mencari banyak nasabah, tetapi mereka beroperasi tanpa menerapkan teknik keuangan yang tepat. Pada akhirnya, mereka harus menanggung risiko yang mereka sendiri tidak mengetahui cara mengelolanya.
Laporan lainnya di laman DW menyebutkan, orang-orang di Amerika Serikat sudah sangat terlilit utang. Saldo kartu kredit yang membengkak menjadi berita utama karena inflasi menggerogoti gaji mereka. Akan tetapi, ada ”anak baru” di industri finansial keuangan yang disebut ”beli sekarang, bayar nanti” (BNPL) yang sedang menggemparkan berbagai kalangan di Amerika Serikat.
Jumlah masyarakat Amerika yang menggunakan model pinjaman seperti itu telah meningkat 300 persen setiap tahun sejak 2018. Perusahaan BNPL, seperti Afterpay, Klarna, dan Affirm, mengklaim bahwa model ini memang sangat inklusif secara finansial bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses bentuk kredit tradisional. Namun, para aktivis pembela konsumen berpendapat bahwa model tersebut tidak diatur dan menimbulkan risiko bagi konsumen.
”Pada kenyataannya, pinjaman ini adalah cara yang menyebabkan konsumen menumpuk banyak utang dalam waktu singkat tanpa mereka sadari,” kata Elyse Hicks, penasihat kebijakan konsumen di American for Financial Reform. Jika sektor ini terus tumbuh, hal ini dapat membuat generasi muda Amerika terjerumus ke dalam perangkap utang seperti dikutip dari laman DW. Masalah literasi keuangan menjadi masalah pokok. Kesadaran tentang manfaat utang untuk kegiatan produktif sekaligus kewajiban untuk mengembalikannya tidak jarang kurang dipahami.
Kewaspadaan yang sama juga dilakukan di Australia. Laporan NCA News Wire menyebutkan, survei mengejutkan dari Financial Counselors Australia mengungkapkan peningkatan tajam jumlah orang yang memiliki utang BNPL dalam 12 bulan terakhir dengan 84 persen konselor melaporkan sekitar setengah, sebagian besar, atau seluruh klien memiliki beberapa bentuk utang BNPL. Selain itu, jajak pendapat terhadap 250 konselor menunjukkan kemudahan pembukaan rekening BNPL menyebabkan konsumen menjadi terlalu terikat dengan cicilan utang yang berlipat ganda dan biaya keterlambatan pembayaran yang membengkak.
Pemasaran yang ”curang”
Situasi ini makin diperparah oleh para penyelenggara pinjaman daring yang diduga mengelabui nasabah. Riset Vivien Chen dari Monash Business School menyebutkan, penyelidikan senat baru-baru ini mengenai kredit menggarisbawahi prevalensi perilaku predator dalam industri pinjaman daring untuk karyawan menjelang mereka menerima gaji (payday). Digitalisasi telah peningkatan akses konsumen terhadap pinjaman daring menjelang gajian, tetapi kenyataannya berbiaya tinggi dan risiko gali lubang tutup lubang atau utang yang bersifat spiral terus terjadi.
Risetnya membahas strategi pemasaran ”curang” para pemberi pinjaman. Ia mengungkapkan bahwa para pemberi pinjaman sering menyembunyikan peringatan terhadap risiko bahaya utang dengan cara ditempatkan tersembunyi atau sering ukurannya dikurangi melalui tata letak situs laman pinjaman mereka. Pada saat yang sama, pemberi pinjaman biasanya mengumbar tawaran uang tunai yang cepat dan nyaman dipadukan dengan blog yang memberikan saran dalam mengelola keuangan dan hidup dengan baik sesuai anggaran. Materi ini dinilai mengaburkan perbedaan antara materi iklan dan altruisme.
Temuan Vivien ini menyoroti perlunya peraturan penegakan hukum yang bertujuan untuk melindungi konsumen keuangan yang rentan. Tantangan yang muncul dari meningkatnya digitalisasi model pinjaman menjelang karyawan gajian, peningkatan pemasaran melalui media sosial, dan penggunaan kecerdasan buatan untuk menarget nasabah adalah perlunya reformasi aturan untuk mengatasi masalah tersebut. Konsumen yang rentan, khususnya generasi muda Australia yang sering menggunakan media sosial media, memerlukan tindakan pengamanan untuk mengekang atau paling tidak melawan pesan-pesan iklan pemberi pinjaman yang mengklaim dirinya sebagai teman tepercaya yang menawarkan bantuan keuangan.
Tekanan investor
Di Indonesia, ada kisah kakak angkatan di sebuah universitas yang diduga membunuh adik angkatannya karena ingin mendapatkan uang seusai merugi saat ikut dalam perdagangan aset kripto. Malangnya, uang yang digunakan untuk transaksi itu berasal dari pinjaman daring. Utang digunakan untuk investasi yang memiliki risiko sangat tinggi. Uang adik kelas yang hendak dirampok itu akan dipakai untuk melunasi utang pinjaman daring.
Kasus lainnya, ada juga dugaan seorang nasabah pinjaman daring yang melakukan bunuh diri setelah diteror oleh penagih utang. Kebenaran kabar ini sendiri tengah diselidiki, tetapi penggunaan para penagih utang dengan menggunakan teror sudah dikeluhkan beberapa kalangan.
Baca juga: Altafasalya Membunuh Naufal demi Kuasai Harta untuk Lunasi Utang
Berbagai kasus lain mungkin masih banyak di sekitar kita. Bila di antara keluarga, kenalan, dan teman kita sudah terjebak oleh pinjaman daring, sudah selayaknya kita berhati-hati dengan pinjaman daring karena telah memunculkan bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga masalah sosial. Kejadian-kejadian itu menjadikan kita perlu waspada dengan jebakan utang yang muncul dari pinjaman daring. Apalagi data yang ada menunjukkan sekitar seperempat warga Jakarta yang berjumlah 10,5 juta orang mempunyai pinjaman daring.
Otoritas perlu waspada karena pengelola pinjaman daring sangat agresif melakukan promosi dan penjangkauan nasabah baru. Relatif tak terkendali. Nasabah baru dengan alasan inklusi keuangan disasar. Mereka itu antara lain para pedagang kecil, buruh, dan kelompok marjinal. Masyarakat makin mudah dijangkau karena memiliki gawai, tetapi di sisi lain mereka belum memiliki literasi yang memadai. Iming-iming bunga rendah dan lain-lain mudah sekali membuat mereka terlena.
Melihat masalah pinjaman daring dari berbagai negara, otoritas Indonesia perlu waspada. Mereka perlu meneliti kembali aturan-aturan yang ada, termasuk iklan yang mudah menggoda calon nasabah. Tanpa tindakan yang berarti, maka pinjaman daring akan makin sering memunculkan masalah yang sangat mungkin memunculkan masalah sosial.
Dorongan untuk menjual produk pinjaman daring ini secara agresif sangat boleh jadi muncul karena tekanan investor platform pinjaman tersebut. Investor tidak lagi mau membakar uang untuk promosi dan platform tidak sedikit yang harus segera untung atau setidaknya segera layak secara bisnis. Ada juga karena dana pihak ketiga yang sangat besar dalam sistem pembayaran, tetapi belum digerakkan sehingga mendorong mereka membuat platform pinjaman.
Bisik-bisik di kalangan mereka, upaya agresif itu tidak melanggar aturan. Prinsip mereka, bila tidak diatur, ya dijalankan saja. Seperti kalimat yang sering muncul, lebih baik minta maaf dibanding minta izin ketika mereka mengetahui bahwa aksi mereka bakal mendapat teguran otoritas.
Usulan penanganan
Dalam kesimpulan para peneliti di China di awal tulisan ini, mereka menyatakan bahwa literasi keuangan rumah tangga di China yang rendah dan rumah tangga yang buta finansial telah membuat mereka tidak menyadari konsekuensi dari pilihan mereka terhadap utang. Oleh karena itu, dari penelitian itu mereka mengusulkan, pertama pembuat kebijakan harus membekali masyarakat dengan literasi keuangan digital yang tepat.
Dengan mengutip hasil riset lain, mereka menemukan bahwa kurangnya pengendalian diri dan buta huruf finansial berhubungan positif dengan tidak terbayarnya kredit konsumen dan laporan diri tentang beban utang keuangan yang berlebihan. Studi tersebut menjelaskan bahwa meskipun literasi keuangan dapat ditingkatkan melalui pendidikan keuangan, individu tidak dapat dididik mengenai pengendalian diri. Oleh karena itu, saran kebijakan kedua dari hasil penelitian mereka adalah pembuat kebijakan perlu membatasi kredit yang tersedia dengan melakukan pengendalian berdasarkan tujuan pinjaman.
Tentang platform pinjaman yang agresif memperluas bisnis mereka, tetapi beroperasi tanpa menerapkan teknik keuangan yang tepat, mereka menemukan hal ini menciptakan risiko signifikan yang meluas pada keuangan digital ke keuangan tradisional. Oleh karena itu, implikasi kebijakan ketiga dari hasil penelitian mereka adalah bahwa pembuat kebijakan harus meningkatkan perlindungan pelanggan, memastikan transparansi pasar, menjaga persaingan, dan membuat penetapan harga yang adil untuk mengurangi risiko yang terkait dengan sistem keuangan digital.