Perilaku Konsumsi dan Ketidakpastian Global
Efek ketidakpastian global merembes ke perekonomian dalam negeri. Dinamikanya memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat.
Ketidakpastian perekonomian dunia semakin tinggi pada Oktober karena respons pelaku pasar yang beragam atas keputusan The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga acuan pada minggu ketiga September 2023.
Ketidakpastian global yang semakin meningkat ini ditangkap di bursa berjangka minyak internasional. Antara pertengahan Agustus dan September, minyak Brent naik dari 83 dollar AS per barel ke 94 dollar AS per barel sebelum kembali turun mendekati 82 dollar AS per barel. Selanjutnya, Brent kembali berfluktuasi sampai 88 dollar AS per barel.
Konflik baru di Timur Tengah menambah ketidakpastian global. Harga Brent kembali menembus 90 dollar AS per barel dalam waktu seminggu. Masih harus dilihat apakah tingkat harga ini dapat bertahan dengan faktor permintaan dan produksi minyak global saat ini. Sebab, perkembangan harga ini lebih banyak ditentukan oleh spekulasi di pasar berjangka.
Kenaikan imbal hasil AS
Di sisi lain, pemodal portepel global berekspektasi bahwa suku bunga The Fed tetap akan tinggi pada 2024. Dampaknya adalah pada imbal jasa obligasi yang naik hingga mendekati 4,75 persen atau yang tertinggi selama 30 tahun terakhir.
Modal portepel pun mengalir ke AS sehingga membuat dollar AS menguat. Saat ini indeks dollar AS bertahan pada 106,58. Imbasnya pada mata uang negara-negara lain di dunia.
Nilai tukar yen, misalnya, sudah hampir menyentuh 150 yen per dollar AS. Bagi negara pengimpor bahan mentah, seperti Jepang, hal ini membuat biaya produksi di sektor manufaktur meningkat signifikan. Sisi positifnya, wisatawan mancanegara, terutama dari AS, membanjiri Jepang karena belanja menjadi lebih murah.
Implikasi bagi rupiah adalah kurs yang melemah ke kisaran Rp 15.600-Rp 15.700 per dollar AS. Surplus neraca dagang membentuk ekspektasi lokal yang cukup berperan menahan nilai tukar untuk tidak terdepresiasi terlalu cepat. Namun, hal ini tidak cukup kuat mengimbangi ekspektasi pasar global yang dicerminkan naiknya indeks dollar AS.
Negara-negara Asia mencoba berbagai cara kreatif melindungi nilai mata uangnya dari depresiasi akibat kenaikan suku bunga AS dan ketegangan geopolitik. Tujuannya supaya kebijakan tidak terlalu bergantung pada suku bunga acuan dan menghamburkan cadangan devisa untuk intervensi pasar valuta asing (Burgess dan Wong [Bloomberg, 15/7/2023]).
Implikasi bagi rupiah adalah kurs yang melemah ke kisaran Rp 15.600-Rp 15.700 per dollar AS.
Idenya adalah pergerakan modal portepel tidak hanya dipengaruhi suku bunga, tetapi juga prospek pertumbuhan ekonomi. India, misalnya, menambah penjualan obligasi untuk menyerap rupee dalam usaha mendongkrak nilainya.
India dan Indonesia juga menerbitkan obligasi dengan imbal jasa lebih tinggi untuk mengimbangi AS. Sementara itu, China menjual obligasi dalam denominasi renminbi di luar negeri untuk meningkatkan permintaan terhadap renminbi.
Dampak dalam negeri
Penyesuaian dalam negeri akibat ketidakpastian global terlihat dari depresiasi nilai tukar rupiah sejak awal Agustus dan kenaikan harga BBM nonsubsidi pada awal Oktober 2023. Dampak rincinya hanya dapat diketahui secara pasti di bulan-bulan mendatang setelah data tersedia. Untuk mengetahuinya secara dini dapat ditelusuri dari survei atau data yang memuat ekspektasi ke depan.
Prognosisnya masih cukup baik. Perkembangan dalam negeri sisi produksi dapat dilihat dari indeks manajer pengadaan sektor manufaktur atau PMI. Akibat peningkatan ketidakpastian, indeks PMI Indonesia menurun dari 53,0 pada Agustus ke 52,3 pada September. Ini masih dalam zona ekspansi, tetapi ada peningkatan keberhati-hatian. Dengan demikian, indeks PMI ini sudah 25 bulan berturut-turut mengalami ekspansi.
Baca juga : Divergensi Ekspektasi dan Ketidakpastian Global
Pola yang sama tecermin pada sisi permintaan masyarakat yang diwakili Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dipublikasikan Bank Indonesia. IKK turun dari 125,2 pada Agustus ke 121,7 pada September. Artinya, IKK tetap pada zona optimistis (di atas 100). Interpretasinya, konsumen tetap optimistis.
Hal yang menarik adalah dinamika pada berbagai kategori tingkat pengeluaran. Dua kelompok pengeluaran terbawah mengalami penurunan IKK yang signifikan walaupun masih dalam zona optimistis.
Kelompok pengeluaran per bulan dengan kisaran Rp 1 juta sampai Rp 2 juta mengalami penurunan IKK dari 114,8 di Agustus ke 108,5 di September atau 5,5 persen. Kelompok pengeluaran per bulan dengan kisaran Rp 2,1 juta sampai Rp 3 juta juga turun dari 120,8 ke 110,2 atau 9,2 persen. Kelompok pengeluaran per bulan dengan kisaran Rp 3,1 juta sampai Rp 4 juta turun lebih tipis dari 124,4 ke 121,3 atau 2,6 persen.
Teratas melambat
Selanjutnya, untuk dua kelompok pengeluaran teratas masih terjadi kenaikan IKK walaupun mulai melambat. Kelompok pengeluaran per bulan dengan kisaran Rp 4,1 juta sampai Rp 5 juta dan kelompok Rp 5 juta ke atas naik masing-masing 0,93 persen dan 1,1 persen.
Pola ini menunjukkan hubungan terbalik antara pengeluaran dan perilaku menghindari risiko (risk averse) pada saat ada peningkatan ketidakpastian. Semakin rendah pengeluaran, semakin tinggi kecenderungan menghindari risiko.
Semakin rendah pengeluaran, semakin tinggi kecenderungan menghindari risiko.
Walaupun masih dalam zona optimistis, perilaku di atas terlihat juga pada ekspektasi terhadap minat pembelian barang tahan lama. Secara keseluruhan, indeks ekspektasi membeli barang tahan lama turun 2,1 persen dari 111,6 di Agustus ke 109,3 di September.
Penurunan yang terjadi pada dua kategori pengeluaran terbawah ini bahkan sudah membawanya masuk zona di bawah 100 atau pesimistis. Sementara untuk tiga kategori pengeluaran per bulan yang lain, dari Rp 3,1 juta sampai lebih dari 5 juta, masih menunjukkan optimisme (di atas 100) meski indeksnya menurun di September dibandingkan dengan Agustus.
Pola konsumsi dapat dilihat dari dinamika porsi pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume - APC) yang sedikit meningkat dari 75,6 di Agustus ke 76,3 di September. Pada saat bersamaan, rerata persentase arus pengeluaran yang ditabung (average propensity to save - APS) turun tipis dari 15,6 ke 15,2 persen. APS ini bukan stok tabungan, melainkan arus pendapatan yang sebenarnya dapat dibelanjakan, tetapi kemudian ditabung.
APC kelompok pengeluaran Rp 1 sampai Rp. 2 juta meningkat tipis dari 77,5 ke 77,6 antara bulan Agustus dan September. Untuk kelompok Rp. 2,1 sampai Rp 3 juta naik dari 75,7 ke 77,1. Kelompok Rp. 4,1 sampai Rp 5 juta meningkat dari 71,2 ke 73,2. Yang menurun tipis adalah kelompok Rp. 3,1 sampai Rp 4 juta dan di atas Rp. 5 juta, masing-masing dari 74,9 ke 74,7 dan dari 69,5 ke 68,3.
Kuncinya adalah mengendalikan transmisi imported inflation yang terjadi akibat volatilitas harga minyak dan penguatan indeks dollar AS.
Keinginan untuk membeli barang tahan lama menurun karena ketidakpastian yang meningkat. Namun, kenaikan APC dan penurunan APS menunjukkan kenaikan daya ungkit (multiplier) perekonomian yang berpotensi mempertahankan potensi pertumbuhan. Kombinasi di atas mengisyaratkan peluang pergeseran ke konsumsi nonbarang tahan lama, seperti makanan, pariwisata, dan kegiatan relaksasi lainnya.
Implikasinya, konsumsi masyarakat akan tetap menjadi bantalan pertumbuhan dalam situasi ketidakpastian yang meningkat. Kuncinya adalah mengendalikan transmisi imported inflation yang terjadi akibat volatilitas harga minyak dan penguatan indeks dollar AS.