Tulisan ini dipicu oleh semakin banyaknya penggunaan kata ”keberlanjutan” dan ”berkelanjutan” oleh pejabat, politisi, pengamat politik, media, dan pihak lain yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dan konsep keberlanjutan itu sendiri.
Pada 1983, PBB membentuk Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (WCED) sebagai respons terhadap meningkatnya kerusakan lingkungan, meningkatnya kepunahan flora dan fauna, serta menipisnya sumber daya alam, yang pada gilirannya kehidupan manusia akan terancam.
Komisi itu dipimpin oleh Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia. Komisi yang lebih dikenal sebagai Komisi Brundtland itu bertugas mencari solusi terhadap masalah lingkungan dan kesejahteraan manusia di bumi. Komisi ini terdiri atas 22 anggota dari sejumlah negara, termasuk Emil Salim dari Indonesia.
Baca juga: Tantangan Keberlanjutan Lingkungan
WCED menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menghasilkan sebuah laporan berjudul ”Masa Depan Kita Bersama” (”Our Common Future”), atau dikenal juga sebagai Laporan Brundtland, yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB tahun 1987. Komisi dalam laporannya itu menyoroti tantangan besar yang dihadapi dunia seperti ketimpangan ekonomi, kemiskinan, pertumbuhan populasi, dan kerusakan lingkungan.
Untuk mengatasi hal ini, Komisi Brundtland merekomendasikan agar pembangunan ekonomi mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan manusia. Semua negara diminta melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Apa yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan? Laporan Brundtland mendefinisikannya sebagai ”pembangunan yang untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka”.
Ada dua makna pokok terkandung dalam definisi ini, pertama, pembangunan (baca: aktivitas) itu harus memperhatikan (pro) lingkungan. Kedua, pembangunan itu harus dapat meningkatkan taraf kehidupan (pro) manusia. Sesuatu yang mengandung kedua makna tersebut disebut ”berkelanjutan”.
Laporan Brundtland dianggap sebagai tonggak sejarah lahirnya istilah keberlanjutan ( sustainability) dan kata sifatnya yang disebut berkelanjutan ( sustainable).
Konsep keberlanjutan berkembang cepat melalui peluncuran berbagai program oleh lembaga-lembaga di bawah PBB, pegiat keberlanjutan, pemerintah, akademisi, dan dunia usaha. Laporan Brundtland dianggap sebagai tonggak sejarah lahirnya istilah keberlanjutan (sustainability) dan kata sifatnya yang disebut berkelanjutan (sustainable).
Sejak 1990-an, di kalangan akademisi dan korporasi, konsep ini menjadi sebuah ajaran baru yang disebut ”keberlanjutan” dengan filosofi 3P (planet, people, profit). Implementasinya oleh korporasi diungkapkan dalam laporan keberlanjutan (sustainability report) setiap tahun bersamaan dengan laporan keuangan tahunan perusahaan.
Pengembangan oleh akademisi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, dilakukan dengan membuka program studi keberlanjutan. Beberapa perusahaan terkemuka telah menjalankan fungsi keberlanjutan di bawah kendali direktur keberlanjutan (chief sustainability officer).
Intinya, keberlanjutan itu adalah ”kemampuan bumi beserta segenap isinya untuk bertahan dari kepunahan”. Artinya, sesuai dengan filosofi 3P di atas, lingkungan hidup harus dilindungi, manusia harus ditingkatkan taraf kehidupannya, dan korporasi harus menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketiga unsur ini menjadi prinsip utama yang saling terkait satu sama lainnya dan ketiganya harus berjalan seiring.
Baca juga: Keberlanjutan Pembangunan atau Pembangunan Berkelanjutan di IKN
Supaya tidak membingungkan kalangan akademisi, korporasi, dan pegiat keberlanjutan, gunakanlah kata keberlanjutan dan berkelanjutan itu pada tempatnya. Jika ingin mengatakan sesuatu yang kemarin ada, besok juga harus ada lagi, maka gunakanlah kata kesinambungan, berkesinambungan, kelanjutan, kontinu, atau kontinuitas.
Ali Darwin, Ketua Dewan Penasihat Perkumpulan Praktisi Keberlanjutan Bersertifikat