Sejak puluhan tahun lalu, kita menduga ”upacara” berarti peristiwa di suatu tempat. Namun, beberapa kamus menunjukkan makna yang lain.
Oleh
BANDUNG MAWARDI
·2 menit baca
Setiap tanggal 17 Agustus, anak-anak tetap pergi ke sekolah. Di kalender, angka 17 berwarna merah. Kita mengartikan merah sebagai hari libur. Merah itu berbeda saat kita mengingat sejarah: 17 Agustus 1945. Anak-anak ke sekolah bukan untuk belajar, melainkan upacara. Mereka mengerti tanggal merah adalah hari libur, tetapi upacara itu ”wajib”.
Di rumah, kita sebagai bapak duduk di depan televisi. Acara terpenting tentu upacara. Kita menonton upacara. Kita melihat para pejabat, tamu, dan petugas upacara. Perhatian mengarah pada busana-busana adat yang dikenakan para pejabat dan tamu. Upacara untuk mengingat sejarah dan menampilkan keberagaman Indonesia.
Saat yang lain menonton upacara, orang yang ingin menikmati libur tanggal 17 Agustus mungkin memilih membuka novel Upacara (1978) gubahan Korrie Layun Rampan. Novel ini tak berkaitan dengan 17 Agustus 1945. Upacara di sini berbeda dari peristiwa di lapangan atau halaman sekolah dengan pengibaran bendera dan mendengarkan pidato. Upacara dalam cerita gubahan Korrie mengenai adat.
Mereka mungkin tak pernah mengetahui bahwa upacara berkaitan dengan benda atau barang di keraton.
Kita mengingat adat, mengingat beragam upacara. Di sekolah, kita mengartikan upacara harus diikuti setiap Senin dan hari-hari peringatan nasional. Kita mengenakan seragam, berdiri, dan memberi hormat. Pengalaman ikut upacara menimbulkan kesan-kesan militeristis. Pada situasi berbeda, kita mendapat pengalaman ikut upacara dalam kepentingan adat. Upacara itu berbeda makna.
Sejak puluhan tahun lalu, kita menduga upacara berarti peristiwa di suatu tempat. Kita ingin menguji kebenaran arti upacara setelah terbiasa mengikuti atau menonton upacara. Dalam Baoesastra Djawa (1939) susunan WJS Poerwadarminta, oepatjara berarti ’barang-barang kang kaleboe ampilan keprabon; pasamoewan dines ing nalikane ngepjakake djoemenengan boepati’. Upacara bisa mengandung pengertian tentang benda dan peristiwa.
Dulu, kita sebagai murid berdiri di halaman sekolah atau lapangan dalam kepentingan mengikuti upacara. Pengumuman dari pihak sekolah kadang mencantumkan: ”upacara bendera”. Kita menemukan unsur benda, tak sekadar anggapan tentang peristiwa.
Kamus berbeda kita buka untuk mengetahui arti upacara. Poerwadarminta dalam Baoesastra Djawi-Indonesia (1948) mengartikan upacara: ’alat kerajaan’. Kamus itu terbit tak berjarak lama dari peristiwa 17 Agustus 1945.
Pada masa berbeda, kita mendapat pengertian upacara agak panjang, tapi tak terlalu berbeda dari kamus-kamus lama. Dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (2021) susunan Tim Balai Bahasa DIY, upacara adalah ’upacara peresmian pengangkatan jabatan; lambang atau tanda keagungan, kehormatan, dsb (seperti payung keraton, benda pusaka, dsb), barang-barang pusaka milik keraton’. Pengertian itu membuat kita masih bingung tentang kebiasaan pelaksanaan upacara di sekolah.
Mereka mungkin tak pernah mengetahui bahwa upacara berkaitan dengan benda atau barang di keraton. Pada 17 Agustus, upacara tetap mengingatkan kita akan benda, terutama bendera. Benda itu diurusi oleh pasukan istimewa untuk dikibarkan dan diturunkan. Bendera dibawa, tapi tak dikibarkan, dinamakan ”bendera pusaka”.
Membuka kamus
Kita tak mau bingung sepanjang masa sehingga memilih membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018). Kamus tebal dan mahal dipastikan memuat pengertian-pengertian upacara. Kita mengutip pengertian ketiga: ’perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting’.
Kita mendapat penjelasan lanjutan untuk mengusir bingung: ’upacara bendera adalah upacara resmi secara militer yang dilakukan oleh instansi pemerintah pada setiap tanggal 17 dan pada hari-hari nasional, disertai penaikan bendera Sang Merah Putih’. Kita memikirkan upacara memerlukan membuka kamus-kamus agar mendapat penjelasan. Begitu.
Bandung Mawardi, Penulis ”Bocah dan Sekolah” (2022)