Dinasti Politik dan Ancaman Demokrasi
Dinasti politik mendapatkan peluang di era demokrasi, justru karena demokrasi di Indonesia sangat prosedural.
Setiap menjelang pemilu/pilkada, dinasti politik selalu saja menjadi isu hangat. Pro dan kontra pun tak terhindarkan. Meskipun di permukaan umumnya tak tampak adanya gejolak pada partai politik yang melakukan praktik dinasti politik, sulit dinafikan adanya kegelisahan pada sejumlah kadernya yang merasakan adanya ketidakadilan. Gambarannya mirip antrean panjang di tengah kemacetan yang tiba-tiba disalip oleh kendaraan yang dikawal polisi.
Sebagai pilar penting demokrasi, pemilu/pilkada sesungguhnya merupakan sebuah sistem suksesi kepemimpinan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara, khususnya kepada kader parpol. Idealnya achieved status menjadi tolok ukur utama dalam penentuan calon pengemban suksesi dan bukan ascribed status.
Namun, dalam masyarakat neopatrimonial, ascribed status dalam bentuk dinasti politik kerap sulit dicegah. Salah satunya karena sistem rekrutmen dan kaderisasi di parpol relatif tertutup. Parpol belum punya standar kriteria baku dalam menentukan rekruitmen elitenya. Hal ini tidak seperti di birokrasi atau perusahaan besar yang sudah punya standar dan kriteria tertentu untuk menentukan promosi jabatan pegawainya.
Baca juga: Partai Politik Baik, Demokrasi Baik
Dinasti politik
Dinasti politik adalah strategi untuk mempertahankan kekuasaan agar tetap berada dalam lingkaran keluarga. Dinasti politik cenderung memunculkan multiplikasi aktor (aktor-aktor yang muncul hanya di kalangan dinasti saja), bukan pluralisme aktor (aktor-aktor yang muncul cenderung variatif dari berbagai latar belakang).
Dinasti politik sebetulnya merupakan perwujudan dari neopatrimonial. Regenerasi kekuasaan tidak dilakukan melalui penunjukan seperti dalam masyarakat patrimonial, tetapi melalui demokrasi prosedural. Pimpinannya dipilih rakyat, tetapi persoalannya yang menentukan siapa calonnya adalah partai politik.
Mengapa dinasti politik merebak di Indonesia? Melihat Indonesia tak dapat dilepaskan dari daerah. Daerah-daerah dengan keragaman nilai-nilai budaya lokalnya memberikan nuansa yang berbeda. Namun, satu hal yang sama, hampir tak ada satu pun daerah yang terbebas dari warisan nilai-nilai feodalisme, praktik patrimonialisme, patronase, dan ciri-ciri masyarakat komunal yang cenderung sangat permisif.
Menurut Weber, patrimonialisme adalah sistem pemerintahan yang didasarkan kepada personil administrasi dan militer yang bertanggung jawab hanya kepada penguasa. Sementara neopatrimonialisme adalah bentuk modern dari bentuk aturan campuran patrimonial tradisional. Di sini, elemen-elemen patrimonial dan birokrasi yang rasional hidup berdampingan dan saling terkait.
Dalam konteks Indonesia, warisan sistem nilai yang ada tak seluruhnya bisa dieliminasi ketika demokrasi diterapkan di negeri ini sejak 1998. Konsekuensinya, dinasti politik mendapatkan peluangnya di era demokrasi, justru karena demokrasi yang diterapkan di Indonesia sifatnya sangat prosedural dan cenderung mencerminkan model mix/hybrid system.
Dalam sistem patrimonial, semua hubungan kekuasaan, baik politik maupun administrasi, merupakan hubungan yang bersifat personal. Tidak ada perbedaan antara sektor privat dan publik. Dalam sistem neopatrimonial, meskipun secara teori ada pembedaan antara sektor privat dan publik, realitasnya seringkali sulit dibedakan. Terjadi sistem campuran dan hubungan yang bersifat pribadi dan legal rasional.
Konsolidasi demokrasi melalui pemilu/pilkada langsung tidak terjadi, para elite dan aktor yang terlibat dalam pemilu/pilkada menghambat ( constraining) ketimbang mendorong proses demokrasi.
Sistem multipartai dan praktik pilpres langsung sejak 2004/pilkada langsung sejak 2005 di satu sisi relatif meningkatkan partisipasi politik rakyat, tetapi di sisi lain juga memunculkan penyimpangan-penyimpangan atau distorsi yang cukup serius sehingga menghambat konsolidasi demokrasi lokal. Sebagai contoh, munculnya praktik politik uang dan politik transaksional dalam pilkada.
Konsolidasi demokrasi melalui pemilu/pilkada langsung tidak terjadi, para elite dan aktor yang terlibat dalam pemilu/pilkada menghambat (constraining) ketimbang mendorong proses demokrasi. Dalam sejumlah pilkada, misalnya, konflik dan atau kerusuhan pilkada justru dipicu oleh pertentangan antar elite yang tak siap kalah. Celakanya pula praktik pilkada langsung dilaksanakan minus moral politik, sehingga menghasilkan sifat oportunistik, perilaku menghalalkan semua cara (politik transaksional, politik uang) yang berimplikasi negatif terhadap hasil pilkada, termasuk munculnya para penguasa daerah yang kurang atau tidak berpihak kepada rakyat.
Pemilu/pilkada yang bertujuan untuk memilih pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan mampu memajukan negara/daerah telah disimpangkan menjadi sekadar arena perjuangan politik bagi para elite untuk meraih kekuasaan demi kepentingan dirinya sendiri, kelompok, dan juga untuk membangun dinasti.
Minimnya penegakan hukum (law enforcement) dan berlangsungnya praktik demokrasi prosedural menjadi ladang bagi tumbuh kembangnya dinasti politik karena memungkinkan kekuatan-kekuatan yang sudah bercokol makin menancapkan kukunya dalam politik dan pemerintahan.
Apakah dinasti politik merupakan hal yang normal dalam demokrasi? Logikanya sistem demokrasi memberikan peluang yang sama kepada warga negara untuk memilih dan dipilih. Dengan begitu, sistem demokrasi diharapkan mampu menghentikan atau mengurangi kecenderungan menjamurnya dinasti politik atau politik kekerabatan yang mempraktikkan sistem yang kurang transparan dan tidak akuntabel. Masalahnya, apabila demokrasi justru meningkatkan dinasti politik, berarti terjadi paradoks demokrasi. Apa yang salah dengan demokrasi kita?
Mengapa demokrasi tidak berkorelasi positif terhadap meningkatnya kualitas transpanrasi dan akuntabilitas? Sebaliknya, justru memunculkan kekuatan politik dan ekonomi yang bersekongkol mengeksploitasi daerah.
Dalam kasus Indonesia, beberapa daerah cenderung rentan mempraktikkan dinasti politik karena kegagalan daerah dalam membangun demokrasi yang menguatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yaitu yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Anehnya, distorsi tersebut bukannya diperbaiki segera, melainkan terkesan dibiarkan sehingga terjadi akumulasi yang cukup serius yang daya rusaknya semakin nyata, bahkan dinasti politik ini bak virus menyebar hampir ke seluruh wilayah di Indonesia.
Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, ada 60 (11 persen) kasus dinasti politik era pilkada langsung selama 2005-2014. Jumlah tersebut cenderung meningkat selama 2015-2018 menjadi 117 (21,5 persen) dan tahun 2020 bertambah menjadi 175 (32 persen).
Baca juga: Evolusi Dinasti Politik dan Pemilu 2024
Pengalaman negara-negara lain
Praktik dinasti politik di negara maju dan berkembang berbeda. Dinasti politik yang ada di negara maju, dengan sistem demokrasi yang lebih firmed memberikan ruang kompetisi yang cukup yang tak mengancam demokrasi. Selain itu, dengan sistem hukum dan penegakan hukum yang baik dan pelembagaan politik yang baik pula, dinasti politik tidak mendapatkan tempatnya. Hal ini bisa dilihat di Amerika Serikat melalui klan Kennedy dan Bush.
Praktik dinasti politik di negara berkembang seperti India (Gandhi), Pakistan (Bhutto), Thailand (Thienthong dan Sinawatra), dan Filipina (Bongbong Marcos Jr dan Sara Duterte) menarik untuk diketahui sebagai perspektif perbandingan. Di negara-negara tersebut, sebagaimana halnya di Indonesia, munculnya dinasti politik juga tak terhindarkan.
Karakteristik dinasti politik di negara berkembang cenderung dipengaruhi oleh kultur/tradisi/nilai-nilai warisan lama seperti feodalisme, patrimonialisme, dan atau patron-client relationship sehingga menghasilkan pohon kekuasaan yang cabang dan rantingnya dikuasai oleh keluarga tertentu. Praktik dinasti politik di Indonesia telah ada sebelumnya, embrionya bermetamorfosis, tumbuh dan berkembang di era reformasi karena demokrasi tak mampu memutus mata rantai nilai-nilai masa lalu yang menjadi prasyarat bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi secara utuh.
Dengan pendidikan masyarakat lokal yang masih rendah dan juga keterbelakangan ekonominya memungkinkan terbangunnya dinasti politik lebih besar. Lemahnya local state society membuat bangunan dinasti politik eksis tanpa ada perlawanan yang berarti. Manipulasi sistem politik demokrasi terjadi, atas nama dinasti politik, di mana politikus/elite mewariskan/memberikan kekuasaannya kepada kerabatnya saja yang dinilai lebih dipercaya (trusted) ketimbang orang lain.
Demokrasi substantif dan berkualitas
Persyaratan pelaksanaan pemilu/pilkada yang demokratis dan berkualitas harus memenuhi beberapa hal: penyelenggaranya (KPU dan Bawaslu) profesional dan independen/netral secara politik (tidak partisan). Pengawasannya efektif sehingga pelanggaran dan penyimpangannya sangat minim.
Selain itu, diperlukan beberapa hal penting. Pertama, partai politik sebagai peserta pemilu/pilkada mengikuti peraturan dan tidak menghalalkan semua cara (politik kongkalikong, beli suara) untuk menang. Kedua, institusi penegak hukum fungsional, profesional, dan tidak partisan. Ketiga, masyarakat (pemilih) cerdas, mereka memilih bukan karena dimobilisasi dan dibayar. Keempat, biaya pilkada tidak mahal: mulai dari pencalonan, kampanye sampai sengketa pilkada.
Kelima, birokrasi tidak diintervensi/dikooptasi oleh calon dalam pemilu/pilkada, dan birokrasi tidak terkotak-kotak oleh kepentingan para calon. Keenam, para kandidat berkampanye secara bertanggung jawab/berkualitas, tidak melakukan kebohongan publik dan tidak menebar angin surga atau jualan kecap nomer satu saja. Ketujuh, pemilu/pilkada tidak berakhir dengan konflik bernuansa kekerasan atau chaos. Kedelapan, hasil pilkada berkorelasi positif terhadap terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan menghasilkan pemerintahan yang governability.
Solusi mujarab terhadap dinasti politik perlu dilakukan melalui reformasi parpol. Partai politik harus melakukan kaderisasi dan sistem promosi kader secara benar.
Solusi ideal
Untuk mencegah pembajakan demokrasi oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui dinasti politik tak cukup hanya mengandalkan Undang-Undang Pemilu/Pilkada sebagai payung hukum, tetapi lebih dari itu diperlukan penegakan hukum yang konkret yang mampu memberi penalti (seperti diskualifikasi) bagi para pelanggarnya tanpa pandang bulu. Karena itu, Bawaslu baik di pusat maupun di daerah diharapkan bisa efektif melakukan pengawasan dan menindak secara administratif para peserta yang melanggar.
Solusi mujarab terhadap dinasti politik perlu dilakukan melalui reformasi parpol. Partai politik harus melakukan kaderisasi dan sistem promosi kader secara benar yang mengacu pada pola merit system, transparan, dan akuntabel. Seleksi calon pemimpin dan pengawasannya sebagai suatu mekanisme untuk menjaga kualitas (quality control) kader harus senantiasa dilakukan parpol.
Dengan begitu, tak ada orang yang mendadak menjadi calon ketua umum partai atau kepala daerah dan calon presiden. Dengan cara ini pula siapa pun boleh saja berpolitik, termasuk anak ketua umum parpol atau anak presiden, tetapi mereka harus melewati proses penyaringan secara berjenjang seperti yang terjadi di birokrasi.
Selain itu, diperlukan dukungan dan dorongan civil society melalui pressure imperative-nya agar semua pemangku kepentingan terkait demokrasi, khususnya pemilu dan pilkada (parpol) menaati semua aturan main dan siap menerima hukuman kalau melanggar. Memperbanyak jumlah relawan demokrasi/pemilu untuk mengawal semua demokratisasi/proses pemilu agar distorsi pemilu/pilkada dapat dikurangi.
Baca juga: Sepinya Masyarakat Sipil
Kampus mestinya menjadi garda terdepan pencerah bagi rakyat dan pendorong peningkatan kualitas demokrasi. Civil society diharapkan ikut menjadi watch dog (penjaga moral) dan berperan penting dalam mencegah berkembangnya dinasti politik dan maraknya tindakan korupsi di Indonesia.
Sudah saatnya civil society membangun kekuatan baru pencegah meluasnya korupsi dan dinasti politik melalui jejaring antar-LSM dan akademisi sebagai simpul utamanya.
Penutup
Pemilu/pilkada yang demokratis dan berkualitas merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, pemilu diharapkan bisa memunculkan pemimpin yang inovator, yang mampu menginovasi kualitas pelayanan publik dan juga memberikan dampak positif terhadap pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, desain/mekanisme dan praktik pemilu/pilkada harus mempertimbangkan implikasinya terhadap pemerintahan, masyarakat, dan keutuhan negara/persatuan Indonesia. Pemilu/pilkada semestinya mampu menghasilkan pemimpin yang amanah yang memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memajukan dan menyejahterakan rakyat, yaitu sosok pemimpin yang mumpuni, berkarakter, dan bertipe negarawan yang mampu memajukan rakyat, bukan penguasa yang hanya merugikan rakyat.
R Siti Zuhro, Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)