Taksonomi Berkelanjutan Indonesia untuk Upaya Berkelanjutan
Taksonomi berkelanjutan Indonesia menyeimbangkan lingkungan, sosial, dan ekonomi serta mendorong upaya transisi model bisnis.
Oleh
HANS KWEE
·3 menit baca
Selama lebih kurang 15 tahun terakhir Laporan Risiko Global dari Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) telah memperingatkan dunia tentang bahaya pandemi Covid-19. Pada 2020, pandemi benar-benar terjadi dan semua melihat dampaknya karena telah mengabaikan persiapan dan risiko jangka panjangnya.
Pandemi Covid-19 telah membawa dampak besar berupa pengorbanan jutaan jiwa, dampak pada kesehatan, serta memperlebar kesejahteraan dan digitalisasi. Dampak pandemi sebenarnya masih terasa sampai saat ini di mana sebagian bisnis belum benar-benar pulih, perekonomian banyak negara masih menghadapi inflasi tinggi, dan perlambatan ekonomi. Perubahan gaya hidup yang dipercepat pandemi juga berakibat pada beberapa sektor bisnis di mana ada sektor yang diuntungkan, ada juga yang tidak.
Pada saat pandemi masih berlangsung, beberapa pemimpin dunia memperingatkan ada risiko di masa yang akan datang, risiko itu jauh lebih besar dengan probabilitas yang sangat tinggi. Risiko itu adalah perubahan iklim (climate change) di mana probabilitas dan dampak risiko ini paling tinggi. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, kita melihat bagaimana seluruh dunia bekerja sama dan bersama-sama berjuang mengatasi masalah tersebut sehingga dalam waktu satu tahun vaksin sudah tersedia dan didistribusikan ke berbagai wilayah sehingga dunia dapat cepat keluar dari pandemi.
Saat ini dunia bersatu menghadapi risiko perubahan iklim. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) sebagai kumpulan tujuan global untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet, dan memastikan kemakmuran untuk semua orang. Indonesia juga tidak tinggal diam. Pada 2013, Pemerintah Indonesia meluncurkan rencana aksi nasional untuk pembangunan berkelanjutan yang mencakup 26 prioritas nasional dan 200 tindakan konkret untuk mencapai SDGs. Pemerintah Indonesia telah memulai berbagai inisiatif untuk mendukung SDGs, seperti program pengurangan kemiskinan, program pemulihan ekonomi berkelanjutan, dan program aksi iklim.
Melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dan menyampaikan komitmen atas upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam Paris Agreement telah ditetapkan tujuan jangka panjang untuk menjaga peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius dan berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat celsius. Komitmen setiap negara dalam Paris Agreement dituangkan dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (dokumen NDC) bahwa setiap negara harus mampu mengupayakan pengurangan emisi nasional dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Beberapa waktu terakhir ini di berbagai wilayah di dunia mulai merasakan perubahan iklim di mana suhu udara di atas 37 derajat celsius benar-benar tidak nyaman bagi orang yang beraktivitas di luar ruangan. Di satu negara, suhu yang mencapai 42 derajat celsius menyebabkan puluhan orang meninggal. Artinya, perubahan iklim telah menjadi sebuah risiko yang dampaknya sangat tinggi.
Sejalan dengan tujuan PBB dan kebijakan Pemerintah Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama kementerian/lembaga terkait berperan aktif, salah satunya dengan menerbitkan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) Edisi 1.0 pada 2022 yang merupakan klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya dan tujuan berkelanjutan. Sektor jasa keuangan (SJK) sangat berperan dalam pembangunan berkelanjutan lewat alokasi pembiayaan atau investasi.
Sektor jasa keuangan berperan penting untuk mempercepat penerapan aktivitas ekonomi yang berdampak positif terhadap lingkungan dalam membangun perekonomian yang lebih tangguh sehingga dibutuhkan pemahaman yang sama mengenai kategori kegiatan usaha melalui THI. Ini arti penting THI yang disusun OJK karena dapat memberikan pemahaman lebih baik dan memudahkan bagi SJK dalam mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan portofolio produk dan/atau jasa keuangan.
Di tingkat global, otoritas keuangan telah mengembangkan taksonomi hijau atau panduan terkait apa saja yang didefinisikan sebagai aktivitas hijau atau aktivitas berkelanjutan.
Taksonomi Hijau Indonesia diharapkan dapat membantu SJK dalam proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing). Di tingkat global, otoritas keuangan telah mengembangkan taksonomi hijau atau panduan terkait apa saja yang didefinisikan sebagai aktivitas hijau atau aktivitas berkelanjutan. Artinya, langkah OJK ini telah sejalan dengan arah kebijakan industri keuangan global, sejalan dengan dinamika dan arah kebijakan industri keuangan global yang menjadikan taksonomi hijau menjadi salah satu upaya untuk mendorong kontribusi SJK terhadap upaya berkelanjutan.
Taksonomi Hijau Indonesia versi satu baru mencakup soal lingkungan. OJK berencana mengkinikan THI menjadi Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) yang menyeimbangkan tiga aspek, yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi serta mendorong upaya transisi. Artinya, ada sektor tertentu yang melakukan proses transisi model bisnis agar dapat menuju kriteria hijau.
Beberapa waktu sebelumnya OJK juga menerbitkan aturan dan meresmikan Bursa Karbon yang menurut kami adalah bagian dari proses transisi sebuah perusahaan memperbaiki batas emisi karbon. Selain itu, TBI juga akan dilengkapi kriteria kuantitatif, termasuk emisi karbon untuk memperjelas batasan antarklasifikasi, meminimalkan multitafsir, greenwashing, serta mendorong upaya menuju net zero pathway Indonesia.
Fokus sektor pertama yang akan dikembangkan dalam TBI adalah sektor energi dengan tujuan utama untuk mendorong transisi energi di Indonesia. Terdapat beberapa aktivitas usaha di sektor energi seperti pembangkitan tenaga listrik dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta aktivitas percepatan pengakhiran masa operasional PLTU (early retirement) yang akan masuk dalam TBI. Lebih lanjut, terdapat pula dinamika global yang mendiskusikan peran penting beberapa aktivitas upstream dan mid-stream yang mendorong transisi energi, termasuk critical minerals dalam mencapai ekonomi yang berkelanjutan dan mengejar target dekarbonisasi.
Menurut hemat kami, aktivitas upstream dan mid-stream tersebut tetap perlu didukung serta dimasukkan dalam taksonomi dengan kriteria yang ketat dan periode waktu tertentu, mengingat peranannya yang vital dan masih menjadi tulang punggung untuk pembangunan infrastuktur dan energi bersih serta perekonomian di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan untuk mendorong investasi menjadi hal yang perlu kita pertimbangkan bersama agar target transisi energi dapat berjalan dengan baik dan pencapaian target dekarbonisasi tidak menjadi ”jauh panggang dari api”.
Penetapan kriteria TBI harus berbasis sains untuk menjaga kredibilitas dan interoperabilitas karena taksonomi akan menarik investasi baik dari global dan nasional. Pada gilirannya, taksonomi diharapkan dapat menyeimbangkan kebijakan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional serta stabilitas perekonomian. Ini adalah salah satu upaya bersama sektor jasa keuangan untuk melindungi planet dan mencegah kerugian dan risiko yang besar di masa depan.