Sesudah tiga dekade lebih, inilah karya yang ditunggu-tunggu pemerhati sejarah Indonesia sebagai lanjutan karya indonesianis Takashi Shiraishi sebelumnya, An Age in Motion, Popular Radicalism in Java, 1912-1926, 1990. Buku yang berasal dari disertasi Shiraishi itu membongkar asumsi-asumsi historiografi tradisional yang memisahkan pergerakan nasional atas dasar ideologi (dan ras), sekaligus menunjukkan zaman itu lebih hidup, ”bergerak”, mengolah konsepsi dan metode baru yang belum pernah ada sebelumnya, seperti orasi, ”vergadering”, ”rally”, dan demonstrasi.
Buku tersebut mendudukkan penulisnya sebagai sejarawan terkemuka studi Asia Tenggara pada zaman itu. Hebatnya, di tengah kesibukannya sebagai mahaguru, dia masih rajin memublikasikan berbagai tulisan, seperti Reading Southeast Asia, Approaching Soeharto’s from Margins dan kerusuhan anti-Tionghoa di Jawa dekade 1910-an dalam Anti-Sinicism in Java’s New Order.
Dalam buku baru ini, Shiraishi menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial Hindia Belanda mengendalikan gerakan kebangsaan supaya tidak mengguncangkan rust en orde kolonial. Ada tiga cara yang dipakai pemerintah kolonial, yakni pertama, dan paling tidak penting adalah volksraad dan dewan-dewan kabupaten yang dibentuk sebagai saluran atas tekanan politik.
Yang kedua adalah pembungkaman, pengasingan, dan penyingkiran kekuatan politik nasionalis dengan menyokong ”kelompok tandingan”. Yang ketiga dan paling efektif adalah pemolisian dan pengendalian gerakan kebangsaan (hlm 18-19). Buku ini berfokus pada strategi terakhir sehingga lainnya hanya dibicarakan sekilas.
Dalam buku baru ini, Shiraishi menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial Hindia Belanda mengendalikan gerakan kebangsaan supaya tidak mengguncangkan rust en orde kolonial.
Volksraad dan dewan-dewan kabupaten/kota, misalnya, hanya saluran politik terbatas dan tidak bertaji. Lembaga ini mulai berdiri pada 1918 dengan jumlah anggota 39, separuhnya dipilih oleh dewan karesidenan dan kotamadya, dan sisanya dipilih gubernur jenderal. Keanggotaannya berdasarkan ras. Awalnya 15 bumiputra, dan 23 orang ”Eropa” dan ”Timur Asing” (hlm 19). Kewenangannya sangat terbatas. Walaupun tidak disinggung di sini, perlu disebutkan bahwa persidangan dalam dewan yang tidak bertaji ini dilakukan dalam bahasa Belanda sehingga sulit bagi seseorang—baik bumiputra maupun Timur Asing—yang tidak fasih berbahasa Belanda untuk terlibat dalam persidangannya. Pernah diusulkan MH Thamrin untuk menggunakan bahasa Melayu dalam persidangan, tetapi usulan ini tidak digubris.
Dalam buku ini, Shiraishi menunjukkan bahwa zaman akhir 1920-an bukanlah zaman normal dan tertib, di mana negara menjadi Beambtenstaat—konsepsi HJ Benda tentang negara kolonial Hindia Belanda sebagai mesin birokrasi yang ”apolitis”. Sebab, zaman ”normal” dan ”tertib” itu dibentuk dengan mengerdilkan masalah nasionalisme sebagai masalah ketertiban. Masalah polisi. Akibatnya, banyak kalangan awam menyamakan politik dengan polisi.
Ada enam bab dalam buku ini. Bab 1-3 menyoroti politik Digul sebagai salah satu komponen rezim politik pemolisian berikut perangkatnya. Usaha modernisasi dan perluasan sistem kepolisian tersebut dijalankan dengan sistematis sesudah kegagalan pemberontakan PKI pada tahun 1926-1927. Pemerintah mengasingkan 1.300 orang yang dianggap komunis ke Digul untuk meredam pengaruh mereka terhadap masyarakat kolonial lainnya.
Dalam koloni Digul, pihak berwenang mengklasifikasikan tahanan dalam tingkatan tertentu—yang bisa diajak kerja sama akan mendapat fasilitas dan kebebasan lebih, sedangkan yang menolak akan mendapatkan pengucilan ke kamp interniran di Tanah Tinggi, daerah yang terletak beberapa puluh kilometer dari Digul dengan medan yang lebih berat dan sukar. Tanah Tinggi adalah sebuah ”Digul lain” di dalam Digul yang berlokasi di belantara Papua. Digul juga berfungsi sebagai aparatus dan metafora yang menentukan patokan antara peradaban (normal) dan hutan belantara (abnormal).
Ilustrasi
Bab 4-6 berfokus pada perkembangan rezim kepolisian kolonial berikut implikasinya terhadap gerakan kebangsaan Indonesia. Strategi pemolisian yang keras memicu perdebatan luas di dalam Pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sesudah bertahun-tahun penghancuran PKI, hantu komunisme terus menghantui pemerintah kolonial Hindia Belanda sehingga mereka semakin mempersempit medan perjuangan gerakan kebangsaan meskipun berbagai gerakan tersebut cenderung konstruktif. Lebih khusus, pemerintah kolonial berusaha melumpuhkan berbagai organisasi yang mempunyai kecenderungan ”revolusioner” secepat mungkin dengan harapan menghilangkan potensi ancaman.
Pembatasan terhadap perkumpulan, media cetak, dan organisasi sosial pendidikan semakin membuyarkan batas-batas antara apa ”yang boleh” dan apa ”yang tidak boleh”. Ketika pemerintah kolonial terus-menerus membuang aktivis pergerakan kebangsaan ke Digul, maka persamaan ”politik” sama dengan ”polisi” menjadi semakin mengakar dalam imajinasi masyarakat awam. Anehnya, generasi baru yang muncul di kemudian hari justru berpengalaman dalam pengorganisasian kegiatan-kegiatan bawah tanah. Pengalaman tersebut memungkinkan mereka menghindari pengawasan polisi sebagaimana kelihatan pada beberapa tokoh, misalnya Adam Malik, Sayuti Melik, Wikana, dan satu-satunya perempuan, SK Trimurti.
Shiraishi seakan-akan beranggapan bahwa sejarah gerakan kebangsaan Indonesia hanya hasil kerja kalangan bumiputra (dan berjenis kelamin pria) tanpa bantuan pihak lain, seperti golongan Tionghoa dan Indo. Sebetulnya peranakan Tionghoa berperan dalam gerakan kebangsaan Indonesia di penggal kedua dasawarsa 1930-an. Dengan segala sumber daya mereka, terutama surat kabar, dana, aset, dan jaringan, kalangan (peranakan) Tionghoa bisa diibaratkan sebagai ”pemain cadangan” gerakan kebangsaan Indonesia.
Sebetulnya peranakan Tionghoa berperan dalam gerakan kebangsaan Indonesia di penggal kedua dasawarsa 1930-an.
Ketika nama bangsa (dan kemerdekaan) Indonesia masih lamat-lamat terdengar, sehabis dirumuskan Perhimpunan Indonesia pada 1924 di Belanda, maka Soeara Publiek, surat kabar Tionghoa di Surabaya, setahun kemudian sudah mengumumkan dengan resmi akan mengganti sebutan ”Hindia Belanda” dengan ”Indonesia” dan ”Bumiputera” dengan ”Indonesier” (Soeara Publiek, 2 Januari 1926). Dua-tiga tahun sebelum Sumpah Pemuda. Dengan ini, maka abstraksi bangsa yang bernama ”Indonesia” mulai sedikit terbayangkan.
Ketika partai kebangsaan Indonesia semakin terjepit, sebagian Tionghoa peranakan di Surabaya justru tampil dengan membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang jelas mendukung kemerdekaan Indonesia, 1932, dan meminjamkan markas mereka, Gedung Nanyang Societeit, sebagai tempat kongres di Surabaya (Pemandangan, 22 April 1933). Namun, mungkin juga, seperti halnya perempuan (yang hanya ”diwakili” SK Trimurti), hal-hal seperti itu dianggap terlalu kecil dan tidak penting untuk kanvas pergerakan kebangsaan Indonesia yang besar.
Baca juga : Memahami Revolusi Kemerdekaan dengan Perspektif Kritis
Arief W Djati, Penulis adalah Pemerhati Sejarah
INFO DATA
Judul: Dunia Hantu Digul, Pemolisian sebagai Strategi Politik di Indonesia Masa Kolonial, 1926-1941
Penulis: Takashi Shiraishi
Penerjemah: Jafar Suryomenggolo
Penerbit: Insist Press
Tahun terbit: Cetakan I, 2023
Tebal: xviii + 430 halaman
ISBN: 978-623-6179-18-5