Gaza, Israel, dan Jalan Buntu
Kalau Israel mau hidup damai, harus bersedia berunding dengan otoritas Palestina, dan Tepi Barat mendapat kemerdekaan.
Sudah sebulan sejak Hamas secara mendadak menyerang Israel.
Dua ribu roket mereka tembakkan ke Israel. Ribuan pejuang Hamas selama sehari membabi buta di Israel, melakukan kekejaman yang tak bisa dibenarkan terhadap laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka, antara lain, membunuh sekitar 250 pemuda/pemudi tak bersenjata yang mengikuti sebuah festival.
Israel terkena shock. Israel teringat pada apa yang dialami bangsa Yahudi 80 tahun sebelumnya oleh SS, pasukan khusus Adolf Hitler. Mereka pun membalas dengan memukul balik. Hal yang tentu sudah diantisipasi oleh Hamas. Bahwa pasti akan ada banyak korban jatuh di Gaza.
Dan, seperti sudah diantisipasi, jumlah warga Gaza yang tewas terus bertambah. Tak mungkin menyerang Gaza yang kecil dan padat penduduk tanpa warga sipil tak berdosa menjadi korban. Rumah sakit pun terkena, dan tempat pengungsi berkumpul juga tak luput menjadi sasaran.
Mengutuk Israel dan Hamas
Saat catatan ini ditulis, sudah lebih dari 9.000 warga sipil tewas di Gaza. Maka, protes terhadap Israel pun bermunculan. Bukan hanya di dunia Islam. Masyarakat dari berbagai belahan dunia juga mengutuk serangan Israel tersebut. Sejumlah negara memutus hubungan diplomatik.
Greta Thunberg, dengan organisasi Fridays for Future-nya, dengan keras juga ikut memprotes Israel. Tentu para sahabat Palestina di Indonesia juga tidak mau ketinggalan.
Andai kata pemerintahan Benjamin Netanyahu dan militer Israel tidak lalai, Hamas tentu tak bisa melakukan serangannya.
Memprotes Israel memang mudah. Namun, protes itu kehilangan marwahnya apabila perbuatan biadab Hamas tidak dikutuk juga. Sementara itu, operasi Israel ke Gaza juga berlangsung terus. Argumentasi Israel adalah Hamas harus dimusnahkan untuk selamanya.
Dengan demikian, jatuhnya korban di pihak warga sipil atau collateral damage tidak bisa dihindari.
Namun, di sini Israel harus ditanya: siapa yang memberikan hak kepada mereka untuk memusnahkan Hamas? Andai kata pemerintahan Benjamin Netanyahu dan militer Israel tidak lalai, Hamas tentu tak bisa melakukan serangannya. Hamas tentu bisa dibendung dengan kewaspadaan militer biasa.
Dengan sudah 9.000-an warga Gaza tewas, justifikasi serangan balik Israel pun memudar. Pembalasan sudah tercapai. Protes-protes pro-Palestina yang menuntut agar diadakan gencatan senjata sudah benar. Dan gencatan senjata ini harus diteruskan dengan perundingan.
Namun, berunding yang bagaimana? Di sini muncul masalah yang merupakan latar belakang amat serius ketegangan sekitar Israel. Latar belakang yang juga perlu disadari oleh para sahabat Israel, yaitu Israel tidak mau berunding. Bukan hanya dengan Hamas yang memang juga tidak mau berunding, melainkan juga dengan pihak Palestina.
Sudah lebih dari 20 tahun Israel tidak menunjukkan keseriusan untuk berunding dengan Palestina. Pimpinan Palestina di Tepi Barat bukan pendukung Hamas. Namun, Israel tak pernah bersedia memberi suatu visi ke depan kepada Palestina. Apalagi di era pemerintahan Netanyahu, dengan pemerintahan baru yang ekstrem kanan semifasis.
Secara sederhana, kapan Israel akan memberikan kemerdekaan kepada Palestina, di wilayah Tepi Barat?
Eksistensi Israel tidak lagi dipersoalkan. Sama dengan eksistensi sekian negara pascakolonialisme di Afrika dan Asia dengan batas-batas yang ditarik dengan kayu penggaris.
Saat ini, semakin banyak negara Arab yang sudah mengakui Israel secara diplomatik atau berada dalam proses pengakuannya, misalnya Mesir, Jordania, Sudan, Maroko, Uni Emirat Arab (UAE), dan Bahrain.
Akan tetapi, dalam Perang Enam Hari tahun 1967, Israel menduduki Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) di Suriah, jazirah Sinai, dan Tepi Barat, yang sebelumnya bagian dari Jordania. Sinai dikembalikan kepada Mesir. Namun, Palestina di Tepi Barat (dan Golan) sejak saat itu diduduki oleh Israel.
Daripada mengusahakan perdamaian dengan Palestina— sebagaimana Israel berhasil mencapai perdamaian lestari dengan Mesir lewat pengembalian Sinai—Israel malah memilih mendukung permukiman- permukiman Yahudi di tengah wilayah Palestina.
Dewasa ini sudah ada sekitar 600.000 orang Yahudi dalam permukiman-permukiman itu. Pemerintahan Netanyahu juga terus mendorong pembukaan permukiman-permukiman baru yang dihuni orang-orang yang ekstrem anti-Arab.
Orang-orang Palestina tidak dianggap, seolah bisa tunduk begitu saja. Itulah latar belakang ketegangan seputar Israel dan Palestina.
Tanggung jawab Israel
Penindasan Israel terhadap Palestina tidak membenarkan tindakan biadab Hamas (yang di Palestina pun tidak resmi didukung). Akan tetapi, bahwa tak ada rekonsiliasi antara Israel dan Palestina, itu adalah tanggung jawab Israel. Juga tanggung jawab negara-negara yang mendukung Israel.
Justru para pendukung Israel seharusnya mendesak Israel agar membuka diri terhadap tuntutan kemerdekaan orang-orang Palestina. Kalau Israel mau hidup dalam damai, Israel harus bersedia berunding dengan otoritas Palestina dengan tujuan bahwa Palestina, yaitu Tepi Barat (Westbank), mendapat kemerdekaan.
Kalau Israel mau hidup dalam damai, Israel harus bersedia berunding dengan otoritas Palestina dengan tujuan bahwa Palestina, yaitu Tepi Barat (Westbank), mendapat kemerdekaan.
Sekali lagi, Israel berhak memastikan bahwa sesuatu seperti shoa—pembunuhan sistematis terhadap orang Yahudi oleh Nazi-Jerman—tidak pernah terulang lagi. Namun, itu hanya akan mungkin apabila Israel bersedia memberikan kemerdekaan kepada Palestina.
Pemecahan ”masalah Palestina” tidak akan tercapai dengan menolak eksistensi Israel, tetapi dengan menyerukan agar Israel berunding dengan Palestina. Teror ala Hamas tidak pernah dapat diterima.
Baca juga : Konflik Palestina-Israel
Franz Magnis-SusenoGuru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara