Apa lantas JFW ke-16 penuh perenungan muram tanpa emosi perayaan? Tentunya tidak. Aksi teatrikal pun hadir melalui desain berteknik origami yang dibisa dicopot dan berganti fungsi.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·4 menit baca
Pada 2020-2022, saat dunia masih tercekam pandemi dan bertahap membuka diri, saat kehidupan terkonsentrasi di rumah dan komunitas terdekat, siluet mode berubah menjadi lebih longgar, santai, bahkan cenderung tak membedakan antara busana rumah dan bepergian. Kenyamanan pribadi menang dibanding gaya demi penilaian orang.
Tahun ini perbatasan sudah dibuka, masker jarang dikenakan, dan publik haus bepergian. Namun, menariknya, pada Jakarta Fashion Week (JFW) ke-16 yang tertangkap mata saya, prinsip kenyamanan masih nyata walau dikemas lebih bergaya. Para desainer dan jenama muda, yang mungkin tak lagi terjebak pehamanan bahwa mode harus meledak mencengangkan, atau didefinisikan gaun malam dengan payet berjuntaian, terlihat yang paling memahami ini. Pilihan mode lebih membumi.
Jenama casual populer seperti Cotton Ink, 3 Mongkis, Callie, pun pemain baru Kala Studio, menawarkan blus, kemeja, rompi, rok, celana dan jaket yang mudah dikombinasikan untuk bersantai dan bekerja. Cotton Ink bermain dengan ilustrasi, 3 Mongkis menawarkan lipit, Kala Studio menyuguhkan monokrom klasik, sedang Callie menyodorkan denim berwarna metalik. Menyaksikan tribune yang dipenuhi pelanggan setia yang mengenakan jenama-jenama ini dan arus pembeli di lokasi ritel JFW, saya teringat tahun-tahun awal pekan mode Indonesia saat selera domestik masih terpaku pada jenama asing. Dari sisi mengenalkan mode lokal yang mumpuni, pekan mode seperti JFW sudah berhasil.
Bebas dari jebakan serba tumpuk atau banjir aplikasi dalam kategori busana santun, IKYK menampilkan koleksi bersiluet ringan dan kekinian, tetap santun walau dipakai tanpa kerudung. Antena mode IKYK diimbangi antena sosialnya, terlihat dari pesan pendek ”Free Palestine” di layar di awal dan lambaian bendera kecil Palestina di tangan desainer Anandia Putri Harahap di akhir pergelaran.
Pendekatan kontemporer yang membumi juga hadir pada desain berbahankan wastra. Didiet Maulana, yang lama bergulat dengan tenun ikat, menawarkan koleksi cantik namun rileks dan mudah dikenakan, arahan kreatif berbeda dengan lini kebaya pesanannya yang taat pakem konvensional. Studio Jeje, bekerja sama dengan Dekranasda NTT tahun ini, cerdas meramu siluet dan elemen modern dengan tenun tradisional sehingga koleksi yang digelar begitu segar dan kontemporer, bisa menarik pasar yang tak kenal wastra Indonesia. Misi promosi Indonesia gemar membawa wastra ke forum dunia, dan saya paham argumen kultural dan bisnis di baliknya, tetapi bila memang dimaksudkan menangguk order ekspor, desain kontemporer seperti inilah, bukan sarat wastra sebadan, yang harus dikedepankan.
Bagaimana dengan jenama Indonesia yang sudah merambah ke pekan mode dunia? SeanSheila, yang hadir di Paris Fashion Week tahun lalu melalui salahsatu misi promosi Pemerintah, konsisten menelurkan koleksi yang kosmopolitan. Kemewahan disajikan SeanSheila melalui pemilihan bahan dan kualitas pengerjaan, bahkan untuk sebuah jaket bersiluet sederhana. Berkarya dari Purbalingga dan mempekerjakan tim penjahit difabel, sebuah kepedulian sosial nyata selain isu perusakan Bumi yang beberapa kali mereka sampaikan melalui desain. Tahun ini, kain ramah Bumi seperti viscose, katun bambu dan nilon dari sampah laut dipakai sebagai materi pembangun koleksi.
Kepedulian pada Bumi diwujudkan Byo dalam koleksi tas, sandal, dan pakaian yang menggunakan kulit dan kain bekas, dikombinasikan dengan material seperti PVC. Mengingat koleksi di tahun-tahun awal yang cenderung ringkih, senang sekali menyaksikan kegigihan Byo untuk terus berinovasi memperbaiki kualitas material di balik desain penuh gaya yang punya tempat dalam percaturan aksesori dunia.
Sejauh Mata Memandang (SMM) yang dimotori Chitra Subyakto, pribadi yang dikenal peduli lingkungan dan lebih senang dikenal sebagai seniman kain ketimbang desainer pakaian, menelurkan koleksi denim pertamanya. Benang yang dipintal dari pendaurulangan baju bekas dan benang katun yang diwarnai serat alam membentuk denim, salahsatu jenis pakaian yang proses produksi skala industrinya paling menuai kecaman karena menguras banyak air.
Eksplorasi kain juga dilakukan oleh Rama Dauhan, desainer yang lama malang-melintang di dunia mode Indonesia, untuk koleksi perdananya di Dewi Fashion Knights di penghujung JFW. Crinoline, kain kaku bertekstur yang umumnya menggembungkan rok dari dalam, dipasang di luar sebagai materi utama. Kain korden memberikan keindahan melalui renda, salahsatu elemen khas desain Rama. Disajikan dalam palet hitam-putih dengan iringan lagu Imagine, menggugah hadirin sejenak ingat di luar panggung anggun ini, dunia sedang dilanda prahara keji.
Bisnis ritel mode belum sepenuhnya pulih seperti pra-pandemi, dan selera mode cukup bergeser pascapandemi, tetapi sebagai wahana yang selalu berikhtiar menggelar desain terbaik dari talenta lokal untuk pasar domestik dan asing, JFW ke-16 tetap perlu diperhitungkan.
Apa lantas JFW ke-16 penuh perenungan muram tanpa emosi perayaan? Tentunya tidak. Danjyo Hiyoji, jenama yang sejak awal dikenal dengan keriaan streetwear dan derap urban, memenuhi runway dengan model pria dan wanita dalam desain nyaris uniseks dari denim, juntaian tali dan motif patchwork. Studio Moral, jenama yang dikomandoi Andandika Surasetja, Direktur Kreatif JFW 2 tahun terakhir, menghadirkan fantasi pemotor sexy dengan bahan kulit, warna metalik, potongan mini atau bergaris pinggul yang menunjukkan perut, dan rumbai menerawang.
Aksi teatrikal pun hadir melalui desain berteknik origami yang dibisa dicopot dan berganti fungsi khas Albert Yanuar di awal JFW, yang amat saya nikmati dari tribune media, dan drama gelap kematian sebelum benderang sinar yang dihadirkan melalui Mahija dan Hian Tjen di akhir JFW. Tak bisa memirsa langsung pergelaran penutup JFW karena harus menghadiri acara seni di negara jiran, saya menonton melalui Instagram Live sambil menunggu masuk pesawat, dan dari layar gawai pun saya bisa merasakan dramanya.
Bisnis ritel mode belum sepenuhnya pulih seperti pra-pandemi, dan selera mode cukup bergeser pascapandemi, tetapi sebagai wahana yang selalu berikhtiar menggelar desain terbaik dari talenta lokal untuk pasar domestik dan asing, JFW ke-16 tetap perlu diperhitungkan. Sempat berkenalan dan duduk bersebelahan dengan beberapa business buyer mancanegara, saya kutip cetusan mereka, bahwa bukan saja mereka tidak mengira Indonesia punya desain mode modern sekelas ini, mereka menyayangkan baru tahu saat ini. Sebagai penulis yang harus bekerja imparsial, tetapi tetap warga negara dengan sepercik patriotisme di dada, malam itu tersimpul bangga senyum di wajah saya.