Perkembangan JKN pada dasarnya mengabaikan dimensi informalitas yang sudah mendarah daging dalam keseharian masyarakat.
Oleh
TAUCHID KOMARA YUDA
·4 menit baca
Kompas dalam tajuk rencana ”Ancaman Defisit JKN-KIS” (6/11/2023) mengangkat masalah defisit pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN-KIS). Beberapa solusi diusulkan, mulai dari penguatan upaya preventif hingga meningkatkan jumlah premi yang harus dibayar masyarakat untuk mengompensasi biaya kesehatan yang terus membengkak.
Memang benar tingginya kasus penyakit katastropik menjadi penyumbang terbesar biaya kesehatan dan kasus defisit secara bersamaan. Namun, kita juga tidak memungkiri sebab lain yang sumbernya ada pada masyarakat yang hanya membayar iuran ketika jatuh sakit. Meskipun JKN telah berhasil mencakup sekitar 257 juta peserta atau sekitar 94,9 persen pada 2023, sistem JKN masih mengalami kesulitan administratif dalam merekrut peserta yang secara aktif mengiur premi.
Untuk memahami alasan perilaku sebagian masyarakat yang demikian itu, pembuat kebijakan tidak bisa hanya mengandalkan solusi administratif. Penting untuk mengetahui akar permasalahan yang jarang dibahas ini: kesenjangan antara rasionalitas kebijakan JKN yang memandang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat industri (industrialized society) dan rasionalitas masyarakat kita yang pada dasarnya bersifat komunal.
Dalam masyarakat industri, struktur pekerjaan biasanya berada di sektor formal dan pendapatannya tetap sehingga memungkinkan individu membayar pajak atau iuran jaminan sosial secara teratur. Berbeda dengan masyarakat komunitarian di negara berkembang yang pemenuhan kebutuhan bulanannya relatif sulit diprediksi. Jangankan berpikir iuran bulanan JKN, untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari pun tidak menentu.
Contoh paling jelas ada dalam masyarakat pertanian yang sering mengalami situasi gestation period. Istilah tersebut mengacu pada jangka waktu sementara (umumnya dua bulan) di mana petani hidup tanpa penghasilan hingga musim panen tiba. Kondisi ini berimplikasi pada cara pandang petani terhadap ”risiko sosial” yang terkonstruksi hanya terjadi pada masa-masa tertentu.
Kondisi ini berbeda dengan yang pemahaman masyarakat industri, yang memiliki kecenderungan berada di situasi genting sepanjang waktu, mulai dari berangkat kerja sampai pulang. Rutinitas seperti ini terjadi setidaknya lima hari dalam seminggu, dan pada gilirannya, membentuk perspektif mereka terhadap risiko sosial, yang mereka anggap sebagai ancaman seumur hidup. Yang darinya, gagasan dan praktik negara kesejahteraan pada akhirnya berjalan berkelindan.
Jaminan sosial informal
Patut dicatat bahwa adanya pandangan seperti itu di kalangan masyarakat petani dan sektor informal pada umumnya tidak berarti kurangnya pengetahuan mereka. Saya yakin semua orang ingin diikutsertakan dalam JKN. Namun, kendala utama muncul karena ketidakmampuan mereka untuk membayar iuran rutin sehingga memaksa mereka untuk membayar premi sesuai dengan sistem produksi ekonomi mereka.
Karena ketidakmampuan mereka untuk membayar iuran rutin, banyak pekerja sektor informal bergantung pada jaminan sosial informal yang melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalnya, jika seorang petani jatuh sakit, masyarakat sekitar biasanya memberikan dukungan dalam bentuk uang tunai sehingga mereka dapat mengakses layanan kesehatan terdekat, atau setidaknya menghindari risiko berkurangnya pendapatan karena tidak pergi ke sawah atau kebun. Konsekuensinya, mereka akhirnya lebih terbiasa mengatasi hampir seluruh urusan yang berkaitan dengan kesejahteraannya dengan mengandalkan sistem gotong royong yang ada di lingkungan tempat mereka tinggal.
Karena ketidakmampuan mereka untuk membayar iuran rutin, banyak pekerja sektor informal bergantung pada jaminan sosial informal yang melekat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Persoalan lainnya, dilansir dari Kompas (6/11/2023), jenis penyakit semakin beragam dan mahal. Tanpa dukungan seluruh masyarakat, kemampuan negara dalam memberikan layanan kesehatan terbaik bagi semua orang terpaksa menurun. Selain itu, sektor informal yang merupakan segmen penduduk terbesar di Indonesia belum mampu memberikan kontribusi maksimal kepada negara karena sistem JKN justru lebih ramah bagi mereka yang bekerja di sektor formal.
Karakteristik lain dari masyarakat industri adalah bahwa keterhubungan sosial difasilitasi oleh pihak ketiga, bukan faktor geografis, norma budaya, atau kepercayaan bersama. Contohnya dapat ditemukan di sebagian besar masyarakat Eropa dan sebagian Asia Timur saat ini, di mana sebagian besar bantuan, termasuk dalam bidang kesehatan, didistribusikan melalui layanan publik atau pasar daripada jaringan kekerabatan mereka yang kini sudah hampir tidak bisa diandalkan.
Bahkan, saat tes kewarganegaraan di Belanda, seorang rekan yang pernah tinggal di Amsterdam pernah bercerita kepada saya bahwa ada pertanyaan siapa yang harus dihubungi jika ada tetangga yang mengalami kemalangan. Menariknya, jawaban yang disampaikan adalah menghubungi polisi, atau rumah sakit jika kasusnya adalah masalah kesehatan, bukan justru menolongnya. Hal ini juga berlaku di Hong Kong, tempat saya tinggal saat ini. Sulit mengharapkan bantuan dari masyarakat sekitar saat mengalami masalah.
Pengalaman ini jelas berbeda dengan masyarakat komunitarian yang belum banyak mengalami defisit modal sosial sehingga memungkinkan urusan tolong-menolong tetap ”diproduksi” dalam jaringan sosial masyarakat. Situasi seperti ini berimplikasi pada praktik kesejahteraan sebagian masyarakat kita yang lebih memilih untuk tetap berpegang pada sistem tradisional mereka, seperti menjenguk orang sakit yang menjadi tradisi di Jawa, yang mereka anggap mempunyai manfaat langsung yang bisa dirasakan. Selain manfaat, sanksi sosial seperti pengucilan sosial juga dapat dirasakan secara langsung jika individu dalam masyarakat komunal kedapatan absen mengunjungi tetangganya saat sakit.
Sayangnya, aturan main dalam masyarakat komunal kita tidak sepenuhnya terwakili dalam sistem pooling risk pada JKN yang cakupannya nasional. Terlebih lagi, konsekuensi dari tidak mengikuti JKN tidak secara langsung terasa pada kehidupan sosial individu. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa perkembangan JKN pada dasarnya ahistoris dan mengabaikan dimensi informalitas yang sudah mendarah daging dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Penulis berharap agar tulisan sederhana ini dapat mendorong pemikiran ulang terhadap pemahaman kita tentang JKN, yang tidak hanya idenya, tetapi praktiknya cenderung berakar pada sistem yang sangat berbeda dengan masyarakat Indonesia. Tanpa kontekstualisasi yang tepat, sistem JKN yang ada saat ini dikhawatirkan akan sulit memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat.
Oleh karena itu, menjadikan JKN lebih sesuai dengan cara berproduksi masyarakat di berbagai sektor, khususnya sektor informal, dapat menjadi cara strategis untuk mendorong partisipasi ”aktif” masyarakat dalam sistem. Hal ini dapat dicapai, misalnya, dengan menyesuaikan iuran premi dengan sistem pembayaran yang fleksibel, tidak harus bulanan, bagi masyarakat di sektor informal.
Tauchid Komara Yuda, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta; Research Fellow di Lingnan University, Hong Kong