Masa kampanye Pilpres 2024 sudah di depan mata. Biasanya, di masa kampanye publik akan kebanjiran berita-berita tentang calon, baik yang mereka dukung maupun tidak. Pada derajat tertentu, berbagai berita tentang calon amat berguna bagi pemilih untuk menimbang, mana calon yang lebih layak memenangkan suara mereka. Media merupakan sumber informasi penting yang diperlukan pemilih, seperti rekam jejak, program kerja, dan latar belakang sosial.
Namun, di sisi lain, berbagai berita yang beredar tidak selamanya positif, benar, dan berguna untuk menjadi rujukan dalam memilih. Di masa kampanye, disinformasi banyak beredar untuk memengaruhi pemilih. Dikutip dari tulisan Kapantai dan kolega yang dipublikasi di News Media & Society (2020), disinformasi dipahami sebagai semua bentuk informasi yang salah, tidak akurat, atau menyesatkan yang sengaja dibuat dan disebarkan untuk merugikan publik atau untuk mendapat keuntungan tertentu.
Di masa pemilu, disinformasi dibuat dan disebarkan untuk mendukung atau mendiskreditkan calon tertentu. Kita mengenal disinformasi dalam bentuk berita palsu, berita bohong, atau hoaks. Selain disinformasi, terdapat pula misinformasi, yang berarti informasi salah yang bisa jadi tidak sengaja dibuat, tetapi juga bisa memengaruhi pemilih. Penyebaran disinformasi dan misinformasi cukup mengkhawatirkan saat pemilu karena adanya internet, terutama media sosial dan aplikasi pengiriman pesan, yang memudahkan penyebarannya.
Baca juga: Belajar dari Dunia Menghadapi Disinformasi Pemilu 2024
Berkaca kepada pilpres di Amerika Serikat pada 2016, Alcott dan Gentzkow dalam tulisannya di Journal of Economic Perspectives (2017) melaporkan bahwa 38 juta penyebaran (share) berita palsu dan sekitar satu dari tiga cerita yang dibaca per pemilih di Amerika. Donald Trump, sebagai salah satu calon presiden saat itu, justru menjadi pihak yang juga turut memproduksi berita salah tersebut sebagaimana ditulis oleh Lippman dan kolega di Politico (2016).
Di Indonesia, sejumlah berita palsu beredar jelang Pilpres 2019 yang menyerang kandidat saat itu, misalnya menyebut Joko Widodo sebagai keturunan PKI. Berita palsu juga beredar tentang tujuh kontainer surat suara tercoblos yang bertujuan mendiskreditkan hasil pilpres pada saat itu.
Persepsi selektif
Pertanyaannya, sejauh mana disinformasi tersebut memengaruhi pemilih sebagaimana yang diharapkan pembuatnya? Penelitian dalam ranah psikologi kognitif menunjukkan bahwa pemilih yang sudah mendukung calon tertentu melakukan persepsi selektif terhadap informasi yang ia terima dalam tiga bentuk.
Pertama, paparan selektif, yakni secara selektif mencari berita-berita yang mau ia akses dan yang tidak. Perilaku ini mengarahkan pemilih untuk hanya mau mengakses berita positif tentang calon yang ia dukung dan menyensor masuk berita negatif seputar calonnya. Atau sebaliknya, mengakses berita negatif calon lawan dan menolak berita positif lawan.
Kedua, atensi selektif, yakni memperhatikan informasi yang konsisten dengan keyakinannya yakni yang mendukung calon pilihannya, dan sebaliknya, mengabaikan informasi yang tidak sesuai dengan keyakinan.
Pemilih yang sudah mendukung calon tertentu melakukan persepsi selektif terhadap informasi yang ia terima.
Ketiga, interpretasi selektif, yakni memaknai pesan yang ambigu agar menjadi konsisten dengan keyakinannya. Dalam hal ini, apabila pemilih dihadapkan kepada disinformasi yang umumnya tidak jelas sumber dan kebenaran beritanya, maka akan diinterpretasi benar asalkan sesuai dengan keyakinannya akan calon pilihannya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa, berbeda dari harapan pembuat disinformasi untuk meyakinkan lebih banyak pemilih agar memilih calonnya, adanya beragam disinformasi pada masa kampanye justru lebih dipercaya oleh pendukung yang partisan atau yang sudah memiliki pilihan. Salah satu studi yang mengonfirmasi hal tersebut dalam konteks pemilu Indonesia ditulis oleh Neyazi dan Muhtadi di International Journal of Communication (2021). Dalam studi tersebut ditemukan bahwa penggunaan media sosial untuk memperoleh informasi politik tidak serta-merta membuat publik percaya kepada berita palsu. Hal yang secara kuat mempengaruhinya justru keberpihakan kepada calon presiden tertentu.
Meski tidak serta-merta terpengaruh untuk memilih calon lain akibat disinformasi, pemilih menjadi rentan mengalami polarisasi akibat beredarnya disinformasi menjelang pemilu. Hal ini karena adanya keberpihakan justru membuat pemilih percaya kepada berita palsu.
Lebih jauh lagi, untuk mempertahankan keyakinannya, pemilih akan menganggap bahwa calon yang didukung adalah sosok sempurna yang hampir tanpa cacat, dan sebaliknya, calon lain adalah musuh yang harus dienyahkan. Ini karena pemilih lebih banyak mengakses disinformasi positif tentang calon yang didukung dan disinformasi negatif calon lawan. Pemilu bukan lagi menjadi ajang pemilihan yang mengedepankan etika demokrasi, tetapi justru menjadi ajang permusuhan dan saling menjatuhkan.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk meminimalkan efek disinformasi? Setidaknya tiga hal bisa dilakukan. Pertama, menyediakan media untuk mengecek kebenaran berita. Sejauh ini, beberapa media dan gerakan masyarakat sipil telah mengadakannya, dengan menampilkan berita-berita yang beredar dan memberi label apakah berita tersebut adalah hoaks atau tidak.
Meski tidak serta-merta terpengaruh untuk memilih calon lain akibat disinformasi, pemilih menjadi rentan mengalami polarisasi akibat beredarnya disinformasi menjelang pemilu.
Kedua, memperkuat literasi media di kalangan pemilih. Dalam artikelnya di The Communication Review (2004), Sonia Livingston mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi pesan dalam berbagai konteks. Menghadapi disinformasi, pemilih perlu dibekali berbagai kemampuan tersebut.
Kemampuan yang krusial bagi pemilih yang terpapar berbagai disinformasi adalah menganalisis dan mengevaluasi berita. Dalam hal ini, pemilih dapat menilai kredibilitas sumber berita, mengidentifikasi logika isi berita, dan mengenali emosi yang terpicu dari isi berita. Hal tersebut penting karena disinformasi seringkali menyebar dari sumber yang tidak kredibel, memiliki cacat logika, dan secara otomatis memicu emosi, misalnya marah, jijik, dan takut.
Dalam kemampuan mengakses, secara umum, pemilih masa kini mempunyai kemampuan untuk mengakses informasi lebih mudah melalui beragam media, baik mainstream maupun alternatif, juga media sosial. Meski perlu diperhatikan bahwa akses tersebut bisa jadi kurang merata berdasarkan segmen sosio-demografi tertentu, seperti usia, pendidikan, dan wilayah.
Ketiga, membangun kesadaran kepada pemilih tentang bias kognisi yang mungkin terjadi dan pentingnya membuat pilihan yang berkualitas dalam pemilu, baik untuk diri maupun masyarakat. Juga penting untuk menumbuhkan identitas sebagai pemilih yang memiliki kesadaran tersebut. Dengan demikian, diharapkan pemilih dapat menyadari bias yang mungkin muncul dari diri mereka dan mengambil langkah untuk hanya menggunakan informasi yang akurat dan kredibel untuk memutuskan pilihan.
Baca juga: Mewaspadai Propaganda Komputasional
Tentu saja usaha untuk mengurangi pengaruh disinformasi melalui literasi media diperlukan upaya berkelanjutan, dimulai dari keluarga dan konteks hubungan interpersonal lain, hingga konteks pendidikan dan masyarakat yang lebih luas. Usaha tersebut tidak hanya dilakukan menjelang pemilu, tetapi perlu upaya lebih keras pada saat kampanye pemilu. Diharapkan dengan berbagai upaya dari berbagai pihak, maka pengaruh disinformasi dapat melemah.
Rizka Halida, Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Instagram: rizka.halida