Perhelatan Iklim di Negeri Kaya Minyak
Dekarbonisasi pembangkitan energi harus jadi agenda utama pemerintahan baru, bekerja sama dengan sektor bisnis dan swasta.
Ketika kita memasuki acara perjamuan di rumah orang kaya, pikiran kita bisa melayang ke mana-mana.
Bukan hanya kagum melihat pernik-pernik gedung dan makanan mewah yang sedang kita nikmati, kita mungkin juga berpikir dari mana saja dan bagaimana caranya tuan rumah mendapatkan semuanya ini.
Uni Emirat Arab (UEA), negara muda di jazirah Arab yang terdiri atas tujuh keemiran itu, selama dua pekan (30 November-12 Desember 2023) ini menjadi tuan rumah perhelatan iklim dunia, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties Ke-28 (COP28).
Kebetulan, pada 2 Desember, saat COP28 baru dimulai, UEA juga sedang merayakan Hari Nasional atau kemerdekaan yang diperoleh dari Britania Raya pada 1970. Tak heran jika Raja Charles III juga hadir.
Dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita 54.000 dollar AS, UEA termasuk 25 teratas negara berpenghasilan tinggi. Namun, emisi gas rumah kaca (GRK) per kapita negara penghasil minyak ini justru kecil karena pembeli dan pengguna minyak merekalah yang memproduksi GRK. Tak heran, lobi minyak jadi semakin kuat dan penundaan penurunan emisi makin kasatmata.
Negara kaya minyak itu ternyata jauh-jauh hari sudah menginvestasikan kekayaan dari kelimpahan sumber daya alam yang suatu hari akan habis itu. Sumber daya manusia mereka akan siap hidup tanpa minyak karena minyak segera digantikan energi baru dan terbarukan (EBT).
UEA setidaknya telah menginvestasikan 54 miliar dollar AS untuk EBT. Jumlah fantastis dan bisa dipastikan mereka tak akan bergantung pada mekanisme pendanaan Green Climate Fund (GCF). Sementara GCF sendiri untuk menghimpun 100 miliar dollar AS per tahun masih terseok-seok.
Negara kaya minyak itu ternyata jauh-jauh hari sudah menginvestasikan kekayaan dari kelimpahan sumber daya alam yang suatu hari akan habis itu.
Menunda penurunan emisi
Dengan investasi di EBT tersebut, tak berarti negara kaya minyak itu membeli teknologi. Mereka juga menguasai dan mengembangkannya sendiri.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata yang baru-baru ini diresmikan Presiden Joko Widodo, misalnya, adalah teknologi yang dikembangkan Masdar, perusahaan konsorsium energi yang dimiliki oleh tiga perusahaan energi besar di UEA. Negara superkaya yang bergelimang kemakmuran minyak itu terus berusaha ”mencuci” (offsetting) emisinya di luar negeri.
Penurunan emisi dari peningkatan rosot (sink) GRK melalui sektor lahan akan segera jenuh. Hutan akan tercekik (chocked). Sumber emisi bahan bakar fosil harus segera dipangkas karena pembangkitan energi melalui bahan bakar fosil adalah yang paling bertanggung jawab dalam pemanasan global.
Ambisi penurunan emisi yang sudah luntur ini harus segera dilaporkan ke publik dalam global stock take (GST) atau inventarisasi global untuk mengukur kemajuan kolektif negara-negara dalam upaya penurunan pemanasan global melalui pelaporan Nationally Determined Contributions (NDC).
Pertanyaan besar, apakah tuan rumah COP28 yang beruntung ini (dan juga negara-negara teman dekat UEA yang mengambil keuntungan darinya) akan mengubah gaya hidupnya? Jangan-jangan perhelatan besar ini justru dipakai untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam ”membeli” waktu (buying the time) agar net zero emission bisa ditunda?
UEA adalah salah satu dari lima negara Timur Tengah yang menyimpan separuh dari cadangan minyak dunia (1.729,7 miliar barel) setelah Arab Saudi, Iran, Irak, dan Kuwait. Diduga cadangan ini belum akan mengering dalam 27 tahun.
Dr Sultan al-Jaber, Presiden COP28 dan CEO raksasa minyak UEA, Adnoc Group, disinyalir akan menggunakan COP28 untuk melobi sedikitnya 27 negara pihak. Tidak semua negara industri dan negara berkembang, seperti Kolombia dan Mozambik, juga dilobi.
UEA tak membantah COP28 akan digunakan untuk pertemuan bisnis. Negara-negara kecil dan terbelakang (small islands developing states) yang nyaris tenggelam kini menunggu apakah pentas dunia di Dubai hanya gimik belaka.
Pembangunan proyek PLTS Terapung di atas Waduk Cirata, Jawa Barat, Selasa (12/9/2023).
Jangan berharap dana adaptasi
Ketika Perjanjian Paris disetujui enam tahun silam, orang merasa lega karena akhirnya aspek adaptasi mendapat perhatian secara seimbang melalui mitigasi. Dana Adaptasi dibentuk untuk meningkatkan ketahanan negara berkembang menghadapi perubahan iklim.
Namun, kenyataannya, sejak dicanangkan, dana ini dibangun dan dilaksanakan setengah hati. Komunitas ilmiah sudah mengingatkan implementasi setengah hati ini akan menjadi senjata makan tuan.
Sama halnya dengan Loss and Damage (L&D) yang dituangkan dalam Perjanjian Paris Pasal 8 dan secara hukum mengikat. Setelah gagal menggalang dana di COP26 dan hanya menghasilkan kerangka kerja (framework) tanpa mekanisme pendanaan dan sumber dana yang jelas di COP27, tidak banyak yang bisa diharapkan dari COP28.
Kecil kemungkinan bisa berharap dari dana publik. Lagi-lagi, sektor swasta (dan bisnis) secara kreatif tampaknya perlu terlibat dan mengambil bagian dalam porsi yang relatif besar. Hal ini agak janggal mengingat secara kasatmata L&D bukan profit center. Di sinilah inovasi sangat diperlukan. Salah satu instrumen yang sudah lama dikenal adalah asuransi.
Komitmen Indonesia
Kontribusi penurunan emisi yang terpatri dalam NDC ”telanjur” menjadi komitmen. Indonesia harus menurunkan emisinya sebesar 900 juta CO2-e pada 2030. Selanjutnya, negara ini harus menurunkan lagi emisi tersebut menjadi nol pada 2060 atau lebih awal.
Penurunan emisi dari sektor lahan selama ini sudah berjalan baik dan perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Sebaliknya, sektor energi kita masih tambal sulam. Kutukan SDA (natural resource curse) dari batubara harus dihindari.
Kita harus belajar dari masa kejayaan emas hitam, saat kita masih menjadi anggota OPEC. Petro dollar waktu itu ternyata tak berhasil membuat bangsa ini lebih pintar dan baru kita sadari ketika kita telanjur jadi importir minyak.
Baca juga: COP28 Dubai Tentukan Nasib Bumi
Saat ini kontribusi EBT kita baru 15 persen dari bauran energi yang seharusnya sudah mencapai 35 persen di pengujung Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang akan segera berakhir.
Pensiun dini (early retirement) PLTU berbahan bakar batubara harus menjadi prioritas. Perdebatan agenda Just Energy Transition (JET) yang akan naik daun di Dubai harus dimanfaatkan. Untuk nature-based solution (NbS) sendiri, tampaknya hanya akan menjadi fatamorgana di padang pasir.
Saat ini kontribusi EBT kita baru 15 persen dari bauran energi yang seharusnya sudah mencapai 35 persen di pengujung Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang akan segera berakhir. Kalau estafet pemerintahan yang baik (good governance) berjalan, sudah selayaknya peta jalan pembangunan rendah karbon (low carbon development) menuju Indonesia Emas dipersiapkan.
Kita perlu mencermati profil tiga pasangan kandidat pemimpin nasional lima tahun mendatang. Tak ada pasangan yang sempurna dalam segala bidang, sementara agenda nasional juga sangat beragam dan berat. Pemilih harus mencermati sejauh mana tekad dan komitmen para calon pemimpin tersebut dalam menjaga keberlanjutan bumi untuk generasi mendatang.
Angka-angka emisi yang membuat kita cemas akan terus mencekam. Hanya kebijakan kolektif para pemimpin dunia, terutama negara-negara emiten GRK terbesar, yang mampu meredamnya. Dekarbonisasi pembangkitan energi harus jadi agenda utama pemerintahan baru, bergandengan tangan dengan sektor bisnis dan swasta.
Daniel Murdiyarso,Guru Besar IPB University dan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Peneliti Utama CIFOR-ICRAF
Daniel Murdiyarso