Dalam Konferensi Perubahan Iklim, Indonesia menegaskan komitmen menekan emisi menjadi nol pada 2060.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Indonesia menegaskan komitmen menurunkan emisi jadi nol tahun 2060 atau lebih awal. Realisasi janji ini penting untuk memitigasi krisis iklim mengingat Indonesia termasuk penghasil emisi terbesar dunia. Presiden RI Joko Widodo menyampaikan upaya RI mencapai target net carbon sink atau penyerapan karbon bersih sektor kehutanan dan lahan tahun 2030.
Hal ini ditempuh lewat langkah sistematis, termasuk moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut 66 juta hektar sejak tahun 2019. Selain itu, rehabilitasi lahan terdegradasi 3 juta hektar dan lahan gambut 3 juta hektar juga telah dilakukan. Hasilnya, tingkat deforestasi Indonesia berkurang 75 persen (Kompas, 4/12/2023).
Berdasarkan Database Emisi untuk Riset Atmosfer Global (EDGAR) milik Komisi Eropa, tiga negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar dunia pada 2022 adalah China, Amerika Serikat, dan India. Indonesia di posisi ketujuh.
Sejauh ini Indonesia lebih mengandalkan sektor kehutanan dan lahan guna menekan emisi. Pada tahun 2019, emisi Indonesia di sektor kehutanan dan tata guna lahan atau FOLU 922 juta ton emisi setara karbon dioksida akibat kebakaran hutan dan lahan. Emisi ini turun menjadi 222 juta ton pada tahun 2022.
Sementara penurunan emisi dari sektor lain, terutama energi, lebih sulit dicapai. Kesalahan tata kelola sumber daya alam membuat RI bergantung pada energi fosil sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap dan kendaraan.
Laporan yang diterbitkan Ember, lembaga riset sektor energi, menyebut emisi dari batubara per kapita di negara-negara anggota G20 naik 9 persen. Bahkan, emisi tenaga batubara per kapita di Indonesia melonjak 56 persen dari tahun 2015 sampai 2022 (Kompas, 5/9/2023).
Pemerintah RI bertekad membangun negara sejahtera, berkelanjutan, dan mencapai emisi nol tahun 2060 atau lebih awal. Di sisi lain, Indonesia berambisi menikmati perkembangan ekonomi tinggi yang selama ini ditopang dengan penggunaan energi fosil.
Hambatan
Situasi ini membuat target transisi energi sesuai Perjanjian Paris menghadapi banyak hambatan. Hingga pekan lalu, Indonesia belum memutuskan memenuhi ajakan Uni Eropa menyepakati komitmen peningkatan kapasitas energi terbarukan tiga kali dan menggandakan target efisiensi energi.
Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon penyebab perubahan iklim sampai 2030. Dokumen kontribusi nasional mengatur, antara lain, 37 persen penurunan emisi dari kegiatan efisiensi energi dan lebih dari 50 persen dengan penerapan energi terbarukan.
Transisi energi dilakukan, antara lain, dengan mengurangi sumber bahan bakar fosil lewat pengurangan pemakaian batubara secara bertahap dan mendorong pembangunan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan. Hal ini ditambah dengan penggunaan kendaraan listrik.
Dari sekian banyak target, RI kesulitan memenuhinya. Pendanaan, adaptasi teknologi, dan sumber daya manusia jadi tantangan besar transisi tersebut. Upaya menekan emisi perlu kolaborasi pemerintah, swasta, dan dukungan negara-negara berpendapatan tinggi.