Sekarang adalah bulan Desember. Artinya? Lebih dari sekadar cuaca dingin dan perayaan liburan. Bulan ini juga menjadi musim pemutusan hubungan kerja (PHK).
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Pemutusan hubungan kerja menjelang Natal akan meningkat dan bulan Januari akan menjadi bulan terburuk bagi karyawan. Sebuah peringatan dari salah satu media di Amerika Serikat. Platform pengaliran konten berbasis suara Spotify telah mengumumkan pemotongan karyawan sebanyak 17 persen. Induk Tiktok Bytedance, Amazon, dan Qualcomm sudah memberi kabar yang sama. Pekerja di Indonesia perlu waspada juga. Mengapa musim dingin di perusahaan teknologi masih berlanjut?
Sekarang adalah bulan Desember. Artinya? Lebih dari sekadar cuaca dingin dan perayaan liburan. Bulan ini juga menjadi musim pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemutusan hubungan kerja cenderung meningkat pada bulan Desember dan Januari karena perusahaan bersiap menghadapi perubahan struktural menjelang tahun baru seperti yang ditunjukkan oleh data dari Biro Statistik Tenaga Kerja. Wartawan USA Today, Bailey Schulz, mengawali tulisannya dengan kalimat tersebut untuk memperingatkan para pekerja agar lebih berhati-hati.
Akhir bulan lalu analis Sarah Bregel di Fast Company juga mengingatkan hal yang sama. Bulan November hampir berakhir, tetapi sayangnya, rangkaian PHK selama berbulan-bulan di perusahaan-perusahaan terkemuka tampaknya belum berakhir. Menurut situs pelacakan Layoffs.fyi: kehilangan pekerjaan, terutama di bidang media dan teknologi, tampaknya akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2023. Pada saat berita ini diterbitkan, Layoffs.fyi mengatakan 1.133 perusahaan teknologi telah memberhentikan total 253.559 karyawan sejauh tahun ini.
Mengapa pada akhir tahun dan awal tahun menjadi bulan yang mengerikan bagi para pekerja? ”Banyak perusahaan yang mencapai akhir tahun fiskal mereka. Mereka mencermati apa yang terjadi di neraca mereka serta bagaimana kinerja bisnisnya dan mereka mengambil keputusan berdasarkan hal tersebut. Hasil dari pencermatan itu terkadang hal ini berdampak pada pekerja,” kata Rachel Sederberg, ekonom senior di perusahaan analisis pasar tenaga kerja Lightcast, yang dikutip oleh Bailey.
Alasan lainnya adalah perusahaan tentu ingin mencari sumber pendapatan baru yang lebih menjanjikan. Perusahaan teknologi yang sangat cepat berubah karena adopsi teknologi yang terbaru mengakibatkan mereka mudah sekali mengubah area investasi. Area-area yang selama ini tertinggal dan juga kurang menghasilkan uang akan segera ditutup.
Kenyataan ini diakui sejumlah CEO yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan. Mereka melihat bahwa peluang baru lebih menarik dibandingkan yang sudah ada. Kita ingat ketika metamesta (metaverse) ditinggal dan semua berpindah ke kecerdasan buatan.
”PHK ini memungkinkan perusahaan berinvestasi dan menciptakan peran baru di bidang-bidang yang berpotensi besar menghasilkan uang,” kata CEO eBay Jamie Iannone dalam pesannya yang dikutip sejumlah media, beberapa waktu lalu. Dampaknya mereka akan menyederhanakan struktur organisasi untuk membuat keputusan lebih efektif dan lebih cepat.
Kondisi Indonesia
Kondisi seperti ini telah terjadi di Indonesia. Kejadian ini akan berlanjut hingga awal tahun depan. Sejumlah usaha rintisan dan perusahaan teknologi telah kembali memangkas jumlah karyawannya. Pemangkasan ini tidak akan berhenti ketika mereka melihat laporan keuangan 2023 yang tidak menggembirakan.
Secara umum tekanan dari para investor telah memusingkan pendiri dan pengelola usaha rintisan. Mereka diminta segera untung atau setidaknya bisa membiayai operasi mereka. Mereka tidak bisa lagi membesar karena biaya pemasaran tidak lagi berlimpah. Cara bakar-bakar uang untuk akuisisi pelanggan sudah tidak bisa dilakukan lagi. Akibatnya mereka akan mengurangi sejumlah beban, salah satunya adalah biaya karyawan. Otomatis pemutusan hubungan kerja menjadi pilihan.
Masalah lainnya yang bahkan menimpa perusahaan teknologi besar adalah karena mereka tidak kunjung memiliki laporan keuangan yang membaik. Penjualan yang stagnan dan bisnis baru yang juga tidak segera menghasilkan menjadikan mereka juga harus melakukan pemotongan karyawan. Jumlah pemangkasan karyawan mungkin tidak sebesar yang dilakukan beberapa waktu lalu, tetapi tetap saja mereka akan terus melakukan perampingan pada saat laporan keuangan tidak memperlihatkan tanda-tanda positif.
Perpindahan ke investasi lain sehingga perusahaan akan melakukan perampingan kemungkinan tidak banyak terjadi dengan perusahaan teknologi di Indonesia. Tidak banyak pilihan investasi baru karena sangat sedikit pengembangan kecerdasan buatan (yang menjadi tren global) yang dilakukan oleh perusahaan teknologi atau usaha rintisan lokal. Kalau, toh, ada pengembangan kecerdasan buatan, orang yang mau melakukan investasi baru sangat sedikit. Dana yang tersedia juga terbatas. Pilihan untuk melakukan investasi baru juga tidak akan dilakukan karena kepastian pengembalian (return) yang kecil, apalagi pada saat dana yang ada juga terbatas.
Pengembangan usaha rintisan dan perusahaan teknologi di Indonesia cenderung stagnan. Pendanaan juga menurun. Ekonomi digital di Indonesia sepertinya memasuki fase koreksi ulang. Sejauh ini usaha rintisan dan perusahaan teknologi tidak memiliki daya tarik lebih selain melakukan digitalisasi dan kemudian memungut uang dari jasa platform. Harapannya dengan digitalisasi akan mempermudah berbagai kegiatan ekonomi, tetapi pada kenyataannya orang tidak sedikit kembali ke cara-cara lama.
Bila saja orang bertahan di platform, mereka akan memilih layanan yang paling murah. Akibatnya bisnis platform tidak bisa berkembang. Kondisi seperti ini yang berlangsung sangat lama akan menekan perusahaan teknologi. Mereka akan tersandera dengan harga murah. Beban seperti ini pada ujungnya akan diperkecil dengan efisiensi. Caranya? Kembali melakukan pemutusan hubungan kerja. Bulan-bulan terburuk masih akan menggelayuti perusahaan teknologi dan usaha rintisan.