Menolak ”Rebranding” dalam Pemilu
Selain berpotensi membohongi pemilih, ”rebranding" dalam politik menunjukkan ketidakmauan berkompetisi di wilayah gagasan, konsep, dan ideologi.
Dalam dunia pemasaran, branding ataupun rebranding merupakan hal lumrah, bahkan menjadi semacam kewajiban. Pada banyak kasus, hal yang dikonsumsi oleh konsumen bukan lagi produk fisik berupa barang atau jasa, melainkan yang dikonsumsi adalah citra, imaji, atau brand yang sengaja dilekatkan produsen pada produk tersebut. Oleh karena itu, ketika suatu produk gagal atau tidak diterima konsumen, salah satu upaya untuk memperbaiki daya jualnya adalah dengan rebranding, mengubah citra, atau menyusun ulang penampilan.
Dari perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No 8 Tahun 1999), legalitas branding atau pencitraan yang demikian berada di wilayah abu-abu. Secara umum, pencitraan melalui iklan bukan merupakan pelanggaran hukum selama masih ”dalam batas kewajaran”, tidak manipulatif, dan disertai informasi mengenai produk secara lengkap dan jujur. Namun, batas-batas antara iklan yang wajar dan iklan yang manipulatif sulit dibuktikan secara hukum meskipun sebenarnya mudah dirasakan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Proses pengambilan keputusan pada benak manusia cukup unik karena tidak hanya mendasarkan pada rasionalitas, tetapi juga erat melibatkan perasaan. Pilihan rasional secara umum didasarkan pada kebutuhan riil, seperti seseorang membeli arloji karena kegunaan arloji sebagai penunjuk waktu. Namun, pertimbangan akan merek, bentuk, atau harga dari arloji yang akan dibeli sudah tidak lagi sepenuhnya rasional, tetapi sudah melibatkan perasaan atau emosi.
Baca juga: Citra Politik Dibalut Konten
Lebih unik lagi, untuk tidak mengatakannya aneh, banyak produk yang sebenarnya tidak mempunyai fungsi apa pun bagi manusia, tetapi kepadanya dilekatkan berbagai citra yang serba bagus dan menarik sehingga orang berduyun-duyun membelinya karena ingin ”tertular” citra produk tersebut. Bahkan, seringkali produsen ”mengenalkan” aneka ragam penyakit atau kondisi tertentu, yang secara ilmiah tidak dikenal dan/atau tidak berbahaya demi melegitimasi kebutuhan akan produk mereka. Beberapa contohnya adalah ”panas dalam”, ”tidak pede”, ”kulit cantik”, dan sebagainya.
Konsep-konsep pemasaran demikian mengingatkan kita kepada upaya para kontestan pemilu untuk mengampanyekan diri. Mudah dijumpai contoh rebranding yang dilakukan para kontestan, baik melalui istilah ataupun tindakan, seperti ”gemoy”, ”nyelepet”, ataupun ”kredibel” (Kompas.id, 20/11/2023: Setelah ”Gemoy”, ”Nyelepet”, ”Kredibel”, lalu...), isu kedekatan kepada anak muda, antikorupsi, agamis, terbuka, dan lain sebagainya.
Upaya rebranding dilakukan setelah mengevaluasi tanggapan masyarakat atas brand sebelumnya. Serta tentu saja setelah mempertimbangkan ceruk pemilih yang berusaha direbut hari ini.
Moralitas ”rebranding”
Rebranding dalam politik, jika dianggap setara dengan rebranding dalam dunia pemasaran barang dan jasa, bukanlah suatu pelanggaran hukum. Akan tetapi, dunia pemasaran barang dan jasa berbeda dengan dunia politik. Perbedaan ini setidaknya terlihat pada dua hal, yaitu tujuan konsumsi dan risiko konsumsi.
Konsumsi barang dan jasa ditujukan untuk memenuhi kebutuhan fisik orang seorang, di mana orang bersangkutan dapat kapan saja menghentikan konsumsinya. Sementara konsumsi dalam konteks politik atau pemilu bertujuan untuk menemukan orang yang dapat diserahi dan mampu mengelola negara selama periode tertentu.
Risiko salah pilih dalam pemilu akan menempatkan seluruh warga negara dalam kerugian untuk waktu yang cukup lama.
Dari sisi risiko, salah mengonsumsi barang dan jasa relatif mudah dimitigasi ketimbang risiko salah pilih dalam pemilu. Dampak salah konsumsi barang dan jasa relatif kecil karena hanya mengenai individu. Sementara risiko salah pilih dalam pemilu akan menempatkan seluruh warga negara dalam kerugian untuk waktu yang cukup lama.
Koreksi atas kesalahan pilih dalam pemilu membutuhkan waktu setidaknya satu periode pemilu atau lima tahun. Padahal, dalam kurun lima tahun sangat mungkin terjadi berbagai hal buruk. Di titik ekstrem, kesalahan memilih dalam pemilu dapat menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang kegagalan sebagai negara.
Menolak ”rebranding”
Rebranding dalam dunia politik harus ditolak. Kontestan pemilu yang melakukan rebranding secara total sebenarnya sedang menunjukkan bahwa yang dijualnya bukan idealisme, apalagi ideologi. Rebranding dalam politik dapat dikatakan sebagai pertunjukan ganti kulit, yang menunjukkan pada semua orang bahwa kulit lebih utama daripada isi. Rebranding mungkin akan berhasil menarik para pemilih. Namun, praktik ini sebenarnya menunjukkan ketidakmauan dan ketidakberanian si kontestan untuk berkompetisi di wilayah gagasan, konsep, ataupun ideologi.
Selain itu, rebranding berpotensi membohongi pemilih. Letak kebohongannya adalah ketika citra yang ditampakkan selama kampanye, ternyata bertolak belakang dengan rekam jejak ataupun watak kontestan bersangkutan manakala sudah menjabat kelak, baik sebagai presiden, wakil presiden, maupun anggota lembaga legislatif.
Sayangnya, hingga kini, rebranding tidak diatur dalam undang-undang kepemiluan. Berbeda dengan UU Perlindungan Konsumen yang walaupun mengizinkan rebranding, tetapi memberikan berbagai batasan. Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 17 UU a quo mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha ataupun pelaku usaha periklanan dalam memasarkan produknya. Pelanggaran atas pasal-pasal tersebut tegas dinyatakan sebagai pelanggaran yang pelakunya dapat dipidana.
Baca juga: Menonton Drama Politik
Kebolehan melakukan rebranding hari ini semakin mengkhawatirkan karena persentuhannya dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence. Dengan bantuan perangkat kecerdasan buatan, upaya penyesatan pemilih berkedok rebranding akan semakin mudah dilakukan, dan di sisi sebaliknya semakin sulit dideteksi oleh kompetitor, penyelenggara pemilu, dan terutama pemilih.
Manakala rasionalitas pemilih terhalang untuk dipergunakan karena kontestan menutupi jati dirinya, orang akan dijebak untuk sekadar memilih citra atau penampakan kulit luarnya saja. Ketika pemilu yang demikian benar terjadi, ketika rebranding tidak dibatasi, niscaya kehampaan hadir menyelimuti pemilu kita.
Mardian Wibowo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya