PISA 2022 dan Refleksi Pendidikan Indonesia
Hal lebih penting untuk ditindaklanjuti dari hasil tes PISA 2022 adalah kemampuan siswa yang masih lemah, bukan ranking.
Menjelang akhir tahun 2023, mari kita merefleksikan kembali makna pendidikan Indonesia. Terlebih lagi dengan hasil tes PISA yang menunjukkan tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh dari rata-rata pendidikan global.
Hasil tes program penilaian pelajar internasional (Programme for International Student Assessment/PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023 menunjukkan, 82 persen siswa Indonesia yang berusia 15 tahun tidak paham matematika (skornya berada di tingkatan 2 atau kurang, dibandingkan dengan tingkatan 5 atau 6, urutan paling baik di negara peserta). Selain itu, 75 persen siswa tidak paham bacaan dan 66 persen siswa tidak paham sains.
Tes PISA adalah asesmen untuk siswa berusia 15 tahun yang diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) setiap tiga tahun untuk mengukur kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains. Pengukuran untuk siswa berusia 15 tahun dianggap tepat saat mereka selesai pendidikan dasar, untuk melihat apakah kemampuan mendasar mereka mampu menjawab tantangan hidup apabila mereka tidak dapat kembali ke bangku sekolah. Pada 2022, PISA diikuti oleh 81 negara.
Baca juga: Narasi Skor PISA Indonesia Jangan Seolah-olah Prestasi
Skor Indonesia di bidang matematika 366 (rata-rata global 472), di bidang literasi 359 (rata-rata global 476), dan di bidang sains 383 (rata-rata global 485). Ini memprihatinkan karena selama 20-an tahun, sejak Indonesia berpartisipasi dalam tes PISA pada 2000, ternyata tidak ada perubahan berarti bagi siswa-siswa Indonesia.
Sayangnya, saat merilis hasil studi PISA 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) malah mengedepankan aspek peringkat Indonesia naik dibandingkan pada 2018. Pemberitaan ”peningkatan” ini sebenarnya semu karena nyatanya posisi Indonesia tetap masih di 15 urutan di bawah hasil tes PISA dari seluruh peserta survei ini.
Tanpa memperlihatkan skor yang sesungguhnya, pemerintah bahkan mengedepankan aspek penurunan skor yang tidak banyak dibandingkan negara lain. Padahal, skor tersebut juga bukan sebuah prestasi, selain memberikan pengakuan diri sendiri—kalau tidak justifikasi—akan kebijakan seperti adanya ”akses daring, pelatihan guru, materi pembelajaran, dan penggunaan kurikulum darurat” yang berhasil, tetapi jelas tidak memperbaiki pemahaman siswa dalam belajar.
Padahal, tidak ada peningkatan siswa-siswa Indonesia selama mengikuti tes PISA 20 tahun terakhir. Inilah saatnya refleksi diri bahwa yang lebih penting untuk ditindaklanjuti dari hasil tes PISA tersebut adalah kemampuan siswa Indonesia yang masih lemah. Bukan soal rangking.
Belajar dari negara lain
Singapura menjadi negara yang berperingkat paling tinggi dalam tes PISA 2022. Matematika merupakan aspek yang diutamakan pada 2022, dan kemampuan siswa Singapura di bidang matematika 515 (rata-rata global 472), di bidang literasi 484 (rata-rata global 476), dan di bidang sains 504 (rata-rata global 485).
Prestasi Singapura tersebut karena mereka dapat terus konsisten memperbaiki potensi siswa-siswa 15 tahunnya, sejak keikutsertaannya dalam tes PISA pada 2009. Saat mengikuti pertama kali pun, Singapura sudah menunjukkan hasil yang baik karena kemampuan siswanya berada di atas rata-rata negara OECD. Puncaknya, hasil tes PISA 2022 Singapura menduduki peringkat pertama.
Pemberitaan di media Singapura juga lebih netral, walau prestasi tersebut dirayakan dan membanggakan, Singapura memperhatikan siswa yang berasal dari golongan ekonomi lemah pun tetap dapat berprestasi baik dalam survei PISA tersebut. Diketahui bahwa 43 persen siswa—turun dari 47 persen dari tahun 2018—dari golongan ekonomi lemah pun tetap mampu menunjukkan prestasi gemilang dalam membaca, matematika, dan sains.
Temuan seperti ini yang diperlukan, dan tindakan apa yang akan pemerintah lakukan agar pendidikan makin baik dan merata bagi seluruh siswa.
Namun, kesenjangan antara golongan ekonomi mampu dan lemah masih sangat tinggi di bidang matematika, dan Pemerintah Singapura akan berusaha melanjutkan program dukungan bagi siswa-siswa dari keluarga ekonomi lemah. Temuan seperti ini yang diperlukan, dan tindakan apa yang akan pemerintah lakukan agar pendidikan makin baik dan merata bagi seluruh siswa.
Begitu juga di Finlandia, negara tempat saya tinggal. Pengumuman hasil tes PISA 2022 diberitakan sebagai kekhawatiran akan posisi Finlandia yang terus turun walaupun masih di atas rata-rata negara OECD. Skor kemampuan siswa Finlandia di bidang matematika adalah 484, jauh menurun, misalnya, sejak 2006 di mana siswa meraih skor tinggi di angka 548. Kemampuan membaca 490, juga turun jauh dari skor pada 2006 yang mencapai 547; dan kemampuan sains di angka 511, yang relatif masih baik.
Namun, penurunan hasil PISA ini memberikan peringatan bagi para anggota parlemen Finlandia—bukan soal pandemi Covid-19—melainkan soal penggunaan media digital di sekolah yang diperkenalkan pemerintah pada 2015 dan anggaran pendidikan yang terus berkurang.
Baca juga: Penurunan Skor PISA Indikasikan Darurat Pendidikan Dasar
Di Finlandia, laporan hasil tes PISA digunakan untuk melihat kembali bagaimana menjembatani kemampuan literasi siswa laki-laki yang rendah dibandingkan anak perempuan, kebijakan bahasa untuk siswa yang orangtuanya berlatar belakang asing atau lahir di luar Finlandia, atau kebijakan antiperundungan, dan lain-lain. Namun, hal itu tidak mengubah mereka dalam hal kebijakan dasar. Apalagi di PISA 2022 ini, untuk pertama kali ada siswa yang mendapat skor 2 di bidang matematika, di mana biasanya mereka selalu berada di skor 5 dan 6.
Dalam riset PISA, kemampuan siswa dalam matematika ditentukan apakah siswa tersebut memiliki buku di rumah atau tidak. Jumlah buku yang dapat diakses siswa akan memberikan pengaruh kuat daripada siswa-siswa yang memiliki perangkat digital.
Pemerintah memperhatikan skor para siswa dalam tes PISA untuk memberikan kebijakan yang efektif di kemudian hari dan bukan untuk membanggakan diri untuk suatu peringkat belaka. Padahal, Singapura dan Finlandia meraih skor yang tinggi di atas rata-rata negara OECD. Tentu saja, bagi masyarakat Finlandia, ”kemenangan dan ranking bukanlah hal yang paling penting” (Adiputri, 25 Mei 2023).
Cermat membaca data
Kita mesti cermat membaca data statistik OECD tentang Indonesia ini, karena yang mengkhawatirkan adalah hanya 18 persen siswa Indonesia yang tahu dan paham matematika, amat jauh dari rata-rata negara OECD yang mencapai 69 persen. Juga, tidak ada siswa Indonesia yang berprestasi baik level 5 atau 6 untuk memahami kemampuan dasar matematika. Ini seharusnya diperhatikan pemerintah. Belum lagi soal literasi.
Sudah 20 tahun survei PISA ini diadakan, dan angka literasi Indonesia tidak ada peningkatan. Ternyata, penggantian kurikulum belum mampu memperbaiki literasi. Diperlukan cara lain, cara-cara inovatif untuk mengembangkan angka literasi, misalnya dengan membaca fiksi (Adiputri, 8 Oktober 2022). Karya penulis Indonesia dibaca meluas, termasuk menerjemahkan buku-buku bermutu ke dalam bahasa Indonesia, bahkan kalau perlu ke dalam bahasa daerah.
Tes PISA menjadi peringatan kita semua agar siswa sekolah dasar harus mampu membaca dan memahami teks secara utuh dan kompleks. Membaca buku itulah yang harus diwajibkan, dan buku-buku bagus bermutu harus tersedia dan digalakkan lagi dalam pelajaran-pelajaran sekolah. Tidak ada cara lain untuk memahami literasi, selain membaca buku. Sejak awal masuk SD, pelajaran membaca harus terus digalakkan, dan buku-buku bacaan bermutu harus tersedia.
Baca juga: PISA, Visi Capres, dan Perbaikan Kualitas Pendidikan
Tes PISA sebenarnya tidak bertujuan untuk menilai kualitas sistem pendidikan suatu negara, melainkan hanya merupakan survei tentang pendidikan. Karena itu, pemeringkatan sebenarnya tidak begitu penting karena tantangan setiap negara tidak dapat diurutkan peringkatnya.
Tes PISA sebenarnya bertujuan mempersiapkan sistem pendidikan guna memberi pembekalan siswa untuk menghadapi tantangan kehidupan sesungguhnya dan kesuksesan di masa depan. Karena pengukuran ini untuk siswa yang biasanya lulus dari pendidikan dasar, maka apabila siswa ini tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah/pendidikan yang lebih tinggi, dengan kemampuan matematika, literasi, dan sains, mampukah siswa tersebut, misalnya, untuk membaca kontrak kerja (kemampuan literasi), menghitung gaji yang diterimanya (kemampuan matematika), dan paham cara alat atau mesin bekerja (kemampuan sains). Ini yang penting.
Apabila hasil tes PISA siswa-siswa Indonesia tidak berubah, ini merupakan cerminan kebijakan pendidikan yang tidak efektif. Indonesia yang bermimpi untuk menjadi negara maju, tidak mendapatkan bonus demografi—tetapi malah beban demografi—apabila sumber daya manusianya, generasi mudanya, tidak paham kemampuan dasar literasi membaca, matematika, dan sains. Kita perlu sekali merefleksikan pendidikan Indonesia.
Ratih D Adiputri, Peneliti dan Dosen di Universitas Jyväskylä, Finlandia