Mengapa Covid-19 Naik Lagi?
Penyakit Covid-19 memang masih ada sehingga mungkin masih akan ada variasi peningkatan kasus dari waktu ke waktu.
Pada hari-hari ini, media mengabarkan peningkatan kasus Covid-19 di Singapura, lalu di Malaysia, dan juga di Indonesia.
Informasi ini membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa ada peningkatan kembali kasus Covid-19 dan apakah akan ada gelombang baru lagi seperti yang lalu? Untuk menjawabnya, sebaiknya kita analisis data yang ada dan informasi ilmiah yang tersedia saat ini.
Pada 2 Desember 2023, Pemerintah Singapura menyampaikan, kasus Covid-19 di negara itu naik dua kali lipat pada kurun 19-25 November, dari 10.726 kasus menjadi 22.094 kasus. Ini salah satu yang menjadi pemicu kegelisahan masyarakat. Sesuatu hal yang perlu kita waspadai, tetapi kita tak perlu khawatir secara berlebihan.
Ada yang bisa kita pelajari dari perubahan data di Singapura. Pertama, Singapura selama ini memang secara teratur terus menyampaikan data mingguan kasus Covid-19-nya. Suatu bentuk pengamatan penyakit yang amat baik dan konsisten, yang juga perlu kita lakukan.
Kedua, walaupun memang ada kenaikan dalam kasus mingguan pada akhir November 2023, angkanya masih amat jauh dibandingkan dengan ketika Covid-19 sedang tinggi-tingginya di Singapura.
Pada masa puncak kasus, dalam satu hari, pada 22 Februari 2022 saja, jumlah kasusnya 26.032, dan dalam satu minggu bisa sekitar 150.000 orang. Artinya, situasi pada akhir November 2023 sekitar 10 kali lebih rendah dibandingkan dengan puncak kasus di Singapura.
Ada beberapa faktor yang kemungkinan berkontribusi pada peningkatan kasus di Singapura, Malaysia, dan juga Indonesia.
Ketiga, meski ada peningkatan kasus, situasi di rumah sakit dan ICU tetap stabil. Tak ada peningkatan kasus secara berarti untuk pasien dirawat.
Di Malaysia juga ada peningkatan kasus 57,3 persen, dari 2.305 kasus per minggu pada 12-28 November 2023 menjadi 3.626 kasus per minggu pada 19-25 November 2023. Kasus harian tertinggi di Malaysia terjadi pada 5 Maret 2022 sebanyak 33.406 orang, sepuluh kali angka mingguan saat ini.
Artinya, meski ada peningkatan, angkanya sangat kecil dibandingkan dengan saat puncak. Pemerintah juga melaporkan ada sedikit peningkatan kasus yang dirawat di rumah sakit, dari 2 persen/100.000 penduduk/minggu pada 12-28 November menjadi 2,9 persen/100.000 penduduk/minggu pada 19-25 November.
Di Indonesia, peningkatan kasus juga terjadi. Kementerian Kesehatan menyebut kenaikan dari 10-20 kasus dalam seminggu menjadi 267 kasus per minggu. Kenaikan ini belum berimplikasi pada kenaikan keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) untuk perawatan pasien terpapar Covid-19.
Mengapa naik?
Ada beberapa faktor yang kemungkinan berkontribusi pada peningkatan kasus di Singapura, Malaysia, dan juga Indonesia. Pertama, mulai meningkatnya perjalanan warga menjelang akhir tahun untuk berbagai keperluan dan saat ini praktis sudah tak ada pembatasan perjalanan apa pun karena Covid-19.
Kedua, mengingat sudah tenangnya kasus Covid-19 dan rendahnya penularan di masyarakat, daya tahan imunitas terhadap Covid-19 juga menjadi turun. Ini ditambah lagi dengan sudah cukup lamanya warga mendapat vaksin sehingga daya perlindungannya mungkin saja juga sudah menurun.
Ilustrasi
Ketiga, di Asia Tenggara dan juga di China memang sedang ada peningkatan kasus infeksi paru dan saluran napas. Karena alasan ini, bukan tidak mungkin jumlah tes Covid-19 juga meningkat sehingga terdeteksi lebih banyak kasus.
Keempat, untuk negara seperti China, masuknya musim dingin juga berpengaruh pada kenaikan kasus infeksi paru dan saluran napas. Dan, untuk Singapura, Malaysia, dan Indonesia, mulai banyaknya hujan dan perubahan cuaca di musim pancaroba juga berpengaruh pada kejadian infeksi paru dan saluran napas karena berbagai virus.
Yang lebih penting lagi, perlu disadari bahwa fluktuasi kasus Covid-19 masih akan tetap ada, kini, ataupun di masa datang. Jika dilakukan kilas balik, pandemi sebelum Covid-19 adalah akibat influenza H1N1. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pandemi H1N1 bermula pada 11 Juni 2009 dan resmi dinyatakan selesai 10 Agustus 2010.
Ini berbeda dengan Covid-19, yang dinyatakan sebagai kedaruratan kesehatan global pada 30 Januari 2020, dengan pandemi bermula pada 11 Maret 2020. Sesudah Covid-19 mereda, WHO mencabut status kedaruratan kesehatan global pada 5 Mei 2023, tetapi tak disebut secara eksplisit bagaimana status pandeminya. WHO hanya menyatakan akan menyusun rekomendasi standar penanganan jangka panjang (longterm management) pandemi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Dengan kata lain, Covid-19 memang penyakit yang masih akan ada sehingga mungkin saja masih akan ada variasi peningkatan kasus dari waktu ke waktu. WHO bahkan sudah membuat rencana strategis 2023-2025 dalam dokumen ”From Emergency Response to Long- term COVID-19 Disease Management”.
Dengan kata lain, Covid-19 memang penyakit yang masih akan ada sehingga mungkin saja masih akan ada variasi peningkatan kasus dari waktu ke waktu.
Varian
Hal lain yang banyak disoroti adalah berbagai varian yang kini beredar. Pemerintah Singapura menyatakan, sampai akhir November 2023, lebih dari 70 persen kasus Covid-19 di negara itu disebabkan oleh varian EG.5 dengan sub-lineage HK.3. Tak ada indikasi bahwa varian ini tidak lebih mudah menular dan tidak menimbulkan penyakit yang lebih berat daripada varian lain.
Sementara itu, Pemerintah Malaysia antara lain menemukan varian BA.2.86 pada kasus di negaranya.
Karena Covid-19 memang masih bersama kita, berbagai varian baru bisa saja akan muncul dari waktu ke waktu. Itu sebabnya, pemantauan varian menjadi bagian penting dalam pengendalian Covid-19. WHO secara rutin memantau varian ini dan melaporkan hasilnya secara rutin. Hal serupa sebaiknya juga kita lakukan di dalam negeri.
Dalam laporan WHO, ”COVID-19 Epidemiological Update” terbaru pada 24 November 2023, disebutkan bahwa WHO saat ini memonitor berbagai varian yang kini banyak ditemukan, yang terdiri atas empat variants of interest (VOI), yaitu XBB.1.5, XBB.1.16, EG.5, dan BA.2.86, serta lima variants under monitoring (VUM), yaitu DV.7, XBB, XBB.1.9.1, XBB.1.9.2, dan XBB.2.3.
Saat ini, varian yang banyak dibicarakan adalah BA.2.86. WHO bahkan mengubah klasifikasinya dari semula VUM menjadi VOI. Sejauh ini, bukti ilmiah menunjukkan bahwa varian BA.2.86, yang kini sudah dilaporkan ada di 46 negara, juga punya gambaran klinis yang praktis tidak berbeda dengan varian yang sebelum ini sudah beredar.
Adapun varian yang kini tercatat paling banyak beredar adalah EG.5 yang dilaporkan di 89 negara dan merupakan 51,6 persen sekuen genom yang dikirimkan ke GISAID, organisasi nirlaba yang selama ini merangkum sekuen genomik di dunia.
-
Yang perlu dilakukan
Dengan kenaikan kasus yang terjadi di Singapura, Malaysia, dan Indonesia, ada beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, pemerintah perlu memonitor dengan ketat perkembangan yang ada dengan terus memperkuat surveilans influenza like illness (ILI) dan severe acute respiratory infection (SARI) serta spesifik surveilans Covid-19.
Data yang perlu dipantau ketat antara lain adalah jumlah kasus di seluruh Indonesia, lengkap dengan data kematiannya, perawatan di rumah sakit, dan lain-lain. Hanya dengan surveilans yang baik dan data yang memadai, kita dapat memahami sepenuhnya apa masalah yang ada dan bagaimana menghadapi.
Akan lebih baik jika data dan informasi yang ada juga selalu disajikan kepada masyarakat luas sehingga kita semua dapat benar-benar mendapat informasi terkini dari waktu ke waktu.
Kedua, karena analisis genomik merupakan salah satu dasar penting diagnosis berbagai varian Covid-19, hal ini juga harus terus diperkuat dan dilebarkan cakupannya. Sejauh ini, varian-varian baru memang tidak menyebabkan penyakit yang lebih berat. Namun, bagaimanapun analisis genomik secara mendalam amat diperlukan karena kita tak sepenuhnya tahu bagaimana perkembangan di waktu mendatang.
Partisipasi kita dalam mengirimkan informasi genomik ke GISAID akan membantu memahami pola varian yang ada di dunia dan kecenderungannya.
Hal ketiga yang perlu dilakukan adalah agar kita, anggota masyarakat, dapat mengelola informasi dengan baik. Berbagai berita, seperti di grup Whatsapp (WA), perlu dilihat dengan bijak, apakah benar atau hanya diviralkan tanpa dasar yang jelas. Sebaiknya kita selalu mengonfirmasinya dengan sumber berita yang resmi, baik dari pemerintah, media massa resmi, maupun WHO.
Dengan perkembangan kasus Covid-19 sekarang ini, memang belum perlu pengetatan protokol kesehatan.
Dengan perkembangan kasus Covid-19 sekarang ini, memang belum perlu pengetatan protokol kesehatan. Akan tetapi, rajin mencuci tangan akan lebih baik. Jika sedang infeksi saluran napas, gunakan masker untuk mengurangi kemungkinan menulari orang lain.
Selesaikan vaksinasi Covid-19 sesuai dengan anjuran resmi. Ada atau tidaknya peningkatan kasus Covid-19 ataupun berbagai penyakit lain, menjaga kesehatan secara umum harus menjadi prioritas seluruh masyarakat. Makan yang sehat dan bergizi, lakukan aktivitas fisik dan olahraga, istirahat yang cukup, hindari kebiasaan buruk bagi kesehatan, serta berkonsultasi dengan petugas kesehatan jika diperlukan.
Data Covid-19 dunia secara keseluruhan sebenarnya tidak menunjukkan peningkatan kasus, bahkan ada sedikit penurunan. Pada periode 28 Oktober-19 November 2023, di dunia tercatat ada 519.399 juta kasus baru dan 2.456 kematian. Angka ini lebih rendah 13 persen dilihat dari jumlah kasus dan lebih rendah 72 persen dari sudut kematian jika dibandingkan dengan periode 28 hari sebelum 28 Oktober 2023.
WHO secara tegas menekankan, penurunan angka ini jangan diinterpretasikan sebagai sudah terjadinya penurunan virulensi Covid-19. Penurunan kasus global dapat saja terjadi akibat kombinasi peningkatan imunitas karena alamiah tertular atau vaksinasi, membaiknya diagnosis dini dan penanganan kasus, sistem kesehatan yang secara umum membaik sesudah pandemi mereda, dan berbagai faktor lain.
Kenaikan kasus di Singapura, Malaysia, dan Indonesia sekarang ini terjadi karena kombinasi berbagai faktor sebagaimana disebut di atas, tetapi sebaiknya kita tidak terlalu cepat menilai akan adanya pemburukan epidemiologi penyakit. Waspada terhadap perkembangan yang ada diperlukan, tetapi kajian dan penanganan sesuai kaidah ilmu pengetahuan yang benar juga penting agar tidak muncul kepanikan tanpa dasar.
Baca juga : Kasus Covid-19 di Jakarta Naik Tiga Pekan Terakhir
Tjandra Yoga Aditama Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit