Aneh memang, tetapi tak kurang aneh ”suara-suara” perempuan yang saya dengar setiba di Lawangwangi.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Lawangwangi. Jalan yang saya susuri dengan taksi menuju tempat itu, nun di atas sana, di mana saya ditunggu untuk suatu acara seni. Seni perempuan. Lawangwangi!! Nama indah, kan? Apalagi ada arti. Lawang! yaitu pintu, tetapi pintu ke mana? Lalu Wangi, yaitu harum, tetapi harum yang mana?
Udara memang terasa kian sejuk dan pikiran saya kian melayang. Apakah menuju pintu awang-awang, nun jauh di sana, melampaui realita? Bisa jadi. Tetapi terpikir kini kisah ”pintu” yang lain, di dalam ragam pertubuhan. Yaitu pintu, yang hanya boleh dilalui masuk, di seberang gunung sang perempuan itu, yaitu gunung Venusnya, atas syarat dan dengan seizin sang perempuan itu. Dan di dalam syarat inilah justru telah muncul apa yang kita sebut peradaban. Peradaban seluruh umat manusia.
Kenapa saya renungkan itu semua. Oh, ya! Karena istilah Lawangwangi bisa jadi merupakan nama tempat, tetapi dari kata ke kata bisa merujuk juga pada akses tubuh ”sang perempuan” di dalam kisah Sangkuriang.
Tubuh sang perempuan memang selalu ada pintunya. Pintu itu ada aksesnya, yang dibuka atau ditutup, sesuai kemauan sang perempuan. Namun, pikir saya, ada kalanya pintu sang perempuan itu selalu terkunci, di dalam situasi mana pun, di dalam budaya mana pun: ia tetap terkunci pada putranya, betapa jaya pun sang putra tersebut. Memanglah! Sang manusia sesungguhnya terlahir sebagai manusia yang sesungguhnya, yaitu dihiasi adab, hanya ketika mematuhi pantangan inses dan menyadari bahwa pengaturan kehidupan seksual adalah dasar proses adab itu sendiri.
Di dalam cerita Sangkuriang, si Sangkuriang ingin menikahi obyek pantangan yang menjadikan kita manusia ini, yaitu ibunya! Ibunya semula tidak tahu bahwa pria yang ingin menikahinya tiada lain adalah putranya sendiri yang ditinggalkan pada waktu masih bayi.
Untungnya, dia menyadari kekhilafannya sebelum terlambat, dan mengajukan suatu permintaan pada peminang yang merupakan putranya itu: ”Bila kau mampu membuat sebuah perahu sebelum matahari terbit, baru akan aku bersedia menikahi kau?” Begitulah titah perintah sang ibu.
Mendengar syarat dari perempuan yang tidak disadarinya adalah ibunya sendiri, Sangkuriang menebang pohon, dan mengukirnya sepanjang malam. Dia mengukir, mengukir, hingga hampir-hampir akan merampungkan perahu itu ketika sang ibu, khawatir putranya berhasil, membangunkan ayam jago sebelum fajar menyingsing. Maka Sangkuriang gagal. Gagal mengawini ibunya, yang pintunya pantang dibuka.
Aneh memang, tetapi tak kurang aneh ”suara-suara” perempuan yang saya dengar setiba di Lawangwangi. Oleh karena Lawangwangi bukanlah pijakan renungan tentang perempuan, adab dan seksualitas saya, tetapi juga tempat acara seni. Seni perempuan.
Di situ, apa yang saya saksikan? Pertama renungan visual seorang perempuan, perempuan Bali perupa, Satya Cipta, antara adab dan tidak adab yang dialaminya ketika ”pintu”-nya dibuka dengan rela atau tidak, bahkan dengan paksa. Dengan karya bergaris memanjang yang kadang mengejar ujung tarikan pena itu sendiri seolah tanpa hentinya, Satya mengantar hingga ke puncak peluk-kasih, puncak pertemuan dua insan. Namun, yang tadinya terang bisa jadi juga gelap di karya yang lain, ketika sang perempuan ter-intrusi tubuhnya, dan pertemuan seksual adalah horor yang penuh dendam.
Namun, di Lawangwangi ada juga wanginya: pemiliknya, juga perempuan, Aan namanya, seorang matematikus kesohor, yang mengejar awang-awang, melampaui puncak-puncak, jauh di atas Tangkubanperahu nun di sana. Oleh karena apa yang dipikirkannya: adab yang berbeda, yaitu adab yang memandang adat: pemikiran akan nalar dan sejarah.
Mengantar saya satu kilometer di atas Lawangwangi, dia menunjukkan kepada saya apa yang dia rencanakan akan membangun: Pak Jean, lihatlah ke bawah ini, katanya. Saya menoleh ke bawah: terlihat menerawang keramaian kota Bandung. ”Pak Jean”, tambah dia menunjukkan sekumpul lereng-lereng, ”di sini akan saya bangun memori seni Bandung: Admiral, Achmad Sadali, Popo Iskandar, dan lain-lain.” Entah kenapa, tiba-tiba terlihat sebuah museum seolah-olah muncul di tengah embun yang menjadi awan. Mimpikah aku?
Oh perempuan, kenapa kau membuatku merenung diseputar diri-kau, pintu-lawang-kau, wangi-kau. Mengapa kau selalu siap, atau tidak siap, memberi apa yang kau berikan. Kenapa kau menjadi misteri rasaku?