Kemandirian Alutsista
Sebab berapa pun anggaran yang diberikan tanpa kemandirian, efisiensi, penguasaan teknologi, dan industri tidak akan banyak manfaatnya dalam jangka panjang untuk negara yang besar ini.
Tanggal 7 Oktober 2023 lalu, dunia dikejutkan serangan Hamas ke Israel dengan ribuan roket dan ribuan tentara Hamas menembus wilayah Israel. Padahal, wilayah Israel selama ini dikatakan tidak mungkin ditembus karena perbatasan dilindungi pertahanan yang kuat, Iron Dome serta bala tentara Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF), yang diperkuat dengan tank-tank Merkava.
Kenapa Hamas dapat menembus masuk ke Israel? Ternyata, di samping semangat yang tinggi untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa Israel, mereka juga memiliki kemampuan teknologi yang dapat mematikan sistem pertahanan Israel.
Pasukan Hamas ini bermodalkan alat utama sistem persenjataan (alutsista), seperti roket dan senjata lain yang dibuat sendiri di lorong-lorong sempit di terowongan Gaza yang panjangnya sampai 500 kilometer. Pembuatan senjata-senjata ini dimungkinkan karena Palestina menguasai teknologi dan juga bantuan dari luar.
Serbuan balasan Israel ke Gaza setelah itu pun tidak terelakkan. Tentara IDF datang dengan perlengkapan dan alutsista teknologi tinggi, seperti pesawat, roket yang dibuat sendiri, dan juga dibantu oleh Amerika Serikat. Israel menyerbu secara membabi buta tanpa rasa perikemanusiaan, menyerang target sipil, termasuk rumah sakit dan permukiman warga.
Perang Hamas dan Israel tersebut memberi kita pelajaran bahwa suatu negara, untuk bisa berdaulat, harus memiliki pertahanan yang kuat dan mendahulukan industri alutsista dalam negeri.
Risiko impor alutsista
Perang Hamas dan Israel tersebut memberi kita pelajaran bahwa suatu negara, untuk bisa berdaulat, harus memiliki pertahanan yang kuat dan mendahulukan industri alutsista dalam negeri. Jangan semua tergantung pada luar dan serba impor. Alasannya, karena dalam situasi perang, sanksi embargo sewaktu-waktu dapat ditimpakan kepada suatu negara.
Bulan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja menyampaikan keterangan setelah rapat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bahwa pemerintah akan meningkatkan anggaran untuk kredit ekspor Kementerian Pertahanan tahun 2024 sebesar 25 miliar dollar AS atau Rp 385 triliun.
Anggaran ini cukup besar untuk ukuran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita, dan tentu menambah utang (kredit ekspor). Kredit ekspor berarti membeli produk luar dengan kredit yang dijamin pemerintah.
Selalu tergantung impor pada sejumlah negara tentu suatu cara yang cepat, tetapi tidak mandiri dan berbahaya apabila terjadi perang, apalagi jika perang berkepanjangan.
Di samping itu, alutsista yang diimpor dari sejumlah negara tersebut sering sangat mahal karena bunga yang tinggi dan komisi yang berlipat-lipat. Belum lagi kemungkinan terjadi penggelembungan (mark-up) tinggi yang sulit dikontrol, karena alasan kerahasiaan.
Memang ada aturan tentang keharusan pemakaian komponen dalam negeri, tetapi sulit dilakukan kalau terlalu mengandalkan produk luar negeri.
Ilustrasi
Indonesia mampu
Kemampuan teknologi kita sebenarnya sejak lama sudah berkembang. Pembuatan kapal-kapal perang ukuran tertentu bisa dibangun oleh PT PAL.
Senjata, peluru, dan kemudian panser Anoa dapat diproduksi oleh PT Pindad. Sementara, PT Dirgantara Indonesia (DI) dapat membuat pesawat. Berikut kerja sama dengan Korea Selatan untuk pembuatan pesawat tempur. Selain itu, ada beberapa perusahaan swasta yang juga berkemampuan membuat alutsista apabila dibutuhkan.
Saya memiliki pengalaman menarik sewaktu konflik Aceh tahun 2002. Saat itu, saya melakukan kunjungan ke Aceh sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) melihat para pengungsi dan sekolah-sekolah yang terbakar.
Ketika rapat di Markas Komando Resor Militer (Korem), saya melihat beberapa truk tentara yang tampak berat di bagian belakang. Saya naik untuk memeriksanya dan ternyata truk TNI itu dilapisi pohon kelapa agar tahan peluru saat terjadi tembak-menembak. Sungguh prihatin melihatnya. Saya katakan, bagaimana mau menang perang kalau peralatannya begini.
Setelah menjabat Wakil Presiden RI pada 2004, saya bertekad untuk mendamaikan Aceh dan juga mengembangkan industri pertahanan dalam negeri.
Kemampuan teknologi kita sebenarnya sejak lama sudah berkembang.
Saya berbicara dengan Menteri Pertahanan Prof Juwono Soedarsono, yang pada masa itu selalu diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, pada setiap pertemuan bersama saya.
Kami pun mulai dari panser atau kendaraan lapis baja pengangkut personel (armored personnel carrier/APC) karena jenis ini kita butuhkan segera dan dapat beroperasi untuk keamanan dan pertahanan dalam negeri.
Rapat digelar di PT Pindad yang direktur utamanya pada waktu itu adalah anak muda yang bersemangat, Ir Budi Santoso. Budi Santoso menjelaskan setumpuk daftar kesulitan yang dihadapi, seperti desain, baja antipeluru yang harus diimpor, serta persoalan teknis lainnya, termasuk dana.
Sebagai solusinya, saya memanggil perusahaan nasional yang ahli di bidangnya, seperti PT Krakatau Steel, untuk pembuatan baja antipeluru.
Mulanya, pihak Krakatau Steel menyatakan tidak sanggup, tetapi saya beri tempo tiga bulan untuk membuat baja antipeluru. Ternyata dalam waktu tiga bulan, PT Krakatau Steel mampu membuatnya. Untuk meyakinkan, Krakatau Steel meminta saya mengetes kekuatan baja tersebut di Bandung. Karena tidak bisa menembak, saya perintahkan pengawal untuk menembak dan terbukti tidak tembus.
Sejumlah teknisi mengerjakan produksi Tank Harimau dari PT Pindad, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/9/2023).
PT Len Industri (Persero) di Bandung membantu sistem elektronik. United Tractor membantu sistem gardan dan transmisi. PT Bukaka membantu sistem pabrikasi. Sementara PT Astra membantu PT Pindad dengan sistem industri yang efisien, yang semula hanya berupa bengkel besar, sehingga dapat meningkatkan produksinya dari empat panser dalam sebulan menjadi 15 panser setiap bulan. Adapun desainnya berhasil diselesaikan oleh ahli-ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Semua ahli-ahli dari perusahaan yang berjasa mengembangkan panser tersebut saya katakan tidak diberi honor, tetapi mereka mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa mereka semua telah membantu program nasional di bidang pertahanan.
Setelah persiapan rampung, maka sebelum panser ini diproduksi, saya minta Komandan Kavaleri di Bandung dan seluruh staf untuk memberi saran yang sesuai kebutuhan dan mereka memilih model panser dengan enam roda.
Ketika itu, mereka terharu atas rencana serta kemampuan anak-anak bangsa tersebut. Memang, sebelumnya juga telah ada panser uji coba yang berhasil dibuat dengan kerja sama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tetapi panser tersebut lebih sering dipakai untuk keperluan pameran.
Biaya dalam negeri
Soal dana yang selama ini selalu bergantung pada kredit ekspor, saya juga memberikan solusi dengan menggunakan pembiayaan dalam negeri lewat bantuan kredit BRI sebesar Rp 500 miliar sebagai modal awal.
BRI sendiri meminta jaminan dari Menteri Keuangan. Kementerian Keuangan meminta rencana mengenai program itu dari Bappenas dan Bappenas meminta ke TNI. Semua prosedur ini rampung dalam seminggu.
Panser Anoa kini menjadi produk kebanggaan yang kemudian dikembangkan dengan tambahan persenjataan meriam dan jenis amfibi.
Sebagai perbandingan, sebelumnya TNI mengimpor panser dari Perancis buatan Renault dengan harga 1 juta euro atau Rp 15 miliar per unit. Sementara, dengan produksi sendiri dari PT Pindad—sudah terhitung ongkos produksi dalam negeri—hanya Rp 7,5 miliar.
Harga ini sudah termasuk keuntungan. Dengan demikian, harga panser Anoa buatan dalam negeri dengan kualitas sama, harganya hanya 50 persen dari harga panser impor, sekalipun mesin masih memakai mesin Renault.
Ketika tiba saatnya produksi dimulai, supaya dapat dibiayai oleh BRI, saya menyetujui permintaan TNI akan 150 unit panser senilai Rp 1,1 triliun dan Menteri Pertahanan meminta panser tersebut diberi nama. Ketika itu saya beri nama Anoa, mengabadikan nama hewan yang kuat, tapi langka yang hidup di hutan Sulawesi.
Panser Anoa kini menjadi produk kebanggaan yang kemudian dikembangkan dengan tambahan persenjataan meriam dan jenis amfibi. Anoa bahkan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diterjunkan untuk memperkuat pasukan perdamaian (peacekeeping force) di banyak negara.
Hingga kini, panser Anoa telah diproduksi sekitar 500 unit untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Anoa hanyalah contoh bahwa bangsa kita sebenarnya mampu memproduksi berbagai alutsista, seperti roket, radar, tank, dan peralatan pertahanan lainnya. Otak, otot, dan dana, kita ada. Tinggal kemauan dan semangat nasionalisme.
Saya ingatkan kembali pengalaman ini, sebab berapa pun anggaran yang diberikan tanpa kemandirian, efisiensi, penguasaan teknologi, dan industri tidak akan banyak manfaatnya dalam jangka panjang untuk negara yang besar ini.
Saya percaya pemerintah dan TNI dapat meneruskan upaya bangsa ini untuk menjaga pertahanan dengan ketahanan dan pengembangan industri dalam negeri secara efisien sehingga terhindar dari masalah di kemudian hari.
Baca juga : Dianggap Tak Lazim, Tambahan Belanja Alutsista Rp 61,7 Triliun Dipertanyakan
M Jusuf Kalla Wakil Presiden RI ke-10 dan 12