Wawancara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019, Agus Rahardjo, di Kompas TV, Kamis (30/11/2023), yang menyinggung intervensi Istana terhadap KPK, memantik perhatian masyarakat.
Agus mengemukakan alasan ia membuka peristiwa ini. Menurut dia, kekecewaannya disebabkan pascamasa kepemimpinannya, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia memburuk dari 40 (2019) menjadi 34 (2022).
Agus juga menyatakan kekecewaannya karena demokrasi telah dirusak. Lebih menarik lagi, betapa cepat keluar reaksi bantahan dari Istana melalui Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana. Presiden sendiri mempertanyakan perlunya mengungkit-ungkit hal ini dan secara samar menyatakan tidak ada pertemuan seperti diceritakan Agus Rahardjo dalam catatan agenda Istana.
Hal wajar apabila kemudian tebersit pertanyaan di benak kita: siapa yang benar? Kepercayaan pada seseorang mencerminkan kredibilitas orang itu, hal yang melekat pada seseorang dalam penilaian sebagian besar masyarakat terhadap kejujuran dan dapat dipercayanya seseorang.
Ada istilah evidences (petunjuk) dan ada istilah proof (bukti). Ungkapan bahasa Jawa sederhana bisa mewakili wajah seseorang. Isuk dele, sore tempe. Mencerminkan tak adanya konsistensi, tak satunya kata dan perbuatan.
Rentetan peristiwa yang terkait dengan pelemahan KPK—melalui revisi UU dan kemudian penempatan KPK di bawah kewenangan eksekutif—dapat dijadikan acuan argumentasi oleh para pakar tentang dampaknya, yakni berupa kegagalan upaya pemberantasan korupsi.
Transparency International pada 25 Januari 2022 menampilkan judul: petty corruption down, but grand corruption persists (korupsi kecil-kecilan berkurang, tetapi korupsi besar bertahan). Kenyataannya, semua ini melahirkan Republik Korupsi yang melibatkan seluruh lembaga pemerintahan dan berbagai profesi masyarakat.
Tak sekadar itu. Besaran astronomik nilai korupsi juga sangat memprihatinkan. Bukan miliaran, melainkan triliunan rupiah, yang pada hakikatnya milik rakyat banyak di negeri tercinta ini. Hal ini selalu mengingatkan kita kembali kepada sinyalemen Buya Syafii Maarif: rancak di labuah. Mentereng di luar, remuk redam di dalam.
Kembali ke pencarian kebenaran di antara yang berseberangan pendapat, di sini letak pentingnya kredibilitas. Kejujuran, ketulusan, integritas pribadi, dinilai dari penerimaan masyarakat. Hal yang dapat, antara lain, ditelusuri dari rekam jejak setiap orang yang sedang kita nilai.
Hadisudjono Sastrosatomo
Menteng Raya, Jakarta Pusat