Target SDGs ”Tanpa Kelaparan” Sulit Tercapai
Amanat Konstitusi ”pangan adalah hak asasi manusia sehingga kelaparan tidak dapat ditoleransi” masih jauh dari kenyataan.
Target nomor dua Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs ”tanpa kelaparan” pada 2030 tampaknya sulit tercapai, baik di tingkat global maupun nasional.
Terlalu banyak hambatan yang menghalangi upaya pencapaian target sangat penting tersebut. Pandemi Covid-19 menjadi penyebab krisis ekonomi, krisis pangan dan energi global, apalagi faktor perubahan iklim, geopolitik dan geospasial telah memperumit keadaan.
Target nomor dua ”tanpa kelaparan” memiliki banyak komponen strategis: akses pangan, gizi kurang (malnutrition), produksi pangan, sistem produksi berkelanjutan, investasi dan pertanian, dan volatilitas harga.
Komitmen global
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada September 2023 menyebutkan, target zero hunger terasa semakin jauh. Lebih dari 600 juta penduduk global diproyeksi akan menderita kelaparan pada 2039 atau satu dari tiga orang akan menghadapi ketidaktahanan pangan (food insecurity).
Sekitar 3 miliar penduduk global tidak mampu memenuhi pangan sehat (healthy diet) sehingga target perbaikan akses pangan sulit tercapai.
Studi International Food Policy Research Institute (IFPRI) mencatat, pada 2023 terdapat 148 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) menderita tengkes (stunting), 45 juta anak menderita kurus (wasting), dan 37 juta menderita kegemukan.
Studi itu menyebutkan, tak ada kemajuan sama sekali dalam penurunan anemia pada wanita rentang umur 15-40 tahun sehingga target penanggulangan gizi kurang sulit tercapai.
Angka prevalensi kurang gizi tingkat global memang kian membaik. Namun, prevalensi anemia pada wanita stagnan di angka 30 persen sehingga perlu upaya khusus mempercepat penanggulangan gizi kurang, baik di tingkat global, negara, maupun komunitas lokal.
Terlalu banyak hambatan yang menghalangi upaya pencapaian target sangat penting tersebut.
Tiga komitmen global untuk mencapai target nomor dua SDGs bisa diikhtisarkan sebagai berikut. Pertama, peningkatan investasi infrastruktur perdesaan, penelitian dan pengembangan (R&D) pertanian dan penyuluhan pertanian. Komitmen ini telah dilakukan. Anggaran R&D dan dukungan pertanian mulai meningkat walau masih terlalu kecil untuk melaksanakan intensifikasi berkelanjutan, khususnya di negara berkembang.
Total anggaran 800 miliar dollar AS per tahun di tingkat global untuk subsidi pertanian cenderung menciptakan distorsi baru, bahkan agak jauh dari pencapaian target nomor dua SDGs.
Kedua, pengurangan hambatan dan distorsi perdagangan pada pasar produk pertanian. Fakta lapangan, hambatan perdagangan dan perlindungan harga di banyak negara justru menjadi penyebab kenaikan dan volatilitas harga pangan global.
Kebijakan larangan ekspor beras oleh India berdampak pada kenaikan harga beras global, hingga melampaui 600 dollar AS per ton, rekor tertinggi setelah krisis pangan 2008. Indonesia terkena dampak buruk strategi diplomasi negatif India karena harga beras rata-rata di pasar domestik telah melampaui Rp 14.600 per kilogram, rekor psikologis, apalagi di tengah suasana politik dan perubahan iklim.
Ketiga, peredaman volatilitas harga pangan melalui sistem pasar komoditas pangan yang lebih beradab, fasilitasi akses informasi pasar secara cepat, termasuk cadangan pangan. Sistem Informasi Harga Pertanian (AMIS) yang dikembangkan G20 sebenarnya membantu memperbaiki informasi dan transparansi pasar pangan di tingkat global.
Ilustrasi
Akan tetapi, volatilitas harga pangan tetap tinggi, bahkan cenderung meningkat melebihi tren yang terjadi 10 tahun terakhir. Tak ada suatu upaya bersama yang terintegrasi untuk mengelola cadangan pangan pokok, bahkan untuk tingkat Asia Tenggara (ASEAN) sekalipun.
Data cadangan pangan tidak lengkap, bahkan isu cadangan pangan pemerintah (public stock holdings) terus mewarnai perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Target SDGs Indonesia
Di Indonesia, ketahanan pangan masih sering dipersepsikan sempit sebagai swasembada pangan, atau lebih sempit lagi swasembada padi, jagung, dan kedelai (pajale). Dalam konteks target nomor 2 SDGs, komitmen yang dicanangkan Indonesia adalah ketahanan pangan dan gizi, setidaknya perbaikan kualitas pangan yang beragam, bergizi, sehat, dan aman (B2SA).
Namun, status ketahanan pangan Indonesia menurut Global Food Security Index (GFSI) 2022 masih di urutan ke-63 dari 113 negara, jauh di bawah Singapura (28), Malaysia (41), dan Vietnam (46).
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pencapaian kinerja target nomor dua SDGs Indonesia. Misalnya, prevalensi penduduk rawan pangan sedang atau berat tahun 2022 masih 4,85 persen, dengan variasi lebar, dari 2,87 persen di Yogyakarta hingga 10,31 persen di Papua Barat.
Kita menghadapi persoalan serius beban gizi ganda (double burden malnutrition/DBM). Fenomena gizi kurang dan gizi lebih terjadi bersamaan, sebagai manifestasi perubahan sistem pangan, yang mengarah ke pangan olahan tak sehat dan supermurah. Masyarakat cenderung mengurangi aktivitas di kantor, rumah, dan jalan karena perubahan teknologi yang memanjakan tubuh, tanpa harus bergerak.
Fenomena gizi kurang dan gizi lebih terjadi bersamaan, sebagai manifestasi perubahan sistem pangan, yang mengarah ke pangan olahan tak sehat dan supermurah.
Jurnal bergengsi bidang kesehatan masyarakat The Lancet (2020) menyebutkan, Indonesia paling banyak mengalami DBM. Nyaris seluruh provinsi menderita anak balita tengkes dan dewasa 18 tahun gemuk. Bahkan, sekitar 68 persen penduduk tak mampu mengakses pangan sehat bergizi (Kompas, 9/12/2022).
Laporan the Economist Intelligence Unit tahun 2022 mencatat skor diversifikasi pangan Indonesia hanya 16,4 (pada skala 0-100) atau terendah di ASEAN, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia (55,3), Thailand (47,8), dan Vietnam (37,3).
Menurut studi Herforth dkk (2022), harga rata-rata pangan sehat di Indonesia paling mahal, mencapai Rp 68.713 per hari, lebih tinggi dari di Thailand (Rp 66.407), Filipina (Rp 63.179), dan di Malaysia (Rp 54.417).
Amanat Konstitusi bahwa ”pangan adalah hak asasi manusia sehingga kelaparan tidak dapat ditoleransi” masih jauh dari kenyataan. Permasalahan tengkes bersifat multidimensional, tidak hanya kemiskinan dan akses pangan, tetapi juga pola asuh dan pemberian makan pada anak balita.
Berikut rekomendasi dan perubahan kebijakan yang perlu diambil pemerintah atau para calon pemimpin bangsa yang berkontestasi di Pemilu 2024.
Ilustrasi
Pertama, pembangunan sistem pangan dan pertanian yang berdaya saing dan inovatif, alokasi anggaran R&D yang memadai untuk mengembangkan ekosistem inovasi melalui sinergi dan kemitraan pemerintah, dunia usaha, akademik, dan masyarakat madani.
Kedua, pengembangan pangan beragam, bergizi, sehat, aman (B2SA), dan terjangkau, mendorong diversifikasi, pangan fungsional berbasis potensi dan kearifan pangan lokal, kerja sama antardaerah (KAD), untuk mencapai kemandirian pangan secara bermartabat.
Ketiga, penguatan sistem dan manajemen cadangan pangan di pusat, daerah, dan masyarakat melalui pemberdayaan UMKM dan koperasi, skema kemitraan UMKM dengan usaha besar yang lebih beradab dan menguntungkan.
Keempat, pendampingan petani dalam manajemen usaha tani, intensifikasi yang lebih berkelanjutan, pertanian presisi, digitalisasi rantai nilai, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, rekayasa sosial dan kelembagaan, serta integrasi pengembangan manusia pertanian untuk meningkatkan inklusivitas dan kesejahteraan petani.
Baca Juga: Rapor Pembangunan Berkelanjutan Indonesia
Bustanul ArifinGuru Besar Universitas Lampung dan Ekonom Senior Indef