logo Kompas.id
OpiniDemokrasi di Persimpangan
Iklan

Demokrasi di Persimpangan

Dalam praksis, kekuasaan bisa terlampau rakus. Sebagai prinsip, demokrasi haruslah luhur dalam ingatan dan batin sosial.

Oleh
BONI HARGENS
· 5 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Mungkinkah Pemilu 2024 menyeret kita ke masa lalu? Bagaimana mistifikasi dan demistifikasi kekuasaan terjadi di era modern? Bagaimana kita menjamin nilai kebajikan, kebebasan, dan persahabatan di tengah persaingan politik yang antagonistis?

Kalau membaca Sermones, satirnya Horatius Flaccus atau Horace dalam lidah Inggris, kita menemukan bait-bait indah yang bermakna mendalam yang tertulis dalam bahasa Latin kuno. Horatius, hidup antara tahun 65 dan 8 sebelum Masehi (SM), budayawan terkenal dalam sejarah Romawi.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Ia, tentu saja, menyaksikan dinamika politik Romawi yang begitu konfliktual setelah kematian Julius Caesar pada 44 SM. Oktavianus, anak angkat Caesar, ikut dalam upaya perebutan kekuasaan itu bersaing dengan bangsawan lain. Berkat dukungan Jenderal Markus Antonius, yang jaya di masa Caesar, ia berhasil naik takhta pada 27 SM hingga kematiannya tahun 14 SM.

Horatius menulis berkisar 35 SM-33 SM. Artinya, Helenisme sedang berkembang pesat, di mana budaya filsafat Yunani berbaur dengan budaya Romawi yang mistik dan berorientasi pada perjuangan keadilan (melalui perang). Karya Horatius mengandung dua kutub budaya itu, sebuah perjuangan membangun moderasi mistifikasi dan demistifikasi!

Para peminat filsafat era modern berdebat soal apakah Horatius bernuansa politis atau apolitis. Basil Dufallo (2015) melihat dimensi politik yang kental dalam kata-kata halus yang sarat sindiran dalam karya Horatius. Dufallo melihat makna politik, misalnya, dalam pembelaan halus dari kubu Oktavianus dan Maecenas di hadapan mereka yang mengajukan kritik dengan tetap menjaga artikulasi tersirat dari keyakinan mereka terhadap nilai-nilai moderasi, kebebasan (libertas), dan persahabatan (amicitia).

Hari ini, kita berada di persimpangan, antara mau maju atau mundur.

Memang, Horatius melontarkan satir yang menggaungkan kerinduan seluruh warga Romawi zaman itu tentang kepastian dan kestabilan di tengah konflik dan ketidakmenentuan—sembari ia menunjukkan pengasingan diri (self-seclusion) dari politik! Sang penyair tampak menjauh dari panggung kekuasaan, tetapi sekaligus maju bertindak melalui serangan verbal.

Kembali ke masa lampau

Hari ini, kita berada di persimpangan, antara mau maju atau mundur. Faktanya, tidak mungkin maju dan mundur terjadi bersamaan. Horatius pun tak sesungguhnya menjauh dari politik karena syair-syairnya menorehkan sindiran politik. Pemilu 2024 adalah titik singgung antara masa lalu dan masa depan, antara kecewa dan harapan.

Kita layak berekspektasi siapa pun yang menang bakal mampu menjaga gerak sejarah demokrasi dalam trayektori konstitusional yang berbasis vox populi vox Dei [est], ’suara rakyat adalah suara Tuhan’. Namun, politik melampaui harapan. Ia butuh tindakan.

Untuk itu, ”suara Tuhan” harus digerakkan dalam praksis untuk mewujudkan realitas politik yang demokratis. Betul yang dibilang Romo Franz Magnis-Suseno, dalam pemilu kita tak mencari yang terbaik, tetapi mencegah yang terburuk menang. Kita mungkin mendapat kambing, alih-alih domba, tetapi dalam pemilu kita mesti mencegah serigala berbulu domba menang.

https://cdn-assetd.kompas.id/3T-HPtaZ1IbWCEZ2ngKp3J6KMHM=/1024x594/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F18%2F36c98f3c-d975-4861-b0ae-e7b09fad794b_jpg.jpg

.

Banyak yang sadar, kembalinya keluarga Thaksin di Thailand atau keluarga diktator Marcos ke dalam kekuasaan Filipina hari ini mungkin berpotensi menjadi ”gejala kawasan” di Asia Tenggara—sebuah fenomena politik abad ke-21 yang disuburkan oleh kerapuhan ingatan kolektif masyarakat tentang sejarah kelam di masa lalu.

Buku sejarah yang masih terjual di pasar menulis tentang penggulingan rezim otoriter keluarga Marcos melalui aksi people power yang dipimpin Kardinal Sin, Kepala Gereja Katolik di Filipina, pada Februari 1986.

Dalam perspektif Huntingtonian, Filipina mendahului banyak negara di kawasan Asia yang tertular gelombang ketiga demokrasi di pengujung abad ke-20. Indonesia mengalami itu melalui gerakan Reformasi 1998 yang menggulingkan rezim otoritarian Soeharto yang berkuasa lebih dari 32 tahun.

Samuel Huntington (1991) juga meramalkan adanya arus balik demokratisasi, the reverse of democratization, sebagai antitesis dari ”gelombang demokratisasi”. Kalau kembalinya keluarga rezim otoriter ke dalam kekuasaan jadi fenomena kawasan, apakah artinya Indonesia rawan dengan sindrom yang sama?

Mistifikasi

Oktavianus diberi gelar ”Agustus” (baca: Raja) oleh Senat Romawi di usia 30 tahun. Namun, ia berbeda dari Caesar yang menyebut dirinya ”allah” dengan gelar ”Divus Iulius”, Julius allah. Kaisar Agustus menyebut dirinya ”divi filius”, anak allah. Ini contoh mistifikasi kekuasaan di masa lalu. Kita jumpai dalam banyak konteks budaya modern.

Di Filipina yang berbasis ”politik keluarga”, narasi tentang keagungan Filipina di era Ferdinand Marcos membentuk persepsi positif, terutama di kalangan pemilih milenial dan generasi Z yang cenderung rapuh perihal kesadaran historis sehingga Bongbong Marcos Junior menang telak (59 persen) di Pemilu 2022.

Iklan

Kalau kembalinya keluarga rezim otoriter ke dalam kekuasaan jadi fenomena kawasan, apakah artinya Indonesia rawan dengan sindrom yang sama?

Menjelang 2024, kita juga menjumpai narasi yang mirip soal makeAmericagreat again di kalangan sayap-kanan pendukung Donald Trump di Amerika.

Indonesia mengalami mistifikasi serupa. Ada propaganda, di era Soeharto, ekonomi maju dan keamanan masyarakat terjamin. Orang lalu mengasosiasikan mitos itu pada sosok keluarga atau kerabat di masa kini. Semua itu berpadu dalam kecanggihan rekayasa kampanye politik sehingga berdampak terhadap elektabilitas.

Demistifikasi

Ada banyak cerita yang bukan mitos, tetapi layak dimistifikasi. Misalnya, Indonesia mengalami kemajuan infrastruktural dan pembangunan berbasis keadilan sosial di era Presiden Joko Widodo. Orang-orang pinggiran menjadi saksi atas sejarah ini, kalau mereka yang di pusat terlalu sungkan untuk berkata jujur!

Cerita Jokowi bukan cerita Orde Baru. Konteks masa kini Jokowi bukan konteks masa lalu Soeharto. Maka, keberhasilan Presiden Jokowi tak bisa meredupkan ingatan sejarah tentang ketidakberhasilan 32 tahun Soeharto.

Keduanya tak berkaitan secara kausal. Tidak pula memiliki koneksi ideologis. Maka, seharusnya tak saling menopang. Sebab, dengan mengakui keberhasilan Jokowi, tak mungkin serentak berarti kita menambal lubang sejarah bangsa yang disebabkan rezim otoriter dulu.

https://cdn-assetd.kompas.id/QqkGly4j9o-K9vvJc0fZ5tPOM1w=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F10%2F330ebd56-76c7-4c68-9a19-82555c1a439f_jpg.jpg

Ilustrasi

Orang yang bijak tahu membaca sejarah, bahwa keamanan di masa lalu itu keamanan palsu. Partisipasi publik dalam demokrasi Orde Baru adalah ”ritual kosong”, meminjam bahasanya Arnstein (1969), karena pemenang pasti tiap pemilu adalah mesin politik rezim bernama Golongan Karya alias ”Golkar”.

Ekonomi yang stabil adalah bubble economy yang rapuh dan rentan ambruk karena pembangunan berbasis utang luar negeri yang diperburuk korupsi politik yang marak. Mitos tentang Orde Baru hanya efektif bagi mereka yang (pura-pura) melupakan sejarah dan/atau yang hanya memburu kekuasaan.

Beranjak dari persimpangan

Eia!Quid statis? Hei!Kenapa berdiri diam saja? Begitu tulis Horatius dalam Sermones. Kita harus berani mengambil arah. Tak mungkin sejarah berhenti di persimpangan. Maka, menentukan pilihan adalah keharusan. Untuk itu, ada beberapa hal yang barangkali fundamental untuk direnungkan.

Pertama, memilih orang dalam pemilu memang tindakan personal, tetapi pertimbangannya haruslah sosial. Ada kepentingan bangsa dan negara yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan diri dan kedirian. Ada harapan publik yang harus dirawat dan ada mimpi yang harus dihormati kesuciannya.

Demokrasi hidup dan diagungkan karena dibangun di atas keluhuran harapan dan kesucian mimpi itu. Ya, dalam praksis, kekuasaan bisa terlampau rakus. Tetap saja, sebagai prinsip, demokrasi haruslah luhur dalam ingatan dan batin sosial masyarakat.

Demokrasi hidup dan diagungkan karena dibangun di atas keluhuran harapan dan kesucian mimpi itu.

Untuk itu, kedua, para kandidat perlu mengutamakan narasi dan kampanye positif. Sebagai pendidikan politik, kampanye mencegah antagonisme menjadi permusuhan terbuka. Maka, berita bohong, intimidasi, penyimpangan informasi, dan segala bentuk pembodohan publik selayaknya ditanggalkan.

Ketiga, instrumentalisasi politik harus didasari dan dibarengi dengan niat luhur, tradisi kejujuran, dan kesadaran etis untuk memperjuangkan kebaikan umum. Untuk itu, tiap kandidat perlu jujur dan adil dalam dirinya supaya dapat jujur dan adil di hadapan dan untuk rakyat. Kalau tidak, rakyat akan memandang pemilu tak lebih dari sekadar ritual kosong.

Hati nurani sudah miskin relevansi karena operasi ”politik uang”, termasuk semua bentuk rekayasa politik yang berorientasi pada kemenangan elektoral semata, telah membisukan batin.

Keempat, rakyat pemilih mesti memandang horizon yang terjauh untuk bisa memproyeksi masa depan. Politik praktis sering kali menawarkan horizon pendek yang membuat orang mudah terjebak dalam fatamorgana. Hidup berbangsa dan bernegara membutuhkan sikap bijak agar dapat melihat terang dalam kegelapan dan menjangkau titik transendensi terjauh melampaui garis-garis ketersesatan hasrat dan kedangkalan ambisi manusiawi. Wallahualam!

Baca juga : Rasa Keadilan dan Stabilitas Politik

Boni Hargens
KOMPAS.COM

Boni Hargens

Boni HargensAnalis Politik

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000