Hilirisasi, Distribusi, dan Teritori
Meskipun pertumbuhan ekonomi terbilang tinggi selama beberapa tahun, sayangnya tidak diikuti pemerataan kesejahteraan.
Data melimpah dan berserak, sementara kapasitas manusia berjalan merangkak. Angka-angka perlu dijahit agar menjadi keputusan yang valid.
Hari-hari ini data menjadi lebih penting karena para kandidat calon presiden beradu menawarkan gagasan dan kebijakan. Isu ekonomi pasti menjadi salah satu gugus pertempuran ide tersebut.
Temuan survei dalam lima tahun terakhir selalu menyembulkan tiga perkara pokok yang disuarakan publik: harga pangan, kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Selama sembilan tahun, pemerintahan sekarang juga bekerja secara eksesif mengatasi tiga soal itu.
Inflasi menjadi kisah keberhasilan paling mencengangkan (meski kenaikan harga pangan masih dikeluhkan). Tentu masalah ekonomi lebih lebar dari ”sekadar” tiga hal itu sehingga tiap kandidat juga mesti bergegas menyiapkan amunisi gagasan bagi masa depan ekonomi bangsa. Data akan segera bersuara.
Lanskap deindustrialisasi
Tengok data berikut ini yang berbisik soal situasi sektor manufaktur dunia. Sepuluh besar produk manufaktur dunia disumbang oleh negara-negara berikut.
China (28,4 persen), AS (16,6 persen), Jepang (7,5 persen), Jerman (5,8 persen), India (3,3 persen), Korea Selatan (3,0 persen), Italia (2,3 persen), Perancis (1,9 persen), Inggris (1,8 persen), dan Indonesia (1,4 persen) [safeguardglobal.com, 2023]. Ada lima negara Asia yang masuk 10 besar. Indonesia menjadi satu-satunya negara wakil ASEAN.
Tidak banyak warga yang yakin Indonesia bisa meraih posisi prestisius ini karena negara masih dihantui level daya saing dan inovasi yang belum mapan.
Kebijakan pemerintah yang menggeber program hilirisasi dalam lima tahun terakhir menemui relevansinya.
Satu lagi yang menyentak, ranking itu diperoleh pada saat kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 20 tahun terakhir terus menurun. Pada 2022, donasi sektor manufaktur terhadap PDB tinggal 18,3 persen (pada 2004 angkanya masih di kisaran 29 persen) [BPS, diolah]. Artinya, tiap tahun kontribusi sektor industri rata-rata turun 0,5 persen.
Kebijakan pemerintah yang menggeber program hilirisasi dalam lima tahun terakhir menemui relevansinya. Pertama, kebijakan tersebut akan meningkatkan kembali level sumbangan sektor industri mendekati 30 persen.
Jika ini dicapai, impian mewujudkan negara maju bisa direalisasikan, termasuk menjadi negara dengan pendapatan per kapita di atas 12.000 dollar AS. Sebaliknya, jika kebijakan ini terabaikan, jebakan negara berpendapatan menengah menjadi keniscayaan.
Kedua, kebijakan hilirisasi akan mengerek peringkat Indonesia menjadi lebih tinggi dalam peta produsen barang manufaktur global. Jika saat ini di urutan 10 besar, dalam lima tahun ke depan Indonesia bisa menjemput urutan tujuh atau delapan. Posisi Italia, Perancis, dan Inggris sangat mungkin direbut jika hilirisasi dapat dieksekusi.
Jadi, kesadaran hilirisasi bukan sekadar soal peningkatan kesejahteraan, melainkan juga persepsi perkara kemajuan.
Dani Rodrik (2013) pernah memakai istilah automatic escalator untuk mendeskripsikan kebugaran sektor manufaktur mendongkrak perekonomian.
Ilustrasi
Secara global seluruh negara yang saat ini dikenal sebagai bangsa maju menggunakan alas sektor industri sebagai titik pijak pembangunan. Lebih menukik lagi, pengalaman di negara maju, sektor industri merupakan tiket mengatasi kemiskinan (dibandingkan dengan sektor pertanian dan jasa). Sektor manufaktur tidak hanya mengangkat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membesarkan pembukaan lapangan kerja.
Masalahnya, sekarang peran sektor manufaktur tinggal 15 persen terhadap PDB global, turun drastis dari 25 persen pada dekade 1970-an (Sharma, 2022). Jadi, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga peristiwa jamak di level global. Problemnya, kejadian di Indonesia berlangsung ketika hilirisasi belum menjadi habitus perekonomian.
Mata rantai investasi
Negara-negara maju pada fase awal pembangunan memiliki rasio investasi terhadap PDB yang tinggi, setidaknya 30 persen. Namun, saat ini rasionya hanya 20-25 persen. Tidak mudah menggenjot pertumbuhan ekonomi jika rasio investasi pada kisaran itu.
Jika Indonesia ingin mendorong sektor manufaktur terbang lebih tinggi, syarat pokok yang mesti dicapai adalah menjaga level investasi. Data 10 tahun terakhir di Indonesia menunjukkan tingkat investasi yang tinggi, rata-rata pada kisaran 32 persen.
Pada 2019, misalnya, rasio investasi terhadap PDB mencapai 32,25 persen. Sayangnya, setelah 2019 rasio investasi cenderung menurun hingga menjadi 29,08 persen pada 2022 (World Development Indicator, beberapa tahun). Pada saat ekonomi global cenderung muram seperti sekarang, butuh ikhtiar sangat keras demi mendongkrak investasi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi.
Pada saat ekonomi global cenderung muram seperti sekarang, butuh ikhtiar sangat keras demi mendongkrak investasi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi.
Pengalaman negara berkembang yang kemudian menjadi negara maju, seperti Korsel dan China, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen selama 10 tahun berturut-turut agar pendapatan melompat. Problem di Indonesia ialah tingkat efisiensi investasi yang rendah, ditunjukkan oleh incremental capital output ratio (ICOR) yang tinggi.
Intinya, dibutuhkan modal (investasi) lebih besar untuk menghasilkan output (sebagai sumber pertumbuhan ekonomi) yang sama. Jadi, dalam situasi sekarang dibutuhkan rasio investasi sekitar 37 persen terhadap PDB agar pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen.
Perlu perbaikan ekosistem investasi secara dramatis, termasuk isu kelembagaan (perizinan, perpajakan, logistik, dan pertanahan) serta belanja publik untuk investasi (termasuk riset) [Haskel dan Westlake, 2018]. Tanpa kelengkapan perkakas itu amat sulit menerbangkan rasio investasi ke level 37 persen.
Isu berikutnya adalah memperbaiki ICOR agar menjadi lebih rendah (efisien). Pelajaran berharga dari negara lain yang berhasil adalah memastikan infrastruktur dasar dibenahi terlebih dulu, dan dari sana nantinya kita akan memanen pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan jalan, listrik, sistem pengairan, bendungan, pelabuhan, dan bandara menjadi alas efisiensi investasi (ICOR). Pilihan pembangunan infrastruktur (termasuk infrastruktur pengetahuan) harus mendahului pengembangan sektoral (misalnya manufaktur teknologi). AS dan China merupakan contoh negara yang mengamalkan hal itu sehingga laju pertumbuhan ekonominya tinggi pada masa silam.
Jika efisiensi investasi tinggi, rasio investasi terhadap PDB cukup dijaga pada level 30-35 persen. Mata rantai inilah yang layak dipahami sehingga kerangka berpikir dan urutan pembangunan ekonomi bisa diselenggarakan secara teknokratis dan sistematis.
Merajut distribusi
Apakah jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil bisa dicapai lantas seluruh perkara terpecahkan? Sama sekali tidak. Salah satu ancaman yang mengintip ialah distribusi pendapatan.
Tidak banyak cerita keberhasilan yang bisa dikutip, di mana pertumbuhan tinggi selama beberapa tahun akan diikuti pemerataan kesejahteraan. Justru yang kerap terjadi: pertumbuhan melahirkan kepincangan. Biasanya pertumbuhan ekonomi menghendaki intensitas modal yang besar. Akses modal hanya menempel pada segelintir pelaku usaha.
Insentif modal (dan lahan) mesti tinggi agar pelaku bisnis masuk ke aktivitas ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan tinggi (Piketty, 2021). Implikasinya, jika pertumbuhan ekonomi diperoleh, penikmat terbesar adalah pelaku usaha yang menggenggam modal itu. Ini yang menyebabkan pertumbuhan bersekutu dengan ketimpangan kesejahteraan.
Indonesia kenyang dengan kisah ini. Salah satu pranata yang membuat disparitas tinggi adalah penguasaan modal dan lahan. Ini merupakan warisan kebijakan puluhan tahun silam sehingga ketimpangan yang dihadapi sekarang hasil agregasi praktik kebijakan lama.
Salah satu pranata yang membuat disparitas tinggi adalah penguasaan modal dan lahan.
Setelah reformasi ekonomi 1997/1998, ketimpangan sempat turun sebentar, tetapi semenjak 2005-2014 terus meningkat dengan rasio gini di atas 0,4. Sejak 2005 sampai saat ini, pemerintah berjibaku mengatasi ini sehingga secara perlahan ketimpangan bisa ditekan dan rasio gini turun menjadi 0,38.
Dua selang yang disemprotkan pemerintah meliputi dua kebijakan inti. Pertama, perbaikan penguasaan aset produktif (khususnya tanah) via kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Kedua, paket kebijakan bantalan sosial yang eksesif untuk menjaga daya beli kelompok yang paling rentan.
Hilirisasi yang bakal diintensifkan ke depan juga punya masalah yang mirip: berpotensi menciptakan distribusi pendapatan yang buruk. Terdapat tiga jalur yang bisa dikerjakan untuk mencegah.
Pertama, hilirisasi yang padat modal dan bersifat ekstraktif (seperti pertambangan dan perkebunan) sebagian besar dikerjakan oleh BUMN/BUMD. Sektor swasta (asing dan domestik) dapat berpartisipasi jika bekerja sama dengan BUMN/BUMD.
Kedua, hilirisasi juga menjamah sektor yang tak terlalu padat modal (seperti pertanian, peternakan, dan perikanan) sehingga kelompok petani dan nelayan (komunitas) bisa terlibat penuh dalam gerakan ini, baik lewat koperasi maupun badan usaha milik desa (BUMDes).
Ketiga, hilirisasi dikerjakan pada level lokal (seperti kawasan perdesaan) sehingga kerja sama antarpelaku ekonomi kecil (misalnya UMKM) dapat diikhtiarkan. Pemerintah memfasilitasi penuh pendampingan, pendanaan, dan alih daya pengetahuan.
Hilirisasi dan teritori
Istilah ”lokal” di atas sebetulnya bisa diperdalam untuk menimbang pemerataan antarwilayah. Ekonomi lokal tidak hanya bermakna mengerjakan aktivitas bisnis pada level komunitas/daerah oleh warga setempat, tetapi juga menahan sumber daya ekonomi pokok (uang) agar tetap bergulir di daerah sebanyak dan selama mungkin.
Studi yang dilakukan oleh Institute for Local Self-Reliance menunjukkan: jika seseorang membelanjakan 100 pound sterling di toko lokal, 45 pound sterling akan tetap bermukim di tempat itu. Jika orang makan di restoran franchise nasional atau internasional, hanya 30 persen uang yang bertahan di desa/kota (bagian itu hanya dipakai untuk membayar upah pekerja).
Sebaliknya, jika rumah makan atau kedai milik lokal, kapital yang mengendap di wilayah bisa mencapai 80 persen, misalnya dipakai juga untuk membeli sayuran dan bahan baku lainnya dari warga lokal (Elmark, 2020).
Sampai pada titik ini latar tersebut bertemu dengan realitas betapa tipisnya lapis pengusaha kecil dan menengah di Indonesia. Jumlah mereka hanya sekitar 1 persen dari total usaha.
Usaha kecil susah naik kelas menjadi bisnis menengah. Demikian pula usaha menengah sulit melompat menjadi bisnis besar. Usaha kecil dan menengah belum terpapar kepemilikan asing, bahkan usahanya belum lintas provinsi. Implikasinya, jika gabungan usaha kecil dan menengah mengerjakan investasi hilirisasi (seperti komoditas berbasis pertanian), bukan hanya nilai tambah yang akan meloncat.
Sumber daya ekonomi negara dikerahkan untuk menopang gerakan ekonomi baru yang bertumpu pada inovasi dan pelaku ekonomi dalam negeri/lokal (komunitas).
Hasil dari usaha itu juga akan berputar di sekitar wilayah dalam proporsi yang besar dan jangka waktu yang lama. Adler (2019) menyebut praktik ini dengan istilah collaborative working. Lelaku ini semacam gerakan ekonomi ”teritori”. Pendekatan ini tak dimaksudkan untuk mengisolasi perekonomian, tetapi lebih ke penekanan pada komunitas dan wilayah lokal. Tentu ini bukan mandat sederhana. Dibutuhkan beragam kerja ideologis dan teknokratis.
Para capres yang berkontestasi di Pilpres 2023 selayaknya tak mengumbar janji pertumbuhan ekonomi yang melangit, tetapi memastikan terjadinya peningkatan pertumbuhan secara perlahan dengan jalan menggeser penumpukan modal pada sekelompok kecil warga ke institusi bisnis negara (BUMN/BUMD/BUMDes) dan/atau kekuatan ekonomi lokal (koperasi/UMKM).
Sumber daya ekonomi negara dikerahkan untuk menopang gerakan ekonomi baru yang bertumpu pada inovasi dan pelaku ekonomi dalam negeri/lokal (komunitas). Usaha besar (domestik dan luar negeri) tetap punya kavling untuk terlibat dalam gerakan ekonomi ini asalkan menghormati paket kebijakan yang telah dirumuskan. Jika langkah ini disertai dengan injeksi pengetahuan kepada para pelaku/institusi ekonomi lokal, keadilan dan kesejahteraan akan merayap secara bersamaan.
Baca juga : Janji untuk UMKM Indonesia
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya; Ekonom Senior Indef; Kepala Sekretariat Wakil Presiden (Kasetwapres)