Dilema Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia
Sebanyak 12,72 persen kepala rumah tangga merupakan perempuan. Sekitar 40 persennya tidak bekerja.
Sejumlah perempuan terpaksa menjadi tulang punggung dan kepala keluarga karena tuntutan keadaan. Stigma masyarakat yang sebagian masih menganggap peran ibu ”hanya” merawat anak dan mengurus rumah tangga dipatahkan dengan adanya fenomena perempuan kepala keluarga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada 2022 sebanyak 12,72 persen kepala rumah tangga di Indonesia merupakan perempuan. Persentase ini menurun jika dibandingkan pada 2021 yang sebesar 14,38 persen. Lima tahun terakhir, persentase perempuan kepala keluarga di Indonesia menurun, yakni pada 2018 sebesar 15,17 persen.
Perempuan kepala keluarga menurut Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (International Labour Organization/ILO) adalah ketika di keluarga tersebut tidak ada lelaki dewasa, yang bisa disebabkan oleh perceraian, migrasi, tidak menikah, atau janda. Perempuan kepala keluarga juga bisa diartikan bahwa meskipun ada lelaki dewasa dalam keluarga, lelaki tersebut tidak berkontribusi pada pendapatan utama keluarga karena disabilitas, umur tua, ataupun tidak berkapasitas untuk menghasilkan pendapatan (tetapi bukan karena pengangguran).
Baca juga: Perempuan Kepala Keluarga Dihantui Paradigma Lama
Menurut Bank Dunia (World Bank), definisi perempuan kepala rumah tangga bisa berbeda di setiap negara. Beberapa negara menganut pemahaman bahwa perempuan tidak bisa disebut sebagai kepala rumah tangga apabila masih terdapat lelaki dewasa di rumah tangga tersebut karena stereotip jender.
Bank Dunia menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah perempuan kepala keluarga di negara berkembang. Peningkatan jumlah perempuan kepala keluarga ini, menurut Bank Dunia, sebenarnya bukan karena perubahan budaya pada masyarakat, melainkan karena perubahan ekonomi, resesi ekonomi, dan tekanan sosial.
Perempuan kepala keluarga di negara berkembang sebagian besar merupakan janda yang suaminya meninggal, bukan karena perempuan tersebut tidak menikah atau cerai. Pernyataan Bank Dunia tentang kondisi perempuan kepala keluarga di negara berkembang tersebut sesuai dengan kondisi di Indonesia. BPS menggolongkan latar belakang perempuan yang menjadi kepala keluarga dibagi menjadi empat hal, yaitu cerai mati, cerai hidup, kawin (menikah), dan belum kawin (belum menikah).
Data BPS pada 2022 menunjukkan bahwa kondisi rumah tangga pada perempuan kepala keluarga sebagian besar kondisi keluarga cerai mati (70,37 persen), cerai hidup (16,7 persen), masih menikah tetapi suami tidak dapat menafkahi (9,04 persen), ataupun belum menikah (4,52 persen). Proporsi kondisi penyebab perempuan menjadi kepala rumah tangga ini tidak berubah sejak 2018 hingga 2022, bahwa mayoritas perempuan kepala keluarga disebabkan karena cerai mati.
Perempuan kepala rumah tangga yang menjadi tulang punggung keluarga tentu harus ditopang dengan penghasilan yang cukup. Kebutuhan akan penghasilan yang cukup bertolak belakangan dengan data BPS yang menunjukkan bahwa ternyata hanya 60,47 persen perempuan kepala keluarga di Indonesia yang bekerja pada 2022. Persentase ini menurun dari tahun 2021 di mana terdapat 62,42 persen perempuan kepala keluarga yang bekerja.
Bank Dunia menyatakan bahwa kemiskinan lebih rentan terjadi pada rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala keluarga. Ketidakmapanan perempuan kepala keluarga tentu bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan yang tidak memadai untuk mencari pekerjaan, kurangnya keterampilan (skill), dan banyak penyebab lainnya.
Kebutuhan akan penghasilan yang cukup bertolak belakangan dengan data BPS yang menunjukkan bahwa ternyata hanya 60,47 persen perempuan kepala keluarga di Indonesia yang bekerja pada 2022.
Bagi perempuan yang merupakan ibu rumah tangga dan telah lama menggantungkan penghasilan hanya dari penghasilan suami, tentu ada kesulitan tersendiri untuk kembali bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Pandangan negatif sebagian masyarakat terhadap status janda juga menjadi kendala bagi perempuan kepala keluarga untuk mencari penghasilan setelah sekian lama vakum dari dunia kerja.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala keluarga (Pekka) Nani Zulminarni menyebutkan bahwa stereotip negatif masyarakat tentang janda ataupun sebutan perawan tua untuk perempuan yang sudah cukup umur, tetapi belum menikah, juga menambah beban tersendiri pada perempuan kepala keluarga. Padahal, merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Perempuan kepala keluarga memiliki opsi untuk memperoleh penghasilan dengan bekerja sebagai karyawan ataupun menjadi wiraswasta. Pilihan untuk bekerja kantoran sebagai karyawan merupakan alternatif yang sulit bagi beberapa perempuan kepala keluarga karena dibatasi persyaratan umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja. Syarat pengalaman kerja sulit dipenuhi untuk beberapa perempuan kepala keluarga yang memiliki jeda lama tidak bekerja karena menjadi ibu rumah tangga.
Prioritas bantuan
Prioritas pemberian Kartu Prakerja kepada keluarga perempuan seharusnya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan keterampilan para perempuan kepala keluarga dan menekan angka pengangguran. Opsi untuk berwiraswasta merupakan jalan lain yang dapat dilakukan oleh perempuan kepala keluarga untuk memperoleh penghasilan meski kendala akan modal dialami oleh beberapa pihak.
Pemerintah selaku pembuat kebijakan seharusnya membuat fasilitas kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga rendah yang dapat memfasilitasi para perempuan kepala keluarga untuk membuat usaha sendiri agar bisa mandiri secara finansial. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia No 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Pelaksanaan KUR, KUR memiliki pengertian kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak, tetapi belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup. Perempuan kepala keluarga dapat dikategorikan sebagai debitur individu yang produktif dan layak, tetapi belum memiliki agunan tambahan.
Baca juga: Perempuan Kepala Keluarga Melepas Jerat Kemiskinan
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pada Agustus 2023 menyatakan bahwa Presiden Jokowi Widodo telah menyetujui untuk menghapus KUR UMKM yang macet di beberapa Bank BUMN. Hal ini merupakan angin segar bagi janda-janda yang mendiang suaminya masih memiliki tunggakan KUR UMKM. Prioritas penghapusan KUR UMKM seharusnya diberikan kepada para janda yang suaminya masih memiliki KUR UMKM yang macet. Penghapusan KUR UMKM itu juga seharusnya tidak menghalangi para janda tersebut untuk kembali mengajukan KUR UMKM sebagai jalan untuk mandiri secara finansial.
Instrumen pemberian KUR untuk berwiraswasta sejatinya dapat menurunkan persentase perempuan kepala keluarga di Indonesia yang tidak bekerja. Berdasarkan data BPS, pada 2022 terdapat sekitar 40 persen perempuan kepala keluarga yang tidak bekerja. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan adanya anak-anak yang hidup tidak berkecukupan dan bahkan putus sekolah.
Anak-anak yang merupakan penerus masa depan bangsa tentu patut mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Pemberdayaan perempuan dan kemudahan berusaha diharapkan dapat meningkatkan kemandirian finansial dan menekan angka kemiskinan pada rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan.
Yasinta Widya Paramitha, Staf Kementerian Keuangan