Korupsi adalah kejahatan yang mengambil hak orang miskin. Bangsa ini membutuhkan reformasi jilid dua untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme sampai ke akar-akarnya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Praktik korupsi kembali terjadi lagi. Terakhir, Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.
Abdul Ghani diduga mengarahkan penentuan kontraktor yang akan dimenangkan untuk mendapatkan proyek. Ia diduga menginstruksikan bawahannya untuk memanipulasi kemajuan proyek agar anggaran dicairkan. Ada bukti awal uang Rp 2,5 miliar.
Hal ini bukan yang pertama gubernur masuk bui. Untuk Maluku Utara, sebagaimana diberitakan harian ini, Gubernur Maluku Utara (2002-2007) dan (2007-2013) Thaib Armayn juga korupsi menggunakan dana tanggap darurat bencana tahun 2004 sebesar Rp 6,9 miliar. Ia divonis dua tahun penjara. Selain Thaib, putrinya, Vaya Amalia Armaiyn, yang pada 2024 menjabat Kepala Bappeda Maluku Utara, juga korupsi.
Dalam pidato pada Hari Antikorupsi Sedunia, Presiden Joko Widodo mengatakan, banyak pejabat di Indonesia yang dipenjarakan karena korupsi. ”Sejak 2004–2022, tercatat sebanyak 344 pimpinan dan anggota DPR serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), 38 menteri dan kepala lembaga, 24 gubernur dan 162 bupati dan wali kota, 31 hakim, 8 komisioner, 415 dari swasta, serta 363 birokrat,” kata Presiden Jokowi.
Republik ini telah menjadi bancakan koruptor. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, sepanjang tahun 2021 kerugian negara akhir korupsi mencapai Rp 62,9 triliun. Namun, hanya Rp 1,4 triliun yang bisa dikembalikan ke negara. Pimpinan KPK pun menjadi tersangka karena dituduh memeras tersangka korupsi.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, sepanjang tahun 2021 kerugian negara akhir korupsi mencapai Rp 62,9 triliun.
Revolusi Mental telah dicanangkan, tetapi praktik korupsi dan segala turunannya, seperti kolusi dan nepotisme, masih terjadi. Bahkan, sandaran etika dan moralitas dijungkirbalikkan. Orang yang mempersoalkan etika ditertawakan. Mungkin pejabat itu berpikir, ”Hari gini, kok, masih bicara etika.” Praktik korupsi dan nepotisme harus dihentikan untuk mencegah fondasi negara ini ambruk digerogoti korupsi.
Sudah banyak fakta bahwa nepotisme (kekerabatan) menjadi titik awal terjadinya korupsi. Perekrutan pejabat antikorupsi melalui panitia seleksi yang ditunjuk Presiden terbukti gagal dalam merekrut pejabat bersih. Satu komisioner KPK jadi tersangka. Satu komisioner KPK mundur sebelum divonis Dewan Pengawas. Enam menteri sudah masuk bui.
Korupsi adalah kejahatan yang mengambil hak orang miskin. Bangsa ini membutuhkan reformasi jilid dua untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme sampai ke akar-akarnya. Butuh big bang mengatasi ”darurat korupsi” di negeri ini. Kita berharap pemerintahan baru yang terbentuk pasca-Pemilu Presiden 2024 berani menerbitkan Perppu Omnibus Law Pemberantasan Korupsi sebagai sapu jagat mengeliminasi pejabat korup yang berperilaku mempertahankan nepotisme. Perppu yang berisikan substansi perampasan aset, pemiskinan koruptor, mengubah definisi kerugian negara menjadi kerugian perekonomian negara.