Membandingkan Realitas PISA 2022 dan Interpretasi Pemerintah
Apakah peningkatan peringkat mencerminkan kualitas pendidikan Indonesia, atau hanya sebuah gambaran yang disederhanakan?
Ilustrasi
Baru-baru ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan pernyataan yang menarik perhatian publik terkait skor Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2022. Beliau menyoroti bahwa, meskipun skor PISA 2022 menurun, peringkatnya meningkat 5-6 posisi dibandingkan dengan tahun 2018.
Hal itu diinterpretasikannya sebagai bukti ketangguhan sistem pendidikan Indonesia dalam mengatasi learning loss akibat pandemi. Namun, apakah peningkatan peringkat ini benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan di Indonesia, atau hanya sebuah gambaran yang disederhanakan? Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap realitas di balik interpretasi pemerintah tersebut.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami apa itu PISA. PISA diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan di banyak negara dengan menguji kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains siswa berusia 15 tahun.
PISA dilaksanakan tiga tahun sekali dalam setiap siklusnya, kecuali pada tahun 2022 karena pandemi. PISA mengukur sejauh mana siswa pada akhir masa sekolah wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan praktis yang diperlukan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern.
Apakah peningkatan peringkat ini benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan di Indonesia, atau hanya sebuah gambaran yang disederhanakan?
Kembali ke pernyataan Menteri Nadiem, peningkatan peringkat Indonesia di PISA 2022 mungkin terdengar mengesankan, tetapi perlu diperhatikan bahwa peringkat PISA adalah gambaran relatif. Peringkat tersebut tidak hanya bergantung pada performa suatu negara, tetapi juga dipengaruhi oleh jumlah dan komposisi negara peserta yang berubah-ubah pada setiap siklusnya.
Sebagai gambaran, perubahan jumlah negara peserta dari 79 pada tahun 2018 menjadi 81 pada tahun 2022, termasuk keikutsertaan negara-negara baru dengan skor yang lebih rendah, seperti Kamboja, Mongolia, Guatemala, dan Paraguay, telah mengubah dinamika peringkat PISA. Kondisi ini menjadikan perbandingan peringkat PISA antarsiklus sebagai indikator kualitas pendidikan menjadi kurang tepat dan bisa menyesatkan.
Selain itu, perbandingan peringkat PISA dalam siklus yang sama juga dapat memberikan gambaran yang tidak akurat. Berdasarkan laporan OECD berjudul PISA 2022 Results, Indonesia berada di peringkat ke-70 dengan skor 366 untuk matematika.
Skor ini secara statistik tidak berbeda dengan negara lain yang memiliki peringkat berbeda, termasuk Albania (368, peringkat ke-68), Otoritas Palestina (366, peringkat ke-69), Maroko (365, peringkat ke-71), Uzbekistan (364, peringkat ke-72), dan Jordania (361, peringkat ke-73).
Di bidang sains, Indonesia menempati peringkat ke-67 dengan skor 383. Skor ini serupa secara statistik dengan negara lain yang memiliki peringkat beragam: Panama (65), Georgia (66), Baku-Azerbaijan (68), dan Makedonia Utara (69).
Baca juga: PISA 2022 dan Refleksi Pendidikan Indonesia
Sementara itu, dalam literasi membaca, Indonesia di peringkat ke-71 dengan skor 359. Skor yang serupa dengan negara-negara seperti Baku-Azerbaijan (69), El Salvador (70), Makedonia Utara (72), Albania (73), dan Republik Dominika (74), meskipun peringkat mereka berbeda.
Oleh karena itu, menggunakan peringkat PISA sebagai indikator peningkatan kualitas pendidikan bisa memberikan gambaran yang menyesatkan. Perbedaan skor yang tidak signifikan dengan negara lain menegaskan bahwa peringkat adalah ukuran yang relatif dan tidak dapat digunakan secara langsung untuk membandingkan kualitas pendidikan, baik antarsiklus maupun antarnegara.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita menggunakan data PISA? Alih-alih memfokuskan pada peringkat, yang relatif dan dapat dipengaruhi oleh jumlah serta komposisi negara peserta, kita sebaiknya lebih memperhatikan skor yang dicapai di setiap siklus. Skor ini memberi gambaran yang lebih obyektif mengenai status dan tren dalam kualitas pendidikan.
Dalam konteks ini, Menteri Nadiem menyatakan bahwa semua negara yang mengikuti PISA mengalami penurunan hasil belajar yang signifikan. Di Indonesia, hasil PISA 2022 menunjukkan penurunan skor yang mencolok: 13 poin di matematika, 13 poin di sains, dan 12 poin di literasi membaca. Penurunan ini, menurut Nadiem, adalah dampak dari pandemi Covid-19.
Lebih lanjut, Menteri Nadiem menekankan bahwa Indonesia mengalami pemulihan belajar yang lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata global, dengan penurunan skor internasional yang lebih besar, yaitu 21 poin di matematika, 12 poin di sains, dan 18 poin di literasi membaca. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun Indonesia mengalami penurunan, performanya relatif lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain.
Kita sebaiknya lebih memperhatikan skor yang dicapai di setiap siklus. Skor memberikan gambaran yang lebih obyektif mengenai status dan tren dalam kualitas pendidikan.
Dalam menelaah pernyataan Menteri Nadiem, kita perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Pertama, perlu ditekankan bahwa tidak semua negara yang mengikuti PISA mengalami penurunan skor. Misalnya, pada tahun 2018, skor Indonesia setara dengan Arab Saudi dalam matematika, setara dengan Kazakhstan dalam sains, dan Panama dalam literasi membaca.
Menariknya, pada tahun 2022, ketiga negara itu terhindar dari learning loss. Bahkan, berhasil meningkatkan skor mereka di subyek-subyek tersebut, meskipun menghadapi tantangan pandemi.
Di Panama, misalnya, 45 persen siswa melaporkan bahwa sekolah mereka tutup selama lebih dari setahun karena Covid-19, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan 40 persen di Indonesia. Meskipun pandemi bisa menjadi alasan yang signifikan, kemungkinan besar bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan penurunan skor PISA di Indonesia.
Kedua, jika kualitas pendidikan Indonesia memang meningkat, mengapa skor literasi membaca terendah sejak 2003, dan skor matematika serta sains terendah sejak 2006? Bagaimana mungkin skor matematika Indonesia sama dengan Otoritas Palestina? Negara yang berpartisipasi di PISA untuk pertama kalinya di tengah kondisi negara yang tidak stabil dan dilanda konflik.
Bagaimana mungkin skor matematika Indonesia sama dengan Otoritas Palestina? Negara yang berpartisipasi di PISA untuk pertama kalinya di tengah kondisi negara yang tidak stabil dan dilanda konflik.
Di Palestina, 67 persen siswa berada di sekolah yang terhambat pembelajarannya karena kekurangan pengajar. Kondisi itu lebih serius dibandingkan dengan Indonesia, dengan hanya 18 persen siswa mengalami hal serupa. Perbandingan ini menyoroti tantangan yang dihadapi dalam sistem pendidikan Indonesia dan pentingnya mengevaluasi faktor-faktor lain di luar pandemi yang mungkin berkontribusi terhadap hasil belajar siswa.
Dalam menghadapi tantangan pendidikan masa kini, sangatlah penting untuk merefleksikan bagaimana data seperti hasil PISA diinterpretasikan. Penggunaan lembaga independen dalam menyajikan hasil PISA sangat penting, tidak hanya untuk meningkatkan obyektivitas dan kredibilitas, tetapi juga untuk membangun kepercayaan publik dan komunitas internasional.
Hal ini memungkinkan kita untuk mendapatkan wawasan yang tidak terwarnai oleh agenda politik dan merenungkan lebih dalam: bagaimana data ini dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita? Bagaimana kita dapat menggunakan wawasan ini untuk memastikan bahwa pendidikan di Indonesia sesuai dengan kebutuhan generasi mendatang?
Renungan atas pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting dalam membentuk masa depan pendidikan Indonesia.
Nani Teig, Peneliti dan Pengajar di University of Oslo, Norwegia