Prospek dan Tantangan Ekonomi Global 2024
Rilis ”economic outlook” terbaru dari OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melandai pada 2024.
Menarik mencermati proyeksi ekonomi global 2024 yang diprediksi bakal melambat ke level pertumbuhan 2,7 persen setelah pada 2023 diprognosis mencapai 2,9 persen.
Itulah rilis economic outlook terbaru dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 29 November 2023. OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melandai pada 2024.
Di sisi lain, OECD memperkirakan risiko terjadinya hard landing perekonomian global mereda meski tingkat utang masih tinggi dan ketidakpastian suku bunga juga masih bertahan tinggi. Setelah melandai pada 2024, pada tahun 2025 ekonomi dunia diprediksi tumbuh 3,0 persen.
Sementara itu, pertumbuhan di 38 negara anggota OECD diperkirakan mengalami soft landing. Amerika Serikat (AS) diperkirakan bertahan lebih baik daripada perkiraan sebelumnya dengan prediksi pertumbuhan melambat dari 2,4 persen tahun ini menjadi 1,5 persen pada 2024. Proyeksi ini naik dari 2,2 persen pada 2023 dan 1,3 persen pada 2024 dalam outlook edisi September 2023.
Setelah melandai pada 2024, pada tahun 2025 ekonomi dunia diprediksi tumbuh 3,0 persen.
Meskipun risiko hard landing di AS dan di negara lain telah mereda—bahkan AS mampu terhindar dari resesi, ditandai pertumbuhan positif sejak kuartal I hingga kuartal III-2023—OECD memandang risiko resesi tidak hilang begitu saja. Hal ini disebabkan lemahnya pasar perumahan, harga minyak yang tinggi, dan lesunya penyaluran pinjaman.
China, perekonomian terbesar di Asia, diperkirakan melambat karena terus bergulat dengan gelembung real estat yang pecah dan rendahnya pengeluaran konsumen menghadapi meningkatnya ketidakpastian prospek ekonomi.
OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi China turun dari 5,2 persen (2023) menjadi 4,7 persen (2024) meski naik tipis dari proyeksi September 2023 sebesar 5,1 persen dan 4,2 persen. Di zona euro, pertumbuhan ekonomi diproyeksi meningkat dari 0,6 persen (2023) menjadi 0,9 persen (2024) dan 1,1 persen (2025) karena Jerman sebagai ekonomi terbesar di Eropa mampu keluar dari resesi tahun ini.
Hanya saja, OECD memperingatkan, dampak dari kenaikan suku bunga acuan masih belum pasti karena tingginya tingkat pembiayaan bank di zona euro. Hal ini dapat membebani pertumbuhan yang eksesif dari yang diekspektasikan.
Sementara Jepang, satu-satunya negara maju (anggota G7) yang belum menaikkan suku bunga acuan saat ini, diperkirakan mengalami pelambatan pertumbuhan dari 1,7 persen tahun ini menjadi 1,0 persen (2024), untuk kemudian membaik ke 1,2 persen (2025).
Perkiraan OECD itu terkesan lebih kompromistis ketimbang perkiraan Bank Dunia yang memproyeksikan pertumbuhan global melambat secara signifikan dari 3,1 persen pada 2022 menjadi 2,1 persen tahun ini, sebelum mengalami pemulihan moderat pada 2024 menjadi 2,4 persen. Perlambatan ini dipicu oleh kebijakan moneter yang terus diperketat guna mengendalikan inflasi tinggi.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga memberikan proyeksi pertumbuhan global lebih rendah, menurun dari 3,5 persen (2022) menjadi 3 persen (2023) dan 2,9 persen (2024), di bawah rata-rata historis 3,8 persen (2000-2019).
Secara umum, meskipun prospek pertumbuhan negara-negara berbeda dan membentuk fragmentasi atau divergensi, hampir seluruhnya memiliki tekanan fiskal yang sama dengan beban utang negara-negara maju (termasuk G7) dan negara-negara berkembang diproyeksikan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Inilah yang menjadi concern IMF yang menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang kredibel, berkelanjutan dan inklusif, disertai kolaborasi antarnegara dalam memulihkan ekonomi dunia yang divergen.
Diferensiasi pertumbuhan ekonomi terlihat bukan hanya antara negara maju (Eropa, G7, dan AS) dan negara berkembang, khususnya Asia yang memiliki resiliensi lebih baik.
Fragmentasi pertumbuhan
Diferensiasi pertumbuhan ekonomi terlihat bukan hanya antara negara maju (Eropa, G7, dan AS) dan negara berkembang, khususnya Asia yang memiliki resiliensi lebih baik. Ekonomi Inggris yang tergelincir amat dalam karena kombinasi krisis ekonomi dan politik mulai bangkit dengan susah payah.
Inflasi yang melandai dari 10 persen (2022) menjadi 6,7 persen (September 2023) dibarengi pertumbuhan ekonomi 0,6 persen pada kuartal III-2023 memunculkan desakan agar bank sentral, Bank of England (BoE), mulai memangkas suku bunga acuan pada musim panas mendatang. Ekspektasi pasar atas suku bunga acuan akan bergeser dari 5,25 persen saat ini ke 3,5 persen dalam lima tahun ke depan. Goldman Sachs memperkirakan Gubernur BoE akan mengumumkan penurunan bunga acuan pertama pada Agustus mendatang.
Di AS, ekonomi tumbuh solid sebesar 2,0 persen, 2,1 persen, dan 5,2 persen untuk kuartal I, II, dan III tahun ini. Data ini memberikan optimisme bahwa perekonomian AS mampu lepas dari resesi dan bersiap melanjutkan pertumbuhan meski diproyeksikan sedikit melemah pada 2024 karena fragmentasi ekonomi global, dengan ekonomi China belum mampu tumbuh kuat.
Heryunanto
Perekrutan pegawai dan output pemerintah telah meningkat tahun ini, bahkan ketika indikator kegiatan ekonomi sektor swasta menunjukkan sinyal perlambatan. Hampir seperempat dari tambahan 2,6 juta lapangan kerja di AS tahun ini disumbangkan oleh sektor pemerintahan, dengan penggajian naik 2,9 persen selama setahun terakhir dibandingkan 1,6 persen di sektor swasta.
Sebagian besar (hampir 90 persen) pekerja sektor publik dipekerjakan oleh pemerintah pusat dan daerah, dengan situasi fiskal untuk banyak entitas bisnis relatif sehat selama beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan penerimaan pajak yang kuat, bantuan federal yang signifikan, serta neraca yang umumnya kuat, telah mendukung fleksibilitas fiskal pemerintah pusat dan daerah.
Pendanaan infrastruktur dari pemerintah federal juga masih meningkat meski dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi belum akan mencapai puncaknya untuk satu atau dua tahun ke depan. Yang pasti, perekrutan dan output pemerintah dapat berfungsi sebagai salah satu pilar penopang pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja di AS dalam waktu dekat.
Di Jepang, produk domestik bruto (PDB) riil diproyeksikan tumbuh sekitar 0,5 persen pada 2024-2025 dengan PDB riil 2023 diprediksi tumbuh 1,8 persen.
Proses restrukturisasi—termasuk rekapitalisasi—pengembang besar yang babak belur membutuhkan waktu cukup lama karena kompleksitas persoalan.
Pada 2024 terjadi perlambatan sehingga menurunkan pertumbuhan PDB riil di bawah 1 persen, terutama di tengah prospek ekonomi AS—sebagai salah satu mitra utama Jepang—yang melandai. Namun, pertumbuhan sekitar 1 persen akan berlanjut pada 2025 dengan pemulihan permintaan global.
Yang lebih memprihatinkan adalah perkembangan ekonomi China. Negara dengan populasi besar ini memiliki masalah besar di sektor real estat yang akan memakan waktu setidaknya empat hingga enam tahun untuk diselesaikan. Proses restrukturisasi—termasuk rekapitalisasi—pengembang besar yang babak belur membutuhkan waktu cukup lama karena kompleksitas persoalan.
Sebagai ilustrasi, pembangunan perumahan di Provinsi Guizhou yang relatif miskin bisa memakan waktu lebih dari 20 tahun untuk menyelesaikannya. Sementara beberapa provinsi lain, seperti Jiangxi dan Hebei, membutuhkan waktu setidaknya sepuluh tahun.
Begitu banyak insentif dan stimulus disediakan Pemerintah China, baik stimulus moneter—berupa suku bunga acuan rendah 2,5 persen dengan rasio giro wajib minimum (GWM) rata-rata tertimbang 7,4 persen dan GWM valas 4 persen—maupun stimulus fiskal dalam bentuk pengurangan pembayaran pajak, terus digelontorkan untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Heryunanto
Namun, persoalan yang sangat kompleks dengan kapasitas ekonomi yang besar tentu membutuhkan kesabaran untuk mengembalikan ekonomi China ke jalurnya, seperti sebelum masa pandemi. Sektor real estat dan sektor terkait selama ini menyumbang sekitar seperlima hingga seperempat dari PDB China.
Hal itu menimbulkan spekulasi, pemerintah Beijing kemungkinan akan dipaksa turun tangan dan ini berpotensi menimbulkan tekanan pada fiskal, ekonomi, dan kelembagaan China. Alhasil, prospek peringkat kredit pemerintah terpangkas dari stabil menjadi negatif.
Moody’s memperkirakan pertumbuhan PDB China melambat menuju kisaran 4 persen pada tahun 2024 dan 2025 serta rata-rata 3,8 persen per tahun pada 2026-2030. Ekonom lain memperkirakan perekonomian China akan ”mengambil jalannya sendiri”, berbeda dengan pola pertumbuhan di Eropa dan AS (mewakili negara maju) serta India dan Indonesia (mewakili negara berkembang Asia).
Pemerintah Beijing diperkirakan masih akan menerapkan kebijakan fiskal ”proaktif” dan kebijakan moneter ”hati- hati” tahun depan, dalam upaya meningkatkan permintaan domestik. Mereka juga berjanji untuk secara efektif meningkatkan ”vitalitas ekonomi”, menopang tren pemulihan perekonomian terbesar di dunia yang sedang sakit ini.
Moody’s memperkirakan pertumbuhan PDB China melambat menuju kisaran 4 persen pada 2024 dan 2025 serta rata-rata 3,8 persen per tahun pada 2026-2030.
Periode transisi
Pertumbuhan global pada 2023 yang cukup baik, berkisar 2,7-2,9 persen, dan melemah menjadi 2,1-2,4 persen pada 2024, adalah ”periode transisi” menuju kenormalan pertumbuhan di kisaran 3 persen mulai 2025 dan seterusnya.
Bagaimanapun ekonomi global telah menunjukkan ketahanan yang cukup baik selama 2023 meski inflasi tetap tinggi dan kebijakan moneter ketat masih dipertahankan di sebagian besar negara. Ketahanan ekonomi global ini terutama ditopang oleh kekuatan ekonomi AS yang secara mengejutkan tumbuh positif di tiga kuartal pertama tahun ini meski prospek ekonomi AS untuk 2024 cenderung melemah karena carry over efek kebijakan suku bunga acuan tinggi yang berkepanjangan.
Sebaliknya, zona euro mengalami stagnasi, terutama karena permintaan luar negeri yang lemah telah membebani sektor manufaktur. Namun, pada 2024, zona euro diperkirakan akan pulih secara moderat, dengan pertumbuhan berkisar 0,6-0,7 persen pada 2023 dan naik sedikit ke kisaran 0,9-1,0 persen pada 2024.
Sementara itu, kawasan Asia Pasifik diperkirakan akan tetap menjadi sumber utama pertumbuhan global. Hal ini terutama didorong oleh momentum percepatan pertumbuhan pada 2024 di Vietnam (6,0 persen), Filipina (5,7 persen), dan Indonesia (5,1 persen); serta India sebagai perekonomian besar yang diprediksi akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2024, yakni 6,1 persen.
Baca juga: Kelas Menengah dan ”Chilean Paradox”
Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia