Demokratisasi Layanan "Wealth Management"
Perkembangan teknologi informasi memungkinkan layanan "wealth management" untuk diakses dengan lebih mudah dan cepat oleh semua lapisan masyarakat.
Menurut Global Data, jumlah individu dengan kekayaan bersih lebih dari 1 juta dollar AS di Indonesia diperkirakan akan mencapai 1,2 juta orang pada 2026. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil memberikan peluang bagi individu untuk meningkatkan kekayaan mereka.
Oleh karena itu, layanan wealth management atau pengelolaan kekayaan atau aset yang disediakan oleh Lembaga keuangan khususnya perbankan merupakan faktor penting yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi nasional.
Wealth management adalah layanan pengelolaan kekayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan untuk meningkatkan nilai kekayaan nasabah. Layanan ini mencakup perencanaan keuangan, investasi, hingga proteksi.
Layanan wealth management yang baik dapat membantu nasabah untuk mencapai tujuan keuangan mereka dengan lebih efektif dan efisien. Perencanaan keuangan membantu nasabah untuk menetapkan tujuan keuangan, menyusun strategi untuk mencapai tujuan tersebut, dan memantau kemajuannya.
Layanan investasi membantu nasabah untuk memilih produk investasi yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan keuangan mereka. Layanan proteksi membantu nasabah untuk melindungi diri dan keluarga dari risiko keuangan.
Misalnya risiko kematian, penyakit, dan kecelakaan. Sementara layanan perbankan prioritas menawarkan berbagai fasilitas dan layanan, seperti akses ke produk dan layanan perbankan premium, concierge, dan gaya hidup.
Di Indonesia, layanan wealth management sebenarnya sudah diberikan oleh perbankan sejak lama. Namun demikian, perkembangan layanan wealth management bisa dikatakan relatif lambat dibandingkan dengan potensi sebenarnya antara lain karena keengganan bank untuk menkonversi dana murah menjadi produk wealth management yang berada di luar neraca bank.
Selain itu, portolio produk, model operasi, dan sistem kebanyakan belum menunjang layanan wealth management yang efektif. Hal-hal tersebut mengakibatkan perbankan saat ini hanya memfokuskan layanan wealth management untuk segmen prioritas saja.
Padahal, perkembangan teknologi informasi memungkinkan layanan wealth management untuk diakses dengan lebih mudah dan cepat oleh semua lapisan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa aspek pemikiran yang semoga dapat membantu perbankan dan regulator untuk mendemokrasikan layanan wealth management.
Pertama, perbankan dan regulator hendaknya bisa menempatkan layanan wealth management secara strategis. Hampir semua bank di Indonesia memposisikan diri sebagai bank universal tradisional di mana pengumpulan dana murah dan pemberian kredit menjadi dua pilar utamanya.
Walaupun banyak bank yang mulai fokus kepada perbankan transaksi, pendapatan berbasis komisi (fee-based income) secara umum masih belum besar. Terkait wealth management, perbankan menghadapi dilema.
Produk wealth management umumnya mengalihkan dana dari bank kepada pengelola dana. Dengan demikian terjadi pergeseran pendapatan bunga dari dana murah menjadi fee-based income dalam bentuk komisi transaksi pembelian dan penjualan produk wealth management.
Bank yang berfokus kepada kepentingan nasabah seharusnya menyadari bahwa sebagian dari portofolio nasabah sebaiknya diivestasikan dalam aset yang lebih produktif. Sebut saja misalnya saham atau obligasi baik secara langsung maupun melalui reksadana atau instrumen lainnya.
Seyogianya regulator juga mengarahkan perbankan ke sana dengan menerbitkan peraturan yang mendukung pertumbuhan wealth management seperti halnya pada saat OJK mengeluarkan peraturan untuk mendorong pemberian kredit UMKM. Peraturan yang dikeluarkan tidak perlu dalam bentuk kewajiban tapi bisa dalam bentuk kemudahan dan insentif bagi perbankan yang memberikan layanan wealth management.
Tentu ini tidak mudah karena produk-produk wealth management umumnya mengandung risiko, Langlah ini ini harus dilakukan agar sistem pendanaan nasional menjadi lebih efisien dan tidak hanya didominasi intermediasi perbankan.
Kedua, perbankan harus menggunakan pendekatan yang seimbang dalam memasarkan produk-produk wealth management. Kebanyakan wealth management officer mengandalkan hubungan personal.
Nasabah prioritas dimanjakan dengan berbagai hadiah. Setiap ulang tahun dikirim kue ulang tahun atau voucher, dan lain sebagainya. Masih jarang bank yang benar-benar serius menonjolkan keuntungan produk untuk meningkatkan kekayaan nasabah dengan baik.
Bank yang konservatif ‘bersembunyi’ di balik peraturan yang tidak memperbolehkan bank untuk memberikan nasihat investasi secara langsung. Sebaliknya yang agresif, kadang kala melakukan mis-selling dengan janji yang berlebihan. Keseimbangan antara prudensial dan progresivitas dalam memasarkan layanan perbankan merupakan faktor penting agar bisa sukses.
Ketiga, kemampuan sistem perbankan untuk mendukung penjualan produk-produk wealth management juga harus ditingkatkan. Sistem perbankan secara tradisional hanya dikembangkan untuk pengumpulan dana dan pemberian kredit saja.
Sistem untuk wealth management masih belum matang dan under-investment. Fenomena ini terjadi juga di beberapa bank-bank besar di mana perhitungan keuntungan portofolio nasabah prioritas masih dilakukan secara manual. Hal ini karena secara sistem wealth management mereka belum terhubung dengan sistem dari berbagai pengelola instrumen investasi.
Munculnya berbagai perusahaan wealth-tech yang menawarkan pembelian reksadana dan obligasi secara online melalui aplikasi menunjukkan ketidaksiapan bank dalam mengantisipasi kebutuhan nasabah.
Peluang inilah yang coba diambil oleh perusahaan-perusahaan wealth-tech tersebut. Jika suatu bank ingin serius memberikan layanan wealth management, investasi yang cukup dalam bentuk sistem yang memadai merupakan keharusan.
Keempat, perbankan sebaiknya memperluas segmen nasabah yang menjadi target. Kebanyakan perbankan berfokus kepada nasabah dengan kekayaan yang besar atau high net worth individual (HNWI).
Sementara itu pasar high earners not rich yet (HENRY) masih belum terlayani dengan baik. Segment HENRY ini umumnya adaalah pegawai kelas menengah ke atas yang mungkin belum memiliki kekayaan yang besar, namun karena pendapatannya yang relatif tinggi, dalam 5 sampai 10 tahun berpotensi menjadi HNWI.
Tentunya model operasi yang digunakan untuk memasarkan dan melayani HENRY dengan efektif dan efisien berbeda dari metode untuk HNWI. Dengan sistem dengan memadai, mestinya bank akan mampu melayani HENRY. Misalnya dengan memanfaatkan platform digital sehingga skalabilitas layanan dan efisiensi biaya bisa tercapai.
Yang terakhir adalah masalah edukasi. Layanan wealth management mengandung risiko sehingga edukasi nasabah dan masyarakat pada umumnya sangatlah penting. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya perencanaan keuangan membuat mereka tidak bisa mengambil keputusan dengan baik.
Maraknya scam dan cara kaya dengan cepat merupakan godaan yang membahayakan. Perbankan dan regulator perlu bersama-sama meningkatkan pengertian masyarakat umum terhadap risiko tersebut dengan meningkatkan keterampilan masyarakat untuk mengendalikan gaya hidup dan keuangan mereka.