Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Sebagai pusat vitalitas dunia, kota tidak bisa menunda berinovasi. Inovasi pada hal dasar, seperti transportasi dan manajemen air, sampai bersiap menjadi kota ”digital twin”, sangat dinantikan.
Hujan mengguyur banyak tempat pada pekan pertama tahun 2024. Tidak hanya melegakan karena mengusir terik dan gerah atau mengembalikan air ke permukaan Bumi, tetapi hujan itu juga memicu cemas. Benar saja, seiring musim yang berubah bencana muncul di sana sini.
Kawasan Kemang, Jakarta Selatan, magnet wisata kota dengan kafe hingga malnya tak berkutik tergenang luapan Sungai Krukut ataupun dari sistem drainase yang tak sanggup menampung lonjakan volume air. Kejadian yang selalu berulang tiap tahun.
Beberapa daerah dari Sabang sampai Merauke pun sama-sama kembali disapa bencana longsor dan banjir. Memilukan,
Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia mudah saja berkelit bahwa bencana serupa melanda pula kawasan lain di dunia. Negara kota yang sangat maju seperti Singapura yang juga kebanjiran pun turut dirujuk untuk memperkuat bahwa banjir ini musibah massal.
Baca juga : Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Krisis iklim juga lantang disebut pejabat tertinggi sampai rendahan sebagai faktor yang berperan besar memicu bencana melampaui kapasitas sarana prasana perkotaan, bahkan setelah proyek-proyek antisipasinya digulirkan. Bencana seakan harus dimaklumi sebagai hal tak terelakkan, termasuk oleh warga yang terus menerus menjadi korban.
Kini, kasat mata kota-kota terus membesar dan kawasan urban baru bermunculan buah berbagai kebijakan pembangunan. Namun, sebagian pertumbuhan itu diiringi sikap ”harap maklum” terhadap bencana ataupun potensi bencana.
Banyak ahli dan organisasi lintas negara mengingatkan bahwa kondisi itu bakal menjadi batu sandungan yang menurunkan vitalitas kota. Tahun baru dengan semangat baru yang menggebu-gebu digunakan untuk kembali mengajak kota-kota melihat dirinya sendiri agar kemudian tergerak menelurkan inovasi.
Kami (kota-kota) bisa membantu menjaga kenaikan suhu Bumi tidak melebihi ambang batas 1,5 derajat celsius.
Ruang optimistis
Cities to Be, platform tempat para pencinta kota, kaum urban, dan ahli mencurahkan pendapatnya, mengajak semua pihak berhenti pesimistis. Kota sejak dulu adalah ruang besar tak terbatas untuk bersikap optimistis. Kota yang penuh manusia adalah ladang untuk bereksperimen sampai akhirnya melahirkan inovasi-inovasi pengubah hidup.
Mons Badia, Valeria Andrade, dan Clàudia Gomis di Cities to Be menuliskan bahwa di 2024 ini suara kaum urban yang jumlahnya lebih dari 60 persen dari seluruh penduduk dunia pantas untuk lebih didengar.
Baca juga: Menitipkan Kota-kota pada (Calon) Presiden dan Wakil Presiden
Aspirasi urbanite itu sebelumnya didengungkan para wali kota yang tergabung dalam C40 Cities di Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. C40 menyatakan dunia tak bisa memungkiri bahwa kota adalah mitra strategis untuk mengendalikan krisis iklim.
”Kami (kota-kota) bisa membantu menjaga kenaikan suhu Bumi tidak melebihi ambang batas 1,5 derajat celsius,” kata Wali Kota London (Inggris) Sadiq Khan dan Wali Kota Freetown (Sierra Leone) Yvonne Aki-Sawyerr, Kamis (30/11/2023). Keduanya mewakili C40 Cities menyampaikan langsung pendapatnya kepada para kepala negara yang hadir di COP28.
Khan dan Aki-Sawyerr bukan sedang menyombongkan diri tanpa bukti. Pembangunan kota-kota yang lebih ramah lingkungan terbukti mempercepat upaya mengerem laju pemanasan global.
Saat kota-kota memperluas taman, hutan, juga situ ataupun danau diiringi pembangunan transportasi publik massal, penyerapan emisi semakin maksimal. Ketika diikuti pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi, produksi emisi kian ditekan. Ditambah lagi jika kota sepakat menerapkan ekonomi sirkular, eksploitasi alam di luar kawasan urban bisa drastis dikurangi.
Baca juga: Biaya Hidup Tinggi Menggerus Kebahagiaan Keluarga di Perkotaan
Inisiatif Kota Paris di Perancis bisa menjadi contoh. Paris yang menjadi tuan rumah Olimpiade pada tahun ini memilih tidak mengumbar hasrat membangun stadion atau venue baru.
The Guardian memaparkan, sebagian besar aktivitas Olimpiade Paris akan diadakan di bangunan yang sudah ada, seperti Stade de France, yang awalnya untuk Piala Dunia 1998. Lahan terbuka di depan Menara Eiffel bakal dimanfaatkan untuk pertandingan voli. Para atlet gaya bebas BMX dan skateboard akan berlomba di Place de la Concorde. Upacara pembukaan direncanakan berupa parade sepanjang 6 kilometer di Sungai Seine.
Baca juga: Kantormu Bukan Keluargamu
Sebelumnya, Paris telah meneguhkan diri menjadi kota hijau dengan taman di mana-mana, pembangunan layanan jaringan angkutan umum diperluas, memperbanyak kawasan tanpa kendaraan bermotor, dan meningkatkan kualitas Seine.
Program senilai 1,4 miliar euro itu berorientasi agar kota makin ramah bagi warganya. Ini sekaligus demi menghindari kebiasaan banyaknya proyek pengeruk uang untuk pergelaran internasional. Usai acara besar berakhir, banyak kota kesulitan memaksimalkan pemanfaatkan stadion-stadion raksasa. Akibatnya, justru kerugian menumpuk.
”Digital twin”
Paris membuktikan kota tidak kehilangan vitalitasnya dengan pembangunan ramah lingkungan.
Hal tersebut selaras dengan Badia, Andrade, dan Gomis di Cities to Be yang menyatakan kebijakan ekonomi hijau memberi napas baru pada daya hidup kota.
Kota hijau juga berarti menerima serta memanfaatkan kemajuan teknologi sebesar-besarnya untuk kepentingan warganya. Kecerdasan buatan sampai konsep kembaran digital (digital twin) diterima dengan tangan terbuka.
Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI ITB) Suhono Harso Supangkat menyatakan, digital twin merupakan konsep berbasis data yang dapat membantu manusia dalam koleksi data. Digital twin dapat membuat prediksi akurat sehingga pengambilan keputusan akan optimal dan berpengaruh positif terhadap produktivitas suatu ekosistem.
”Digital twin itu hal yang lebih on beyond dari IoT (internet of things), big data, (dan) AI (kecerdasan buatan). Kita memodelkan (kondisi riil), menyimulasikan, dan bisa bertindak cepat terhadap kejadian-kejadian apa saja,” ujarnya seperti dikutip dari laman resmi ITB.
Baca juga: Kelas Menengah Aspirasional adalah Kita, Berhati-hatilah...
Teknologi digital itu membantu kota mengetahui detail kebutuhan warga, seperti bagaimana mobilitasnya, akses ke bahan pangan sehat, penanganan krisis kesehatan mental, dan banyak lagi.
Berbekal simulasi akurat dalam kembaran kota digitalnya, pembangunan angkutan umum di kota nyata ditargetkan tepat sasaran dan lebih cepat terealisasi. Misalnya, kawasan mana yang harus didahulukan pembangunan trotoar penghubung ke halte atau stasiun untuk memaksimalkan kapasitas angkut serta keterhubungan antarkawasan.
Demikian pula penambahan taman, ruang terbuka biru, perumahan rakyat, serta fasilitas publik lain. Taman dan hutan kota menjaga keseimbangan lingkungan dan menurunkan suhu sekitarnya.
Air sangat penting dalam adaptasi karena 90 persen bencana iklim berkaitan dengan air.
Manajemen air
Yang juga sangat ditunggu pada 2024 ini adalah munculnya inovasi manajemen sumber daya air perkotaan. Harapan tersebut melambung tinggi karena saat ini ada 3,5 milar orang hidup di wilayah dengan krisis air. Angka itu naik menjadi 5 miliar pada 2050. Sebagian besar dari mereka hidup di perkotaan.
Krisis air tidak melulu terkait kekurangan air bersih, tetapi juga risiko tinggi dilanda banjir di masa tertentu, seperti saat musim hujan.
”Air sangat penting dalam adaptasi karena 90 persen bencana iklim berkaitan dengan air,” kata Matus Samel, Manager Riset di Economist Impact dalam laporannya pada Februari 2022 lalu.
Baca juga: Gengsi-gengsian SCBD Versus Cikarang
Asia mendapat perhatian khusus Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Hal tersebut karena Benua Asia dilanda bencana banjir dan kekeringan terbanyak dalam 50 tahun terakhir dibandingkan benua lain.
Kurun waktu 1970-2019 saja terjadi 1.564 banjir di Asia dengan 223.596 korban tewas. Di Afrika hanya sekitar 1.000 kali banjir dan 25.537 kasus kematian.
Indonesia bagian dari Asia yang semestinya melihat dan merasakan kegentingan itu. Apalagi, kasus bencana terkait cuaca (hidrometeorologi) selalu menduduki peringkat teratas frekuensi bencana di Tanah Air.
Memanfaatkan euforia tahun baru, mengapa tidak menetapkan resolusi menyingkirkan sikap ”harap maklum”. Resolusi lainnya, menelurkan inovasi penyelamat warga yang memajukan negeri. Keren, bukan?
Baca juga: Catatan Urban