logo Kompas.id
OpiniSeni di Negeri yang Susah...
Iklan

Seni di Negeri yang Susah Melucu

Seni itu cerminan realitas sosial dan politik. Pembatasan seni dapat menghambat kemampuan masyarakat untuk mengkritisi dan merefleksikan diri mereka.

Oleh
ARIS SETIAWAN
· 4 menit baca
Ilustrasi
SUPRIYANTO

Ilustrasi

Surat Pembaca Kompas edisi 6 Desember 2023 yang berjudul ”Apakah Seni Harus Permisi” menarik untuk dicermati lebih jauh. Surat pembaca itu merespons kegalauan seorang seniman ternama, Butet Kartaredjasa, yang mengalami kendala sebelum mempergelar pentas teater di Taman Ismail Marzuki pada 1-2 Desember 2023. Aparat keamanan meminta Butet menandatangani pernyataan yang menyatakan bahwa karyanya tidak boleh berbicara, menyinggung, atau bersentuhan dengan masalah politik.

Fenomena ini mencuatkan isu baru dalam dunia kebebasan berekspresi, terutama di negara yang konon menganut prinsip demokrasi. Seni, yang selama ini dianggap sebagai wilayah steril, bebas dari intervensi politik, kini terancam oleh tuntutan untuk menjauhi isu-isu sensitif.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Sebagaimana kita ketahui, musik, wayang, tari, hingga stand-up comedy seharusnya dipandang sebagai karya-karya yang bebas diekspresikan. Muatan satire dan komedi di dalam seni seharusnya dimaknai sebagai bagian dari keunikan karya seni itu sendiri.

Namun, dengan adanya tekanan terhadap seniman untuk menjauhi masalah politik, kebebasan seni menjadi terancam. Idealnya, kritik sosial yang diungkapkan melalui seni dianggap sebagai refleksi kolektif masyarakat. Seni seharusnya menjadi potret kehidupan sosial di zamannya, bukan hanya sekadar hiburan tanpa makna.

Baca juga: Polisi Bantah Intimidasi, tetapi Butet Kartaredjasa Diminta Tanda Tangan Pernyataan Tak Bicara Politik

Kasus

Harus diakui, pada masa pemilu, semua aspek kehidupan, termasuk seni, menjadi sensitif. Wilayah-wilayah yang seharusnya steril dari intervensi politik mulai dilirik dan diwaspadai. Keprihatinan seniman seperti Butet Kartaredjasa mencerminkan kekhawatiran terhadap pembatasan kebebasan berekspresi.

Mereka, sebagai warga masyarakat, memiliki hak sama dengan pihak lain untuk menyatakan pendapat, sebagaimana dijamin oleh undang-undang. Kebebasan berekspresi, sepanjang berada dalam koridor hukum, moral, dan etika, seharusnya tidak boleh dibatasi atau dikebiri. Fenomena ini menjadi sorotan atas tantangan terhadap keberlanjutan demokrasi dan kebebasan seni ke depannya.

Setelah 41 kali pentas, baru kali ini Butet Kartaredjasa diminta tanda tangan surat tertulis ke polisi.
KOMPAS

Setelah 41 kali pentas, baru kali ini Butet Kartaredjasa diminta tanda tangan surat tertulis ke polisi.

Terdapat beberapa kasus serupa di beberapa negara di dunia, di mana seniman sering kali dilarang atau diintimidasi karena karya-karya mereka dianggap menentang pemerintah. Di Rusia, misalnya, seniman seperti grup musik punk feminis Pussy Riot menghadapi penangkapan dan hukuman penjara karena melakukan protes (anti Putin) di tempat-tempat umum. Mereka menghadapi tekanan dari pemerintah yang tidak menoleransi kritik terhadap kebijakan yang ada. Hal serupa juga terjadi di Tiongkok, di mana seniman dan aktivis sering kali dibatasi dalam berekspresi, dan karya seni yang dianggap mengancam stabilitas politik dapat dihapus atau dilarang (Andrew Solomon, 1998).

Di Arab Saudi, seniman Raif Badawi telah dipenjara dan dihukum cambuk karena menulis blog yang dianggap menyentuh isu-isu agama dan politik. Kasus Badawi mencerminkan betapa rentannya seniman terhadap hukuman keras dalam lingkungan yang tidak menghargai kebebasan berekspresi.

Selain itu, di Amerika Serikat, meskipun dianggap sebagai negara yang menganut kebebasan berbicara, ada kontroversi mengenai penggunaan kekuasaan politik untuk membatasi seniman. Misalnya, pada beberapa acara penghargaan seperti Academy Awards, ada tekanan untuk menjaga agar seniman tidak menyuarakan pandangan politik mereka secara terbuka, menciptakan debat tentang sejauh mana seniman dapat memanfaatkan panggung mereka untuk menyampaikan pesan sosial atau politik.

Iklan

Pada dasarnya, demokrasi seharusnya menjadi ruang yang melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak untuk menyuarakan pendapat melalui seni.

Kebebasan seni bukanlah hak istimewa semata bagi seniman, melainkan juga merupakan cerminan dari kadar demokrasi suatu negara. Ketika seniman tidak dapat mengungkapkan pandangan mereka, berarti ada masalah dalam sistem demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

Bagi Indonesia, perlu dipertimbangkan apakah pembatasan terhadap kebebasan seni merupakan langkah yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan keberagaman budayanya. Fenomena pembatasan kebebasan seni yang dialami oleh Butet Kartaredjasa (dan mungkin juga seniman lainnya di Indonesia) memunculkan pertanyaan mendalam mengenai substansi demokrasi dan toleransi dalam berbagai konteks budaya.

Saat sebuah masyarakat mulai mengalami pembatasan terhadap ekspresi seni, kita harus bertanya-tanya apakah ini merupakan indikasi dari demokrasi yang rapuh atau ketidakmampuan negara untuk mengakomodasi kebebasan individu. Pada dasarnya, demokrasi seharusnya menjadi ruang yang melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak untuk menyuarakan pendapat melalui seni.

Suasana peluncuran sistem pemantauan kebebasan berkesenian, kebebasanberkesenian.id, di Jakarta, Rabu (10/5/2023). Sistem ini digunakan untuk mendata kasus-kasus pelanggaran kebebasan berkesenian yang dilaporkan langsung oleh masyarakat, utamanya pelaku seni.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI

Suasana peluncuran sistem pemantauan kebebasan berkesenian, kebebasanberkesenian.id, di Jakarta, Rabu (10/5/2023). Sistem ini digunakan untuk mendata kasus-kasus pelanggaran kebebasan berkesenian yang dilaporkan langsung oleh masyarakat, utamanya pelaku seni.

Cermin realitas sosial

Seni adalah cerminan realitas sosial dan politik. Pembatasan terhadap seni dapat membawa dampak lebih luas, yakni terhambatnya kemampuan masyarakat untuk mengkritisi dan merefleksikan diri mereka sendiri. Demokrasi yang sehat seharusnya mampu mengatasi tantangan dan kritik internal, termasuk melalui karya seni yang bisa memicu diskusi publik positif.

Ketidaksetujuan terhadap suatu karya seni adalah bagian alami dari kehidupan demokratis, dan wajar jika masyarakat memiliki pendapat beragam terkait dengan berbagai karya seni. Namun, penindasan dan pembatasan atas seni yang bertujuan untuk membungkam suara-suara kritis dapat merusak esensi demokrasi itu sendiri. Dalam konteks ini, dialog terbuka dan inklusif menjadi kunci untuk menyelesaikan ketidaksetujuan dan merawat keberagaman pendapat dalam masyarakat.

Kritik sosial melalui seni seharusnya dilihat sebagai kontribusi berharga untuk memperbaiki demokrasi. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kebebasan seni harus diperkuat, bukan dihambat. Kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga ruang bagi seniman untuk berekspresi secara bebas adalah kunci untuk memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan berkelanjutan.

Kebebasan seni menandai sejauh mana masyarakat dapat mengakomodasi perbedaan pendapat dan kritik. Fenomena pembatasan kebebasan seni di Indonesia, seperti yang dialami oleh Butet, memberikan gambaran mengenai tantangan yang dihadapi oleh seniman dalam mengekspresikan pandangan mereka tanpa takut akan represi.

Baca juga: Ada 33 Pelanggaran Kebebasan Berkesenian Sepanjang 2022

Tindakan represif terhadap seniman tidak hanya merugikan individu tersebut, tetapi juga merugikan masyarakat yang kehilangan kontribusi berharga seni sebagai cerminan kritis terhadap realitas sosial dan politik. Kebebasan seni bukanlah konsep yang statis; ia berkembang seiring waktu dan perubahan nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah terlibat dalam diskusi untuk mengeksplorasi batas-batas kebebasan seni yang dapat diterima dalam konteks budaya dan politik tertentu.

Dalam menghadapi tantangan terhadap kebebasan seni, publik perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari pembatasan tersebut terhadap dinamika demokrasi dan keberagaman budaya. Dengan memahami bahwa seni memiliki peran kritis dalam membentuk pemikiran dan refleksi kolektif, perlindungan terhadap kebebasan seni menjadi esensial bagi masyarakat yang ingin menjaga ekosistem demokrasi yang sehat, inklusif, dan berkelanjutan.

Butet Kartaredjasa menyajikan teater sarat banyolan, mengkritik dan berbicara politik dengan tawa. Jika itu dianggap menakutkan kemudian dibungkam, betapa rapuhnya dunia seni hari ini bagi negeri yang tak suka melucu. Aduh!

Aris Setiawan, Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta

Aris Setiawan
ARSIP PRIBADI

Aris Setiawan

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000