”Lifting” minyak belum mencapai target. Indonesia masih mengimpor minyak. Ketahanan energi Indonesia menjadi taruhannya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan, lifting minyak bumi hingga 31 Desember 2023 adalah 612.000 barel per hari, kurang dari target APBN 2023 yang sebesar 660.000 barel per hari. Angka ini juga jauh dari target pada tahun 2030 sebesar 1 juta barel per hari (Kompas.id, 5/1/2024).
Pemerintah mengakui tak mudah untuk memenuhi target lifting. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Jumat lalu, menyebutnya sangat menantang. Meski demikian, pemerintah melihat ada harapan baru setelah ditemukan dua sumber gas skala besar. Sumber pertama berada di laut lepas Kalimantan Timur (Geng North) yang memiliki potensi 5 triliun kaki kubik (TCF), sedangkan sumber kedua di sumur eksplorasi Layaran-1, South Andaman, lepas pantai Sumatera bagian utara, berpotensi 6 TCF.
Energi memang sangat penting dalam mendukung pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena itu, isu ketahanan energi (energy security) selalu mendapat perhatian serius dari negara mana pun. Penemuan dua sumber gas skala besar menggembirakan karena jika dikelola dengan baik, hal itu akan menambah ketahanan energi Indonesia.
Ketahanan energi bertumpu pada empat dimensi: ketersediaan (availability), keterjangkauan (affordability), kemampuan mengakses (accesibility), dan ramah lingkungan (acceptability). Dengan kata lain, penemuan sumber migas baru memenuhi satu dimensi. Pertanyaan berikutnya, apakah harganya terjangkau oleh konsumen atau biayanya realistis bagi investor? Belum lagi isu terkait akses yang merujuk pada infrastruktur jaringan energi. Aspek terakhir dan kini kian penting ialah acceptability, yakni apakah sumber energi anyar ini selaras dengan upaya global mengurangi emisi karbon?
Indonesia sudah lama menjadi pengimpor minyak karena hasil minyak kita lebih sedikit ketimbang kebutuhan. Faktor ini membuat Indonesia cukup bergantung pada pasokan dari negara lain. Apa jadinya jika suplai lewat laut putus atau negara produsen bergejolak sehingga tak mampu lagi mengekspor?
Salah satu solusi dari ancaman itu ialah meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Kita kaya akan jenis energi ini. Sinar matahari melimpah, selain tentunya ada panas bumi, angin, dan air. Sayangnya, energi baru dan terbarukan masih berkontribusi 12,3 persen, jauh dari target 23 persen yang rencananya dicapai pada 2025.
Meski memerlukan investasi tak sedikit, peningkatan energi terbarukan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan pada impor minyak. Energi terbarukan juga selaras dengan upaya menekan emisi gas rumah kaca.
Pada tahun yang baru ini, dengan semangat yang juga baru, kerja keras yang telah dilakukan untuk menambah pemanfaatan energi terbarukan harus dapat ditingkatkan lagi.